Kondisi arus kas PLN dikhawatirkan menyebabkan BUMN itu tidak mampu membayar kewajiban utang mereka dan kemudian berakibat kepada kredibilitas keuangan negara.
Menkeu sepertinya ingin mengingatkan dampak dari kebijakan tarif dasar listrik yang sudah diputuskan Menteri ESDM untuk tidak dinaikkan sampai akhir tahun ini. Padahal, selama ini tarif listrik dikaji setiap tiga bulan disesuaikan dengan perkembangan harga energi dunia.
Apabila penerimaan PLN tidak sejalan dengan kewajiban yang harus dibayarkan, PLN tidak akan mampu membayar utang yang mereka pinjam untuk membangun pembangkit-pembangkit listrik yang baru.
Sekarang ini kita melihat kecenderungan harga minyak mentah dunia yang terus naik. Saat ini harga minyak dunia sudah di atas USD50 per barel. Penyebab kenaikan harga minyak dunia memang banyak.
Pertama, ketegangan di Timur Tengah yang merupakan produsen minyak terbesar. Kedua, ketegangan di Semenanjung Korea dengan uji coba nuklir serta ancaman perang yang dilakukan Korea Utara. Ketiga, badai besar yang berturut-turut menerjang Amerika Serikat serta Amerika Tengah.
Namun, kenaikan harga minyak dunia sebenarnya sudah diperkirakan sejak akhir tahun lalu. Lembaga konsultan McKinsey sudah memprediksikan, pada semester II 2017, harga minyak dunia akan mencapai USD60 per barel. Beban kenaikan harga minyak dunia ini sudah dirasakan PT Pertamina.
Keputusan pemerintah untuk juga tidak menaikkan harga bahan bakar minyak membuat Pertamina harus menanggung beban kerugian. Sampai semester I-2017, subsidi yang harus dikeluarkan Pertamina untuk menjalankan tugas yang dimintakan pemerintah itu sudah memakan keuntungan perusahaan sampai USD1 miliar.
Pengamat ekonomi Faisal Basri sudah mengingatkan Presiden Joko Widodo tentang mahalnya kebijakan populis yang dijalankan pemerintah. Padahal di awal pemerintahan, Jokowi sudah membuat langkah yang tepat dengan menaikkan harga BBM untuk memindahkan subsidi pemerintah dari yang konsumtif menjadi produktif.
Ternyata menjelang Pemilihan Umum 2019, Jokowi tidak tahan untuk kembali menerapkan kebijakan populis. Demi kepentingan politik, Jokowi memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik, tanpa memperhatikan pergerakan harga minyak dunia.
Memang, beban subsidi kali ini tidak secara langsung ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara. Akan tetapi, dengan memerintahkan BUMN menanggung beban biaya, sebenarnya pemerintah melakukan subsidi secara tidak langsung.
Dua BUMN energi, yaitu PLN dan Pertamina, kini merasakan akibat dari kebijakan populis tersebut. Mereka harus kehilangan potensi untuk membuat kondisi keuangan yang lebih baik. Pada satu titik mereka mungkin tidak sanggup lagi untuk menopang beban subsidi tidak langsung itu dan akibatnya mereka bisa merugi.
Ketika kerugian harus dihadapi BUMN tersebut, bukan hanya dividen kepada APBN yang tidak bisa disetorkan, melainkan juga kelangsungan usaha mereka akan terganggu. Pada satu saat negara juga yang harus menutup kerugiannya dan beban itu akan kembali kepada APBN.
Itulah peringatan yang sebenarnya ingin disampaikan Menkeu. Memang, belum tentu perusahaan seperti PLN akan merugi dan menghadapi masalah pada arus kas mereka. Akan tetapi, kalau kewajiban mereka lebih besar daripada potensi penerimaan, potensi gagal bayar akan bisa terjadi.
Karena PLN dan Pertamina merupakan perusahaan yang strategis dan banyak investasi mereka dijamin negara, persoalan yang terjadi pada tingkat korporasi bisa berdampak pada keuangan negara. Menteri BUMN sudah menjamin PLN melakukan investasi secara berhati-hati.
Dalam proyek 35 gigawatt, pembangkit yang dibiayai sendiri oleh PLN hanya sekitar 9.000 Mw, sisanya dilakukan swasta. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa penjualan listrik kepada masyarakat hanya boleh dilakukan PLN. Akibatnya, listrik yang dihasilkan swasta semuanya harus diserap PLN untuk dijual kepada masyarakat.
Persoalannya, ketika tarif dasar listrik diputuskan untuk tidak naik, ruang yang dimiliki PLN untuk membuat kondisi keuangan mereka lebih sehat menjadi terbatas. Padahal, dari banyaknya pembangkit milik PLN, bahan bakar yang dipergunakan sangat berkaitan dengan harga minyak dunia.
Ketika harga minyak dunia naik, beban biaya otomatis ikut naik, sedangkan penerimaan relatif tetap. Pekerjaan rumah untuk menyelesaikan persoalan ini tentunya ada di tangan pemerintah. Kita hanya mengingatkan kebijakan populis jangan mengabaikan kondisi ekonomi yang sebenarnya terjadi karena salah-salah persoalan akan balik mengena pada pemerintah sendiri.
Kedua, persoalan ini sebaiknya diselesaikan secara internal di dalam pemerintah. Para menteri lebih baik duduk bersama membicarakan masalah ini, bukan saling mengirim surat dan disampaikan ke publik. Kita khawatir kalau pemerintah ini berjalan sendiri-sendiri, kesannya menjadi tidak ada pemimpin yang mengendalikan jalannya pemerintahan. Ironis! (Media Indonesia)
Suryopratomo
Dewan Redaksi Media Group
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News