Ternyata, semalam Mukidi berikrar kepada Mukiyem untuk segera melamarnya. Boleh jadi, diam-diam slogan amnesti pajak "ungkap-tebus-lega" menginspirasi dengan konotasi lain. Mukidi terngiang satu hal yang sejak kemarin menggelayuti pikirannya: pajak. Soal melamar dan menikahi Mukiyem itu gampang, sesederhana SPT 1770 S yang selama ini diisinya. Tapi bagaimana urusan pajak ketika mereka kelak berumah tangga? Mukiyem saat ini juga bekerja, persisnya sebagai karyawati sebuah perusahaan konveksi yang biasa memenuhi pesanan kaos untuk kampanye politik. Tak mau repot belakangan, Mukidi lantas membolak-balik Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya.
Lamat-lamat masih diingatnya di UU KUP, bahwa wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan putusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta -wajib mendaftarkan diri. Mukidi murung dan sedih. Bagaimana mungkin kawin saja belum ia sudah harus memikirkan hidup terpisah? Apalagi harus pisah harta, tak mungkin! Ikrar setia sampai mati, semua milik berdua- gumam Mukidi. Lalu ia mendapati penjelasan bahwa wanita kawin selain yang disebut sebelumnya dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri, agar dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Mukidi lega, toh Mukiyem yang telah ber-NPWP tetap dapat menjadi wajib pajak. Mukidi ingin ada emansipasi sehingga baginya istri pun kalau perlu memiliki NPWP sendiri, bukan soal keren-kerenan, ini komitmen hidup bersama Hawa, sang rusuk Adam!
Tatapan mata Mukidi kemudian jatuh di Pasal 8 UU PPh. Bunyi persisnya, seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajaknya. Dasar Mukidi, tidak mau rugi. Bukannya memahami maksud di penjelasan, ia malah berkhayal liar, jangan-jangan Mukiyem punya kewajiban pajak atau kerugian di masa lalu? Lalu ia harus menanggung itu semua?
Padahal jawabannya jelas, UU PPh menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, maka penghasilan atau kerugian seluruh anggota keluarga digabungkan di kepala keluarga. Suami adalah kepala keluarga menurut pajak, meski dalam praktik nyata kerap tidak demikian. Mukidi melanjutkan pembacaan. Di ayat selanjutnya diatur bahwa penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila a) suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (cerai), b) dikehendaki tertulis berdasarkan perjanjian pisah harta dan penghasilan, c) dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Dengan kata lain, tiga kondisi ini mensyaratkan isteri punya NPWP sendiri, menghitung pajak, dan melaporkan sendiri.
Tapi nanti dulu! Ada aturan berikutnya yang mengatur cara menghitung pajak. Untuk suami-isteri pisah harta atau isteri ber-NPWP berbeda dengan suami, pajak dihitung dari penggabungan penghasilan neto suami-isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi masing-masing suami-isteri dihitung proporsional. Wah…di sini Mukidi musti berpikir dan berhitung cermat. Artinya ada beberapa kemungkinan yang musti ia hitung dan pikirkan.
Pertama, jika Mukiyem tetap ber-NPWP sendiri dengan alasan emansipasi, maka penghasilan neto Mukiyem harus digabung dengan penghasilan neto Mukidi. Konsekuensinya ketika penghasilan Mukidi (Rp200 juta, tarif 15%) dan Mukiyem (Rp 150 juta, tarif 15%) digabung berpotensi menyentuh tarif lebih tinggi dan membayar pajak lebih besar (Rp350 juta, tarif 25%)! jika NPWP Mukiyem ikut Mukidi cukup "numpang lapor" dan tak dihitung lagi pajaknya, dan keduanya tak direpotkan administrasi tetek bengek. Mukidi memutar otak, apakah janji kesetaraan suami-isteri yang dia obrolkan kemarin masih bisa dipercaya Mukiyem seandainya diralat?
Setidaknya kini Mukidi paham, setiap pilihan mengandung risiko dan konsekuensi. Jika Mukiyem tetap melanjutkan ber-NPWP, maka pajak dihitung sendiri-sendiri dengan cara penghitungan digabung dan dibagi proporsional. Risikonya mereka membayar pajak lebih besar ketimbang jika Mukiyem memutuskan mencabut NPWP dan ikut NPWP Mukidi sebagai kepala keluarga. Dengan kata lain, itu adalah ongkos untuk sebuah pilihan harus dibayar. Memang UU ini terasa belum adil, dan tugas kitalah mendorong perubahan agar berkeadilan. Perubahan hanya mungkin jika kita semua berkesadaran.
Mukidi kini paham, lalu mencari siasat untuk menjelaskan kepada Mukiyem, pujaan hati. Tapi ada satu hal yang sepintas kilas lewat dan kini bergelayut di benaknya. Anak yang belum dewasa (belum berumur 18 tahun), digabung dengan penghasilan orangtuanya. Mukidi ingat Mukiyeah, anak Mukiyem penyanyi cilik cantik imut berusia 13 tahun. Artinya, Mukidi punya waktu lima tahun lagi untuk menggabungkan penghasilan calon anak tirinya ke SPT-nya. Mukidi terjaga dari kursi malas, bergegas menghampiri Mukiyem untuk menyampaikan niat hati dan ilham dari membaca UU PPh. Ia makin mantap segera meminang Mukiyem, janda kembang beranak satu yang menjadi cinta mati sejak di bangku SMP, belasan tahun silam. Lamat-lamat terdengar Mukiyeah bernyanyi Cucak Rowo, persis di syair "Kucoba-coba melamar gadis, melamar gadis janda kudapat….."
(Bersambung)
Oleh:
Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis) Yustinus Prastowo
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News