Ilustrasi. (FOTO: Reuters)
Ilustrasi. (FOTO: Reuters)

Diaspora sebagai Strategi Ekonomi

20 Agustus 2016 12:12
SALAH satu fenomena sosial-ekonomi yang paling dahsyat di abad ke-21 ialah mencuatnya peran diaspora sebagai motor globalisasi.
 
Dewasa ini diperkirakan ada 250 juta penduduk yang lahir di luar negara, yakni mereka berdomisili, sama dengan jumlah penduduk Indonesia atau Brasil.
 
Diaspora merupakan orang yang merantau ke luar wilayah negaranya, baik untuk belajar, bekerja, atau menetap yang memang kini menjadi primadona.

Satu faktor yang membuat Tiongkok berhasil melejit dari negara paling miskin menjadi ekonomi terbesar di dunia adalah kemampuannya untuk memanfaatkan investasi overseas Chinese di Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan lain-lain.
 
Begitu pula India, raksasa Asia yang kini sangat gencar memberikan insentif untuk menarik diasporanya yang jumlahnya 30 juta lebih. Presiden Amerika Barack Obama pun belakangan ini aktif mendorong UU untuk menjaga agar brain power dari jutaan diaspora internasional tetap tinggal di AS sebagai aset ekonomi.
 
Langkah cemerlang
 
Memang, banyak negara yang nasibnya berbalik arah karena diaspora. Rwanda yang hancur karena genosida kini menjadi ekonomi paling cemerlang di Afrika karena peran diasporanya yang tinggal di AS dan wilayah lain. Begitu juga Etiopia, Vietnam, Libanon, Armenia, Korea, dan lain-lain. Diaspora Indonesia sebenarnya tergolong top 10 terbesar dunia.
 
Diaspora yang memegang paspor WNI berjumlah enam juta. Dari jumlah ini, dua juta ialah TKI yang secara konsisten menyumbang Rp130 triliun lebih ke Tanah Air, dikirim langsung ke desa dan keluarga mereka sehingga dampaknya sangat riil di lapangan. Jumlah devisa TKI ini lebih besar dari selurun jumlah investasi asing di Indonesia. Ini belum termasuk sumber daya yang dialirkan diaspora non-TKI yang belum terdata.
 
Hebat bukan?
 
Diaspora Indonesia relatif baru bangkit, yakni sejak 2012 ketika mereka bertemu di Kongres Diaspora Indonesia di Los Angeles, AS, untuk mengucapkan ikrar ingin menjalin hubungan baru dengan Tanah Air. Mereka datang dari AS, Belanda, Australia, Qatar, Afrika Selatan, Tiongkok, Madagaskar, Suriname, Jerman, dan banyak lagi. Umumnya, mereka ialah kelas menengah, berpendidikan relatif tinggi, dan low profile.
 
Walaupun domisilinya berbeda, mereka mempunyai satu kesamaan, yaitu kecintaan yang tak pernah padam pada Indonesia. Sahabat saya Iwan Sunito, diaspora yang kini menjadi raja properti di Sydney, menyatakan kecintaan diaspora terhadap Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan orang Indonesia di Tanah Air.
 
Benar sekali apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla bahwa di abad ke-21, "Nasionalisme tidak dapat diukur dengan paspor saja, tetapi juga dengan hati dan aksi."
 
Bagi diaspora yang sudah menjadi WNA, aspirasi mereka yang nomor satu ialah dwikewarganegaraan. Ini yang saya selalu saya dengar sewaktu keliling saat menjadi duta besar di AS. Hal ini juga selalu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo setiap kali bertemu dengan diaspora di luar negeri.
 
RUU Dwikewarganegaraan pernah masuk prolegnas DPR, tetapi kemudian mentah lagi. Menurut saya, sebagai Ketua Dewan Diaspora Global, sudah saatnya kita menggulirkan kembali RUU Prolegnas itu dan menjadikannya salah satu agenda nasional yang perlu dituntaskan kalau bisa sebelum 2019.
 
Saya sangat menghargai upaya Presiden Joko Widodo, termasuk juga Menko Luhut Pandjaitan, yang terus berupaya merangkul diaspora untuk memanfaatkan potensi mereka.
 
Menurut saya, langkah pertama ialah pemerintah (dalam hal ini Kementerian Luar Negeri) melakukan survei yang serius untuk mengumpulkan data berapa jumlah diaspora Indonesia yang telah menjadi WNA, baik generasi pertama, kedua, maupun ketiga (dan seterusnya), di mana konsentrasi mereka (di AS, Belanda, Australia, dan sebagainya).
 
Langkah berikut membentuk pokja untuk melakukan analisis untung rugi bagaimana dampaknya kalau dwikewarganegaraan diberlakukan, berapa jumlah diaspora WNA Indonesia yang akan melamar, dan apa kira-kira dampak ekonomi sosia, pendidikan, dan sebagainya bagi Tanah Air.
 
Kemudian, pelajari dan tetapkan ruang lingkup serta pembatasannya, misalnya, diaspora generasi mana yang bisa mendapat fasilitaas dwikewarganeraan (generasi pertama, kedua, atau ketiga?); diaspora yang mendapat dwikewarganegaraan tidak bisa memangku jabatan politik; UU Dwikewarganegaraan hanya diperuntukkan bagi diaspora atau orang yang dinikahi mereka serta keturunan mereka, dan lain-lain.
 
Terakhir, lakukan pembahasan politik dan luncurkan proses perundang-undangan dwikewarganegaraan. Dwikewarganegaan jangan dijadikan isu yang emosional. Ingat, sebenarnya dwikewarganegaraan sudah berlaku di Indonesia untuk anak-anak di bawah 18 tahun yang mempunyai orangtua yang salah satunya WNA. UU ini pun dulu dirintis dan digolkan secara rasional, tidak emosional.
 
Kebijakan dwikewarganegaraan harus dibuat sebagai suatu strategi ekonomi yang cerdik untuk pembangunan Indonesia, dan juga strategi globalisasi untuk menduniakan Indonesia. Diaspora jangan dianggap sebagai ancaman. Mungkin ada segelintir kecil yang perlu diwaspadai.
 
Namun, profil diaspora umumnya ialah suatu komunitas besar yang cinta Tanah Air. Jangan mencurigai diaspora sebelum Anda bertemu dan berdialog dengan diaspora Indonesia. Ingat, mereka sebenarnya ialah darah daging dan ekstensi budaya bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh dunia.
 
Saya mempunyai visi bahwa setiap 17 Agustus, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di setiap kota di seluruh dunia yang ada penduduk berdarah Indonesia, diaspora yang WNI dan WNA berduyun-duyun menghadiri upacara HUT kemerdekaan.
 
Mereka sama-sama mengerek Merah Putih ke ujung atas tiang, sama-sama menyanyikan Indonesia Raya dengan semangat karena mereka sama-sama menghargai budaya dan leluhur Indonesia yang mulia, apa pun warna paspor mereka.
 
Indah kan visi ini?
 
Dino Patti Djalal
Inisiator Kongres Diaspora Indonesia 2012 Ketua Dewan Diaspora Indonesia Global

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan