Pasar khawatir terhadap potensi campur tangan Erdogan terhadap Bank Sentral Turki. Erdogan yang menggambarkan dirinya sebagai musuh bunga bank menginginkan kredit murah dari bank untuk mendorong pertumbuhan, tetapi investor khawatir ekonomi akan menjadi terlalu panas. Para analis mengatakan, jika Bank Sentral ingin mendapatkan kredibilitas sebagai bank yang independen, suku bunga harus dinaikkan 5 atau 10 persen, hal yang ditentang Erdogan.
Selain isu ekonomi internal, krisis moneter Turki tak lepas dari sanksi ekonomi AS dan perselisihan politik kedua negara anggota NATO tersebut. Sejak 10 Agustus, AS meningkatkan dua kali lipat tarif impor aluminium dan baja dari Turki, masing-masing sebesar 20 persen dan 50 persen, hingga menyebabkan nilai tukar mata uang Turki (lira) terhadap dolar AS makin anjlok sampai 40 persen.
Sanksi ini bertujuan memaksa Turki membebaskan pendeta Andrew Craig Brunson, Kepala Gereja Kebangkitan Izmir di Turki, yang ditahan sejak Oktober 2016. Menyusul kudeta gagal--dilancarkan faksi militer di tubuh angkatan bersenjata Turki yang bersimpati pada ulama liberal Turki Fethullah Gulen, yang sejak 1996 mengasingkan diri di AS, dengan tuduhan terlibat dalam spionase dan terorisme terkait dengan kudeta gagal itu dan terorisme Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki.
Brunson seorang Evangelis, Kristen kanan yang menyumbang suara besar untuk Trump dalam Pilpres AS 2016. Sangat mungkin Trump ditekan komunitas Evangelis di AS bagi pembebasan Brunson. Tekanan Washington atas Ankara sebenarnya telah dimulai pada 1 Agustus, ketika Kementerian Keuangan AS menerapkan sanksi pada Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul dan Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu yang dituduh memainkan peran utama dalam organisasi-organisasi yang bertanggung jawab bagi penangkapan dan penahanan Brunson.
Brunson kini dikenai tahanan rumah setelah dua tahun di penjara. Akan tetapi bukannya mereda, krisis hubungan AS-Turki justru terus bereskalasi. Nampaknya, Ankara ingin menukar pembebasan Brunson dengan ekstradisi Gulen yang dipandang sebagai otak kudeta gagal itu. Kendati ada perjanjian ekstradisi AS-Turki, Gedung Putih ogah mengekstradisi Gulen karena harus melalui mekanisme hukum yang panjang dan kurangnya bukti bagi validnya tuduhan Turki.
Di luar masalah Brunson dan Gulen, memburuknya hubungan Turki-AS juga disebabkan, pertama, Turki menolak menerapkan sanksi atas Iran berupa penghentian impor minyak Iran sebagaimana dikehendaki AS. Memang pembangkangan Turki, bersama Tiongkok dan India yang merupakan importir migas Iran terbesar pertama dan melemahkan tekanan AS guna memaksa Iran merundingkan kembali kesepakatan nuklir Iran yang dipandang Trump sebagai kesepakatan yang cacat.
Kedua, Turki meninggalkan AS dan lebih memilih aliansi dengan Rusia dan Iran dalam upaya mengakhiri perang proksi di Suriah. Telah beberapa kali Turki, Rusia, dan Iran mensponsori perundingan perdamaian antara rezim Presiden Bashar al-Assad dan pihak oposisi di Astana (Kazakhstan) dan Sochi (Rusia).
Erdogan berharap hasil perundingan-perundingan itu dapat berujung pada pembentukan negara baru di Suriah yang demokratis karena Turki memiliki pengaruh signifikan di sana, guna menghentikan dukungan rezim Suriah sejak Presiden Hafez al-Assad terhadap PKK yang mendestabilisasi Turki.
Ketiga, AS mendukung Unit Perlindungan Rakyat (YPG), milisi Kurdi Suriah, yang merupakan kepanjangan tangan PKK. AS melatih dan mempersenjatai YPG dalam perang melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Turki curiga AS akan menyokong etnis Kurdi Suriah mendirikan wilayah federal yang membentang dari timur laut hingga utara Suriah sepanjang perbatasan Turki sebagaimana AS mendukung pembentukan pemerintahan otonomi Kurdi di Irak.
Tak heran, pada Agustus tahun lalu dan April tahun ini Turki melancarkan operasi militer Perisai Eufrat dan Tangkai Zaitun di Suriah utara yang dihuni mayoritas komunitas Kurdi guna mengaborsi maksud YPG itu. Operasi militer Turki yang berhasil mengusir YPG dari Afrin hingga Manbij mengecewakan AS yang ingin menggunakan YPG sebagai kartu tawar AS vis a vis Damaskus, Teheran, dan Moskow dalam pembentukan negara baru Suriah.
Keempat, Turki membeli sistem pertahanan udara canggih S-400 dari Rusia. S-400 dipandang menyalahi standar militer NATO, padahal Turki merupakan sayap militer NATO di tenggara Eropa yang sangat strategis untuk membendung Rusia.
Untuk meredakan ketegangan dengan AS, Erdogan sempat mengirim tim delegasi ke Washington untuk berunding, tetapi tidak membuahkan hasil. Sementara krisis lira telah berdampak pada sejumlah mata uang di dunia, termasuk rupiah, karena Turki adalah negara anggota G-20.
Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada menjelaskan, sentimen mengenai gejolak Turki turut menjadi faktor yang membuat sejumlah mata uang di dunia mengalami tekanan terhadap dolar AS. Turki memiliki banyak eksposure utang terhadap Eropa sehingga ketika krisis ekonomi terjadi di Turki langsung mempengaruhi ekonomi Eropa dan berdampak pada negara di Asia.
Pada 13 Agustus, nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp14.610 per USD. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dampak penurunan lira terhadap Indonesia masih sebatas persepsi. Dan ia menjamin Indonesia tidak akan mengalami ancaman krisis keuangan sebagaimana Turki karena fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. "Namun, kita harus waspada," katanya. (Opini/Media Indonesia)
Smith Alhadar
Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News