Ironisnya, potensi sumber daya laut di negeri ini sangat berlimpah, seharusnya nelayan bisa lepas dari jeratan kemiskinan, namun mereka tetap miskin karena kebijakan pemerintah yang masih berpihak kepada pengusaha perikanan, tambang, minyak bumi dan industri pengolahan lainnya yang justru merusak lingkungan laut.
Penderitaan nelayan tradisional ini, diperparah ketika musim paceklik pada saat cuaca buruk seperti ombak besar, angin kencang sehingga nelayan tidak melaut. Jika tidak melaut maka tentu tidak ada penghasilan.
Saat ini, seperempat dari seluruh total penduduk miskin adalah dari kelompok dan keluarga nelayan tradisional di pesisir, yaitu sebanyak 7,87 juta orang atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang sebanyak 31,02 juta orang.
Sebagai negara maritim, dengan 70% wilayah berupa laut, seharusnya pembangunan ekonomi di Indonesia dititikberatkan pada sektor kelautan dan perikanan, bukannya tambang, minyak bumi, atau industri pengolahan hutan yang memperburuk perekonomian masyarakat pesisir yang hanya mengandalkan tangkapan ikan, udang, cumi-cumi.
Untuk itu, pemerintah harus mulai menata kebijakan pembangunan kelautannya dengan lebih banyak memperhatikan nasib nelayan tradisional. Jika nelayan-nelayan kecil ini dibina, maka mereka akan menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi Indonesia.
"Dalam dua tahun terakhir, kebijakan kelautan dan perikanan yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR justru tidak memihak kepada hajat hidup masyarakat nelayan," kata anggota Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Marthin Hadiwinata.
Oleh karena itu, katanya, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) harus merevisi tujuh kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan nelayan tradisional, karena hanya memihak pebisnis dan kontraktor perikanan yang bermodal besar.
"Tujuh kebijakan kelautan dan perikanan itu dinilai hanya berpihak kepada kepentingan asing, diskriminatif, berpotensi menyebabkan kriminalisasi nelayan," ujar dia.
Selanjutnya, kebijakan tersebut akan menimbulkan ancaman penggusuran terhadap masyarakat pesisir dan mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tujuh kebijakan kelautan dan perikanan yang dinilai merugikan nelayan tersebut, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, mengantikan Undang-undang Nomor 7 1996 tentang Pangan, Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disahkan DPR 18 Desember 2013. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Selanjutnya, Permen Kelautan dan Perikanan No. PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pesisir. Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Berikutnya, Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.
"Kami berharap pemerintah baru nanti untuk meninjau ulang kebijakan-kebijakan ini, karena nelayan tradisional semakin sulit meningkatkan hasil tangkapan ikan dan kesejahteraan keluarganya," tukasnya.
Selama ini, kebijakan-kebijakan dan program pemerintah justru memperlebar jurang kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal menikmati dana bantuan program pemerintah tersebut.
"Pemerintah terus menggaungkan industrilisasi perikanan, namun jarak kepada nelayan dan pembudidaya semakin jauh, padahal secara esensial tidak ada ubahnya dengan konsep minapolitan ala Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya yang hanya menguntungkan pembisnis dan kontraktor perikanan," ucap dia.
Konflik Tambang
Sementara itu, aktivis/pegiat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Bagus, mengatakan saat ini usaha tambang pada tahap eksplorasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mencapai 1.117 izin dan tambang operasi produksi sebanyak 778 izin.
"Kami berharap pemerintah baru nanti, mencabut izin-izin tambang yang bertentangan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya.
Dia mengatakan, keberadaan tambang ini juga menimbulkan konflik masyarakat pesisir dan nelayan dengan perusahaan tambang, karena keberadaan tambang tersebut merugikan nelayan seiring tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan yang parah. Misalnya, kata dia, perebutan ruang hidup dan jaminan keselamatan masyarakat pesisir yang berada di wilayah pesisir barat sepanjang Pulau Jawa dan Sumatera.
Masyarakat pesisir penambangan pasir besi yang berujung konflik dan perampasan tanah, seperti kejadian aksi protes masyarakat Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jogja. Penambangan bijih timah di laut yang mengancam dan merusak wilayah tangkap nelayan serta pariwisata di Bangka Belitung dan tambang nikel di Pulau Halmahera yang memberikan konsesi lebih dari tiga per empat luas wilayah.
Selanjutnya, ancaman pulau-pulau kecil akibat masifnya industri ekstraktif dan perkebunan di Pulau Bangka, Sulawesi Utara dengan konsesi tambang biji besi 2.000 hektar dari total luas wilayah 4.700 hektar yang berpontensi merusak kawasan pesisir akibat limbah tambang.
"Persoalan tambang ini jelas, karena ketidakjelasan peruntukan yang tumpang tindih kebijakan berbagai sektor, pada akhirnya merugikan masyarakat dan lingkungan sekitarnya," katanya.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional itu, Komisi IV DPR RI bersama Komite II DPD RI dan pemerintah telah menyelesaikan 364 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kelautan. "Allhamdulillah, 364 DIM kelautan selesai kita bahas. Inilah pertama kalinya tiga pihak membahas bersama sebuah RUU di komisi, dan semoga menjadi model pembahasan selanjutnya," kata Ketua Panja RUU Kelautan Komisi IV DPR, Firman Soebagyo.
Dari 364 DIM, sebanyak 114 di antaranya pembahasannya diserahkan kepada Panja. Sebanyak 88 di antaranya merupakan perubahan substansi yang diputuskan Panja, sedangkan 26 sisanya diserahkan kepada tim perumus terdiri dari tim kecil dan tim sinkronisasi. Isu strategis DIM RUU Kelautan antara lain menyatakan perairan dalam yurisdiksi nasional meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, landas kontinen, zona tambahan, serta zona ekonomi eksklusif.
Selanjutnya Indonesia memiliki kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Sementara pada zona tambahan, Indonesia memiliki yuridiksi.
Pada zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat yakni menetapkan zona tambahan dari garis pangkal serta berhak mencegah dan menghukum pelanggaran. Selain itu, isu strategis lainnya ialah pembangunan kelautan bertujuan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, dan kuat.
Pembangunan kelautan diselenggarakan antara lain melalui perumusan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, pengembangan sumber daya manusia, pengamanan wilayah kelautan, penataan ruang, dan budaya bahari.
Namun, anggota Komite II DPD asal Sumatera Barat, Afrizal, mengusulkan agar setelah pengesahan kegiatan berikutnya adalah sosialisasi oleh tiga pihak secara bersama-sama. "Faktanya, banyak produk UU yang tidak diketahui dan dipahami para pemangku kepentingan di pusat dan terutama di daerah, karena itu sosialisasi harus segera dilakukan, jangan menunggu lagi," katanya. (Antara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News