Suryopratomo. (FOTO: MI/Panca Syurkani)
Suryopratomo. (FOTO: MI/Panca Syurkani)

Energy

14 September 2016 08:14
RAPAT Kerja Komisi VII DPR dengan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas pekan lalu mengungkapkan ancaman krisis energi yang kita akan hadapi. SKK Migas melihat target lifting minyak tahun depan yang ditetapkan 815 ribu barel per hari tidak akan bisa tercapai.
 
Maksimal produksi minyak kita hanya 780 ribu barel per hari. Bahkan SKK Migas melihat produksi minyak dalam negeri akan terus menurun hingga maksimal 550 ribu barel per hari pada 2020. Penyebabnya ialah harga minyak dunia yang rendah sehingga tertundanya investasi baru untuk eksplorasi minyak.
 
Namun, Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Pandjaitan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR tetap optimistis target lifting minyak 2017 akan bisa tercapai. Pemerintah dan DPR sepakat menetapkan lifting migas 1,965 juta barrel equivalent minyak per hari, dengan 815 ribu barel disumbangkan dari minyak.

Kita harus memberikan perhatian serius pada persoalan energi karena hal ini vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri di Indonesia. Kita tidak mungkin akan bisa menjadi negara industri baru apabila tidak ditopang ketersediaan energi yang memadai.
 
Kita tidak bisa asal-asalan dalam menyiapkan kebutuhan itu. Sudah menjadi hukum besi, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi membutuhkan 1,5 persen tambahan pasokan energi. Kenyataannya sejak 1994 produksi minyak nasional terus menurun. Setelah puncak produksi sekitar 1,5 juta barel per hari, tahun depan produksi minyak kita turun lebih 50 persen. Beruntung produksi gas kita meningkat.
 
Hanya saja pasokan gas itu tidak bisa terus diharapkan meningkat. Tanpa ada investasi baru di sektor hulu, produksi gas akan terus menurun. Contoh paling nyata produksi gas Total EP di Kalimantan Timur yang terus menurun dan membutuhkan eksplorasi baru agar kita bisa melakukan eksploitasi untuk meningkatkan produksi.
 
Kita tidak boleh lupa, investasi migas bukan hanya mahal, melainkan juga butuh waktu lama. Blok gas Masela, misalnya, sudah dieksplorasi sejak 1990-an, tetapi baru sekarang kita bisa temukan dan ketahui jumlahnya. Untuk bisa kemudian dikeluarkan dari perut bumi, blok gas di Maluku itu butuh waktu hingga 2024.
 
Untuk itu lah, perencanaan eksplorasi minyak harus dilakukan mulai sekarang. Kita tidak bisa menunda karena kondisi yang kita hadapi sudah krisis. Apalagi pemerintah begitu menggebu untuk mendorong masuknya investasi. Tiga belas paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah membawa konsekuensi bagi penyediaan energinya.
 
Investasi di sektor migas tidak mungkin mengandalkan APBN. Bahkan berpuluh-puluh tahun kita mengandalkan investasi asing untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Sekarang, Indonesia berada pada urutan ke-113 dari 126 negara dalam daya tarik untuk berinvestasi di sektor migas.
 
Dengan kondisi seperti itu diperlukan konsep yang lebih strategis. Pendekatan seperti apa yang hendak kita tawarkan agar daya saing Indonesia lebih meningkat? Apakah kita masih akan menggunakan strategi cost recovery seperti yang diterapkan zaman Ibnu Sutowo? Ataukah kita menawarkan konsep baru yang lebih cocok dengan kebutuhan zaman?
 
Konsep itu bahkan harus disesuaikan dengan pengembangan energi yang hendak kita lakukan. Kita tahu sudah ada konsep bauran energi hingga 2025 yang disesuaikan dengan tanggung jawab Indonesia untuk mengurangi emisi gas buang.
 
Dalam pertemuan COP21 di Paris, kita sudah memasang janji yang tinggi untuk menurunkan kontribusi emisi gas buang. Boro-boro kita menyiapkan langkah ke arah sana, konsep untuk menjawab krisis energi saja masih tidak jelas.
 
Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan