Ilustrasi. MI/Amiruddin Abdullah Reubee
Ilustrasi. MI/Amiruddin Abdullah Reubee

Jalan Terjal Swasembada

Iqbal Musyaffa • 16 Desember 2014 19:40
medcom.id, Jakarta: Upaya pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mewujudkan swasembada pangan masih terkendala dengan terabaikannya hak-hak petani yang seharusnya menjadi ujung tombak terwujudnya keinginan tersebut.
 
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, sepanjang tahun 2014 masih banyak terjadi konflik agraria terbuka yang melibatkan petani dan korporasi. "Sepanjang tahun 2014 terjadi setidaknya 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk di akar rumput," ujar Henry di Jakarta, Selasa (16/12/2014).
 
Dari total 143 konflik agraria tersebut terdapat dua korban jiwa dari pihak petani. Satu korban jiwa terjadi di Jambi akibat konflik antara petani dari suku Anak Dalam dan PT Asiatik Persada. Sedangkan satu korban jiwa lainnya terjadi di Kalimantan Tengah karena konflik antara petani lokal dan PT Agro Bukit.

"Selain korban jiwa, juga terdapat sebanyak 90 orang korban kekerasan dan 89 orang petani dikriminalisasi. Secara keseluruhan, akibat konflik tersebut ribuan kepala keluarga terusir dari lahan pertanian yang mereka pertahankan," katanya.
 
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia pada tahun 2014 mencakup total luas lahan sekitar 649,97 ribu ha. "Paling banyak konflik pertanahan terjadi di Sumatera dengan total area 545,96 ribu ha atau 83,9 persen, kemudian di Sulawesi dengan luas area konflik 6,8 persen, dan juga di Jawa sebesar 6,1 persen," ucap dia.
 
Konflik agraria di Sumatera paling banyak terjadi akibat ekspansi lahan perkebunan sawit dan pertambangan. Namun, menurut Henry, konflik agraria yang terjadi pada tahun ini masih lebih rendah dari yang terjadi di tahun lalu. Pada tahun lalu, konflik agraria melibatkan 139,8 ribu kepala keluarga dengan total area persawahan sebesar 1,28 juta ha.
 
"Korban jiwa pada tahun lalu sebanyak 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban penganiayaan, dan 239 orang ditahan aparat keamanan," tukasnya.
 
Konflik agrari secara tidak langsung berkontribusi pada berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian, selain juga karena sulitnya akses pelayanan publik serta kesejahteraan untuk petani. "Dalam 10 tahun terakhir jumlah keluarga tani berkurang 5,09 juta keluarga atau rata-rata 509 ribu keluarga tani meninggalkan lahan pertanian setiap tahun," tuturnya
 
Saat ini, rata-rata petani di pedesaan berusia lebih dari 50 tahun. "Penduduk dengan usia produktif 18-50 tahun lebih memilih untuk melakukan urbanisasi dan meninggalkan area persawahan," kata dia.
 
Menurutnya, dua alasan utama yang membuat banyak keluarga yang meninggalkan sektor pertanian adalah karena profesi petani dianggap tidak mampu menjadi mata pencaharian untuk memenuhi kesejahteraan, serta keluarga tani terpaksa beralih profesi karena tidak ada lagi lahan yang dapat digarap untuk bertani. "Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha bertani hanya sebesar Rp12,41 juta per tahun atau rata-rata hanya Rp1 juta per bulan.
 
Hak petani atas kehidupan layak sepanjang tahun 2014 tidak bergerak signifikan, karena indikator nilai tukar petani pada bulan November hanya naik menjadi 102,37 dari nilai tukar petani di bulan Januari sebesar 101,95.
 
Henry menambahkan, kelangkaan pupuk disertai lonjakan harganya di pasar menjadi dilema tersendiri bagi petani. Pun dengan adanya legalisasi produk genetically modified organism yang akan menghilangkan benih lokal dari para petani penangkar benih dan dapat mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati. Selain itu, permasalahan di sektor pertanian juga ditambah dengan banyaknya irigasi yang rusak dan tidak terurus.
 
"Pemerintah harusnya tidak ragu untuk mlindung dan memperkuat posisi petani. Visi misi Jokowi-JK jelas ingin membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria dan adanya perlindungan untuk tanah rakyat," ujar dia.
 
Menurutnya, pemerintah berkomitmen untuk mendistribusikan tanah sebesar 9,6 juta ha untuk pertanian. SPI menurutnya juga akan menunggu realisasi dari rencana pemerintah untuk membentuk bank khusus pertanian serta pusat-pusat pembenihan untuk petani. "Ada juga rencana untuk merubah pertanian berdasarkan teknologi-teknologi industri menjadi teknologi ekologis, serta membangun waduk-waduk untuk irigasi," tukasnya.
 
Menurutnya, Jokowi memiliki komitmen untuk melindungi hak-hak asasi petani. "Kita menantikan itu menjadi program konkret Jokowi sehingga tidak lagi terjadi pelanggaran hak petani secara signifikan," katanya.
 
Henry mengatakan, swasembada pangan yang ditargetkan pemerintah mungkin saja tercapai, namun masih ada kekhawatiran sendiri di kalangan petani. "Kita khawatir swasembada pangan tidak secara otomatis dapat mengatasi problem yang terjadi terkait pelanggaran hak-hak asasi petani apabila tidak ada upaya untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ada saat ini," ucap dia.
 
Dia khawatir swasembada yang terjadi nanti untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai bukan diproduksi petani, melainkan oleh pihak lain seperti korporasi. "Nanti keluarga tani akan semakin berkurang apabila sektor pertanian dikuasai oleh korporasi-korporasi pertanian, bukan oleh petani," tukasnya.
 
Swasembada pangan menurutnya bukan patokan kesejahteraan dan keadilan bagi petani. "Tolok ukurnya adalah adanya keadilan dalam produksi, seperti tersedianya lahan untuk petani, harga yang menguntungkan petani, benih-benih diproduksi petani, pupuk tersedia, dan nilai tukar petani harus tinggi," cetusnya.
 
Di kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Mudjiadi mengatakan, target pencapaian surplus produksi beras nasional pada 2014 sebesar 10 juta ton akan sulit dicapai karena produkvitas sektor pertanian nasional masih menghadapi sejumlah kendala yang belum teratasi sampai saat ini. Kendala tersebut antara lain penyusutan lahan, produksi padi petani menurun, serta minimnya sarana irigasi. "Benar, kalau target surplus 10 juta ton tahun ini, tidak akan dicapai. Angkanya jauh di bawah itu," katanya.
 
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa target tersebut adalah target pemerintahan sebelumnya. Sementara untuk target pemerintahan saat ini adalah swasembada beras sebagai bagian dari program ketahanan pangan.
 
"Kalau swasembada patokannya adalah kemampuan memproduksi lebih dari kapasitas yang ada saat ini. Misalnya produktivitas nasional 70 juta ton beras, maka bertambah lima ton, sudah bisa dikatakan swasembada," ucapnya.
 
Target tersebut menurutnya sangat mungkin tercapai karena akan diikuti juga dengan program perbaikan dan pembangunan irigasi secara nasional. "Perbaikan saluran irigasi 3,3 juta ha dan irigasi baru 1,1 juta ha, itu sudah cukup memadai dalam tiga tahun ke depan," ujar dia.
 
Mudjiadi menambahkan, untuk perbaikan saluran irigasi tersebut sebesar 2 juta ha akan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi dan satu juta ha pemerintah pusat. "1,1 juta ha irigasi baru paling banyak akan berada di luar Jawa seperti Sulawesi dan Sumatera," tukasnya. Realisasi surplus beras pada tahun ini hanya sekitar 5 juta ton.
 
Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional S Indro Tjahyono mengatakan sangat disayangkan apabila target ketahanan pangan dalam pemerintahan Jokowi tidak mengindahkan pentingnya peran sumber daya air. "Percuma bangun waduk, jika airnya tidak ada. Kami akan melakukan advokasi agar ketahanan air menjadi salah satu program prioritas pembangunan, selain ketahanan pangan, energi, dan maritim," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WID)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan