Per definisi, tarif 15 persen sejatinya berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak Rp150 juta-Rp250 juta. Dengan demikian, penulis dianggap memperoleh penghasilan setara dengan Rp1,5 miliar-Rp2,5 miliar. Jika satu buku seharga Rp100 ribu, penerbit buku harus mampu menjual 15 ribu eksemplar. Untuk konteks Indonesia, penjualan buku hingga 15 ribu eksemplar adalah jumlah yang fantastis.
Lebih fantastis lagi, jumlah potongan pajak lebih besar jika dibandingkan dengan kewajiban pajak tahunan. Dalam hitungan Tere Liye dan Dewi 'Dee' Lestari, pajak yang dibayar penulis 24 kali lipat lebih besar daripada profesi lainnya.
Solusi alternatif atas dasar norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) belum sepenuhnya meredakan isu. Penulis yang berpenghasilan setahun tidak melebihi Rp4,8 miliar, penghasilan netonya diakui (deemed) sebesar 50 persen. Asumsi separuh penghasilan terkena pajak, lagi-lagi, dianggap tidak adil. Sisi mata satunya ialah pembelalak mata atas fenomena ketimpangan regulasi pajak yang berlaku di negeri ini.
Dalam perspektif yang lebih luas, potret persoalan yang sama bukan tidak mungkin juga dihadapi di sektor lain, bidang lain, dan profesi lain dengan atributnya masing-masing. Momen ini semakin menggema tatkala pola konsumsi rumah tangga mulai bergeser.
Data BPS menunjukkan pemenuhan kebutuhan untuk leisure mengalami peningkatan tajam. Komoditas kegiatan waktu luang, seperti restoran, hotel, tempat rekreasi, dan aktivitas kebudayaan menjadi konter atas rendahnya tenaga beli. Sementara itu, potensi ekonomi yang terkandung sektor leisure kian membesar, pengakuan pemerintah atas kekayaan cipta, rasa, dan karsa sepertinya belum serius.
Akibatnya, pendapatan negara dari pekerja seni selama 2016 sekitar Rp383,53 miliar yang disetor 911 wajib pajak dari yang tercatat 5.315 orang. Alhasil, dua sisi mata uang di atas menghendaki kompromi untuk menengahi polemik perpajakan agar semua pemangku kepentingan (produsen, konsumen, dan pemerintah) terakomodasi.
Idealnya, setiap profesi memiliki perlakuan pajak tersendiri sebagai wujud penghargaan terhadap profesi tersebut. Secara teoretis, kondisi ideal di atas sesungguhnya masih bisa tercapai. Profesi ialah representasi dari penciptaan lapangan kerja. Dinamika lapangan kerja mengikuti konsep permintaan turunan (derived demand). Induknya ialah permintaan terhadap barang/jasa yang diproduksi.
Atas dasar ini, profesi senantiasa harus dikaitkan dengan sektor produksinya. Sektor produksi mengikuti Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia BPS yang terbagi ke dalam sembilan sektor atau setidaknya tiga kelompok besar, yaitu pertanian, industri, dan jasa.
Setiap sektor dibagi lagi ke dalam sub-subsektor hingga klasifikasi lima digit. Bekraf juga sudah mengelompokkan ekonomi kreatif ke dalam 16 subsektor, yaitu: aplikasi dan pengembangan gim, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fesyen, film, animasi video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, serta televisi dan radio.
Tiap subsektor memiliki perbedaan kemampuan penyerapan tenaga kerja terkait dengan prospek produksinya. Subsektor ekonomi yang tumbuh kencang niscaya mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan melibatkan berbagai profesi terkait dan menawarkan upah yang lebih tinggi pula.
Upah tenaga kerja berasal dari nilai tambah (value added). Upah (bagi pekerja termasuk royalti), rent (bagi pemilik sumber daya), interest rate (bagi pemilik modal), dan profit (bagi pengusaha) membentuk nilai tambah. Dalam ekonomi pasar, fungsi ekonomi akan mendistribusikan nilai tambah berdasarkan besarnya peranan.
Risiko Profesi
Di dalam tiap peran pekerjaan implisit terkandung risiko. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi upah yang ditawarkan. Risiko tersebut tidak hanya mencakup segala konsekuensi yang timbul di saat menjalankan profesi, tetapi juga risiko di saat tidak sedang menjalankan profesi.
Risiko yang disebut terakhir mencakup masa tunggu untuk produksi berikutnya, saat menunggu hasil karya terjual, hasil karya tidak laku karena pembajakan, dan biaya lain saat tidak sedang memperoleh penghasilan. Artinya, penghasilan pekerja ekonomi kreatif tidak sepenuhnya identik dengan tambahan kemampuan ekonominya. Kondisi ini sangat kontras dengan profesi lain yang rutin mendapat penghasilan setiap periode.
Penghasilan di atas pendapatan tidak kena pajak mencerminkan kemampuan finansial. Karenanya, PPh bagi pekerja di sektor ekonomi kreatif tidak bisa disamaratakan dengan profesi yang bersifat tetap.
Preferensi pekerja lepas dalam menyikapi risiko dengan upah menjadi determinan penting terhadap efektivitas PPh upah. Profesi yang tipikal pekerja keras (workaholic), pengenaan PPh tidak mengubah peta penghasilan.
Akan tetapi, profesi yang tipikal penghindar risiko (risk averse), PPh akan berakibat pekerja beralih ke profesi lain. Dengan skema problematika di atas, NPPN semestinya memperhitungkan risiko profesi alih-alih hanya penghasilan semata. Secara filosofis, NPPN adalah 'kebijakan' yang belum diatur peraturan yang secara hierarkis berada di atasnya. Karenanya, NPPN bisa lentur dalam mengakomodasikan ekosistemnya.
Prinsip perpajakan, pada umumnya, dan NPPN, pada khususnya, memang mensyaratkan kesederhanaan. Aspek kesederhanaan diharapkan menjamin regulasi akan berjalan sebagaimana mestinya.
Hanya, terminologi kesederhanaan ini harus diletakkan dalam konteks simplifikasi alih-alih simplistis. Kekhawatiran Menteri Keuangan atas kompleksitas aturan perpajakan sejatinya masih bisa direduksi dengan menyistematisasi semua profesi ke dalam database.
Supervisi OECD atas teknologi informasi yang tengah dibangun Direktorat Jenderal Perpajakan bisa menjadi titik tolak rekonsiliasi data tiap profesi dengan besaran pajaknya. Alhasil, setiap profesi setidaknya akan memiliki perlakuan pajak tersendiri sebagai wujud penghargaan terhadap profesi tersebut. Alhasil, tiap profesi akan bekerja profesional. Dalam skala yang lebih besar, pelaku ekonomi kreatif akan merasa berkontribusi secara finansial terhadap negara. (Media Indonesia)
Haryo Kuncoro
Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News