Secara normatif dan kondisi pasar normal, maka harga akan stabil mencapai keseimbangan apabila pasokan mencukupi. Hukum positif fakta lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Telah terjadi "anomali" harga beras di tingkat konsumen dan disparitas harga yang tinggi di produsen dan konsumen.
Anomali harga dapat dilihat dari data pasokan beras dan harga di konsumen secara bulanan lima tahun terakhir. Pasokan beras bulanan berfluktuasi sesuai musim produksi, sedangkan harga beras di konsumen selalu naik akibat berbagai faktor ekonomi dan nonekonomi lainnya. Pasokan tidak berkorelasi dengan harga beras.
Hal ini berarti produksi yang tinggi (sesuai ARAM-II BPS 2015) ternyata tidak mengalir secara baik sampai ke konsumen. Kondisi ini sudah berlangsung lama dan menjadi masalah klasik yang orang menyebut "anomali pasar pangan", namun sampai sekarang belum ada solusi yang mujarab.
Selanjutnya, harga gabah di petani Rp3.700 per kg GKP (memakai harga HPP) bila dikonversi dan ditambah biaya olah menjadi beras setara Rp6.359 per kg, namun ternyata harga beras di konsumen berkisar Rp10.172 per kg. Hal ini menunjukkan ada disparitas harga tidak wajar, yang mengindikasikan ada masalah pada aspek distribusi, sistem logistik, tata niaga, struktur dan perilaku pasar. Semestinya disparitas harga dan anomali pasar ini menjadi fokus penyelesaian masalah.
Anomali harga beras, disparitas harga maupun anomali pasar yang kronis ini, sudah waktunya dirombak sehingga menjadi struktur pasar yang baru yang lebih berkeadilan. Adil dalam arti setiap pelaku antara produsen, pedagang dan konsumen saling menikmati manfaat.
Sumber resmi data BPS ARAM-II 2015 bahwa produksi padi 2015 sebesar 74,9 juta ton atau naik 5,85 persen, jagung naik 4,34 persen, kedelai 2,93 persen dibandingkan 2014. Sesuai peraturan, lembaga resmi BPS merilis data semestinya menjadi pijakan bersama. Bila data pangan dari BPS diragukan, sama halnya meragukan seluruh data yang ada di BPS, mengingat seluruh data disusun dengan prosedur dan pedoman standar baku serta diolah dengan metode yang teruji di BPS.
Selanjutnya terkait dengan keraguan data stok beras, maka satu rujukan yang dapat digunakan adalah hasil Survey Sucofindo sejak 2017-2011. Data beras terdiri dari stok di masyarakat dan stok di Bulog. Sucofindo pada saat musim paceklik Oktober 2010 menyebutkan stock di masyarakat yaitu di produsen 64,21 persen, di pedagang (pengumpul, penggilingan, koperasi, grosir, pengecer, supermarket, dll) 24,29 persen dan di konsumen (rumah tangga umum, rumah tangga khusus, rumah makan besar, rumah makan kecil, hotel, restoran) 11,5 persen.
Kemudian hasil survey Juni 2011 menyebutkan stok di produsen 81,51 persen, di pedagang 9,02 persen dan di konsumen 9,47 persen. Hasil survey ini setidaknya bisa menjawab keberadaan surplus beras yang berada di masyarakat dan di Bulog.
Bila masih meragukan data hasil survey Sucofindo, sebaiknya melakukan pendataan survey atau sensus tersendiri. Kini sudah tidak waktunya lagi saling menyalahkan tentang pangan ini. Alangkah manisnya apabila masing-masing pihak bersepakat dan menyelesaikan secara bersama-sama guna mewujudkan kedaulatan pangan sesuai amanat Nawacita. Tidak ada masalah sulit yang tidak dapat diselesaikan, apabila kita memiliki komitmen yang tinggi terhadap bangsa dan mencintai rakyat jelata, termasuk petani gurem.
Kepala Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian, Dr Suwandi
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News