A Tony Prasetiantono. (FOTO: Medcom.id)
A Tony Prasetiantono. (FOTO: Medcom.id)

Mencoba Tetap Realistis di Tengah Gelombang Tekanan

20 Agustus 2018 10:07
PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 dengan skenario yang diupayakan serealistis mungkin. Pemerintah memang tidak mungkin bisa mengelak bahwa perekonomian Indonesia masih berada dalam tekanan besar dari berbagai penjuru. Masalah kita tidak sekadar terancam kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat, tetapi masih ada berbagai faktor lain yang ikut mengganggu, yakni kenaikan harga minyak dunia, perang dagang, seta belakangan ini krisis ekonomi Turki. Semua faktor itu telah secara simultan menekan hampir semua mata uang dunia, termasuk rupiah.
 
Di tengah gelombang tekanan itu, pemerintah harus menyusun anggaran secara realistis agar kredibel. Pada awal Presiden Jokowi menjalankan tugasnya, harus diakui, muncul berbagai proteksi dan asumsi yang 'terlalu ideal' sehingga sulit direalisasikan. Meski awalnya memberi kesan bahwa kabinet Jokowi ingin bekerja keras dengan menetapkan target-target yang tinggi, hal itu sebenarnya percuma. Kenapa? Pasar justru menilainya sebagai tidak kredibel. Jika semakin banyak target tidak tercapai, menjadi sekadar wishful thinking, kebijakan fiskal itu pun menjadi tidak kredibel.
 
Kini situasinya berbeda. Pemerintah pasti sudah belajar banyak dari peristiwa itu. Karena itu, RAPBN 2019 pun kini disusun berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi makro yang lebih realistis, bisa tercapai (achievable), sehingga kredibel di mata pasar, dan yang tak kalah penting, memperhatikan keberlanjutannya (sustainable).

Pertumbuhan Ekonomi dan Kurs Rupiah
 
Proyeksi yang paling menarik ialah variabel pertumbuhan ekonomi dan kurs rupiah. Pertumbuhan ekonomi 2019 dicanangkan 5,3 persen. Tumben, kali ini pemerintah tidak mencoba memproyeksikan angka yang 'fantastis' untuk ukuran sekarang, misalnya di atas lima persen. Tahun lalu, pemerintah masih mencoba membuat range pertumbuhan yang tinggi untuk 2018, sebelum kemudian mulai realistis bahwa modal terbesar untuk mencapainya tidak kita miliki. Modal terpenting itu ialah gairah konsumsi. Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan konsumsi rumah tangga (household consumption) hanya berkutat pada level lima persen, dan masih sulit mengungkitnya.
 
Kita seperti terkena jebakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga lima persen karena berbagai kendala. Saya menilai situasi ini terjadi karena masyarakat tampaknya mulai memasang strategi defensif terhadap krisis. Ketika mereka menilai perekonomian nasional dan global mengalami tekanan (under pressured), sikap terbaik ialah cenderung konservatif dalam merealisasikan rencana konsumsi. Dengan kata lain, mereka memilih menunda konsumsi dan melakukan konsumsi 'seadanya'. Kelak jika perekonomian membaik, rencana konsumsi tersebut bisa dieksekusi. Tidak harus melakukannya sekarang.
 
'Teori' lain tentang lambatnya konsumsi itu mengacu pada fenomena inovasi yang bersifat disruptif. Perekonomian global sedang dilanda arus besar inovasi-inovasi dalam berbisnis, yang sifatnya disruptif atau mengganggu kemapanan pemain lama. Pemain baru yang inovatif itu bercirikan lebih sigap, cepat delivery-nya, sehingga efisien. Kehadiran pemain-pemain bisnis baru itu (perusahaan start-up) mengganggu pemain-pemain lama sehingga terjadi proses transisi. Pada saat itulah konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan karena belum tancap gas secara 'pol' (100 persen).
 
Dalam situasi seperti inilah, sulit diharapkan terjadinya lompatan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, bila tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai antara 5,1 persen hingga 5,2 persen, tahun depan diproyeksikan hanya bertambah sedikit, menjadi 5,3 persen-5,4 persen. Entah mengapa, pemerintah memilih 5,3 persen ketimbang 5,4 persen. Mungkin ingin 'aman' saja. Namun, sebenarnya mencanangkan 5,4 persen pun sebenarnya sah saja dan itu masih dalam koridor rasional.
 


 
Asumsi kurs Rp14.400 per USD, padahal saat ini kurs Rp14.600 per USD, bisa diperdebatkan. Saya merasa asumsi pemerintah sudah benar dan rasional. Mengapa? Jika pemerintah mengikuti kurs saat ini Rp14.600 per USD, itu dapat menimbulkan sangkaan bahwa pemerintah sudah puas dengan kinerja Bank Indonesia dan rupiah saat ini. Berarti, tanpa melakukan upaya keras pun, rupiah sudah berada pada keseimbangan yang sudah ditetapkan, pada Rp14.600 per USD. Seolah-olah pemerintah sudah tidak punya ambisi dan niat untuk bekerja keras lagi untuk memperbaiki kurs rupiah.
 
Sikap ini tidak benar. Pemerintah harus punya visi dan pendirian: sebenarnya, berapakan level ideal rupiah? Saya sendiri menilai kurs rupiah Rp14.600 per USD masih mengandung bias, yakni 'tertarik' ke bawah (melemah) karena dipicu krisis ekonomi Turki. Padahal menurut saya, ini tidak benar. Silakan Turki mengalami krisis, tetapi sesungguhnya dampaknya tidak perlu terlalu heboh (lebay) seperti sekarang.
 
Turki ialah negara yang PDB-nya tidak terlalu besar, hanya USD900 miliar, lebih rendah daripada Indonesia yang PDB-nya USD1 triliun. Turki juga bukan Yunani, negara tetangganya yang menjadi anggota zona euro, sehingga mata uang ya euro. Jika Yunani bangkrut, dampaknya bisa menular (contagion effect) ke negara-negara euro yang lain, termasuk Jerman, Prancis, dan Belanda. Namun, Turki ialah negara yang 'berdiri sendiri', stand alone, yang mata uangnya lira, bukan euro.
 
Karena itu, krisis Turki sebenarnya bisa diisolasi, tidak seperti Yunani yang bisa segera mentransmisikan krisisnya ke negara-negara lain di Eropa. Namun, kenapa krisis Turki membuat heboh? Saya duga karena saat ini negara-negara di seluruh dunia sedang tercekam dan tertekan berbagai masalah (kenaikan suku bunga AS, harga minyak dunia, dan perang dagang) sehingga kasus Turki menjadi sensitif bagi negara-negara lain.
 
Saya masih percaya bahwa di kemudian hari pasar akan lebih rasional dan tenang dalam menyikapi krisis Turki. Tidak perlu direspons secara berlebihan karena kasus Turki berbeda dengan kasus Yunani. Mestinya lebih bisa agak diisolasi.
 
Meski demikian, saya juga kekurangan 'amunisi' atau argumentasi untuk membuat asumsi rupiah pada 2018 bisa Rp14.000 per USD atau lebih kuat, di bawah Rp14.000 per USD, karena pada level itu, bisa jadi rupiah justru sudah kemahalan (overvalued) sehingga menjadi tidak realistis. Karena itu, saya bisa menerima keputusan Menteri Keuangan untuk menetapkan asumsi Rp14.400 per USD untuk 2019.
 
Defisit Anggaran Rendah
 
Proyeksi pemerintah yang mematok defisit anggarannya 'hanya' 1,84 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) (nominalnya Rp297,2 triliun) merupakan hal yang menarik. Inilah defisit terendah (dalam hal persentase, yakni rasio terhadap PDB) dalam waktu yang cukup panjang.
 
Biasanya defisit anggaran 'disetel' untuk realisasinya sekitar 2,5 persen terhadap PDB, sedangkan batas aman ialah tiga persen terhadap PDB. Indonesia belum pernah melanggar batas ini. Sebagai ilustrasi, Amerika Serikat 'berani' menetapkan defisit APBN-nya hingga 4,6 persen; Brasil pernah defisit 10 persen; sedangkan rekor terburuk dipegang Yunani dengan defisit 17 persen terhadap PDB.
 
Di satu pihak, defisit yang relatif rendah tersebut (di bawah dua persen terhadap PDB) sebenarnya seperti melewatkan kesempatan untuk memperkuat stimulus fiskal karena masih ada ruang lebih yang mestinya bisa dimanfaatkan. Namun, kemudian saya bisa mengerti bahwa Menkeu Sri Mulyani Indrawati perlu 'menginjak rem dalam menambah utang' tatkala data menunjukkan tahun depan pemerintah harus membayar utang Rp400 triliun.
 
Pembayaran utang yang cukup besar ini sempat memicu polemik. Beberapa pihak kembali mempertanyakan besaran utang pemerintah Indonesia. Padahal, data menunjukkan, meski utang pemerintah terus naik, seiring dengan kenaikan PDB kita, secara relatif jumlah seluruh utang pemerintah masih bisa ditahan 30 persen terhadap PDB. Ini masih jauh di bawah batas aman sesuai dengan konsensus internasional, yakni 60 persen terhadap PDB. Seperti diketahui, PDB kita saat ini sekitar Rp14.000 triliun.
 
Meski demikian, pemerintah memang tetap perlu mewaspadai utang pemerintah (dalam bentuk valas dan rupiah) dan utang luar negeri keseluruhan (pemerintah dan swasta). Fenomena depresiasi rupiah dalam tujuh bulan terakhir harus direspons dengan kehati-hatian terhadap manajemen utang.
 


 
Pelemahan rupiah memberi indikasi ada yang salah dalam komposisi cadangan devisa kita (banyak devisa masuk portofolio jangka pendek serta struktur ekspor kita kurang diversifikasi ke arah produk-produk manufaktur). Meski pemerintah sudah berusaha memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit), hal itu baru akan membaik dalam jangka menengah dan panjang. Hampir tak ada solusi sekejap berjangka pendek (quick fix).
 
Karena itu, sikap terbaik saat ini ialah mengedepankan konservatisme. Pemerintah perlu menurunkan sedikit 'tensi' mengejar ketertinggalan infrastruktur. Itu masih belum tecermin dari anggaran infrastruktur yang masih naik dari Rp410 triliun (2018) menjadi Rp420 triliun (2019). Belanja yang berekspansi dari Rp2.200 triliun (2018) menjadi Rp2.439 triliun (2019) juga masih termasuk 'menantang', alias memberi pesan tetap ekspansif.
 
Memang tidak mudah menyusun RAPBN 2019. Ada komplikasi yang harus diatasi. Di satu pihak, RAPBN seyogianya harus mengandung spirit ekspansi. Namun, di sisi lain, juga harus realistis dan 'menginjak rem' karena berbagai tekanan yang telah dan (masih) akan menerpa perekonomian kita di kemudian hari. (Media Indonesia)
 
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Faculty Member Bank Indonesia Institute

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan