Hingga saat ini, kata dia, produksi minyak di Lapangan Banyu Urip secara bertahap meningkat hingga 80.000 barel per hari. Diharapkan pada akhir tahun ini meningkat lebih dari 165.000 barel per hari. "Akan tetapi, produksi puncak lapangan tersebut mampu mencapai 205.000 barel per hari," katanya.
Dengan kata lain, jika target tersebut dapat direalisasikan, Lapangan Banyu Urip akan menjadi ladang minyak dengan hasil yang tertinggi di Indonesia. "Produksinya sekitar 25-30 persen produksi minyak nasional. Kita bisa mengurangi impor, menguatkan ketahanan energi. Karena 50 persen masih impor, tambahan ini sangat berarti," tuturnya.
Berawal dari Blok Cepu inilah pengerjaan dan penyelesaian di blok-blok lainnya akan dilanjutkan dengan tetap memperhatikan arahan dari Kementerian ESDM dan SKK Migas.
"Apa yang kita lihat saat ini menjadi bukti bahwa ExxonMobil mampu menjadi 'leader' bersama kami. Semoga ini menjaga kepercayaan pemerintah dan bagi swasta bisa menjadi contoh kerja sama yang baik," tutur Dwi.
Pada 12 April lalu, telah diresmikan lifting perdana dari Lapangan Banyu Urip, ditandai dengan dikirimnya 550.000 barel minyak mentah dari FSO Gagak Rimang ke kilang di Cilacap dan Balongan menggunakan Kapal Tanker Mt. Gunung Geulis milik Pertamina.
"Ini peristiwa bersejarah, dari lifting ini akan menambah minyak dan gas. Lifting dari Banyu Urip akan memenuhi 25-30 persen pasokan minyak nasional," kata Dwi seusai meresmikan lifting perdana di FSO Gagak Rimang
di Surabaya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menilai proyek tersebut merupakan sebuah "the true partnership" antara pemerintah pusat, Pertamina, ExxonMobil, dan pemerintah daerah.
"Mulai urusan saham, 'engineering', konstruksi, dan lokal 'community' semua bekerja sama dengan baik. Pemain luar juga punya kepentingan untuk mengembangkan tenaga kerja lokal," kata Sudirman.
Lifting pertama dari proyek senilai USD2,6 miliar akan menjadi yang terbesar di Indonesia dan diharapkan menjadi pembelajaran ke depan untuk pengolahan di proyek lain. Melalui produksi di Lapangan Banyu Urip, Sudirman optimistis target pemerintah yang akan memproduksi 825.000 barel minyak per hari tidak akan meleset. Selepas meninjau lifting yang diperkirakan memakan waktu 20 jam tersebut, dia juga mengimbau kepada pemerintah daerah yang terlibat dalam proyek tersebut agar mampu menjaga stabilitas sumber daya alam yang dimiliki.
Menurut dia, proyek tersebut ibarat seekor "ayam" yang harus dijaga demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat pada masa mendatang. "Ibarat ayam sehat harus dijaga sehingga bisa dinikmati dalam jangka panjang. Jika kita potong ayamnya sekarang, 'benefit' pada masa mendatang tidak akan bisa kita nikmati bersama," tuturnya.
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Cepu tersebut merupakan hasil kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor KKS pada 17 September 2005. Kontraktor KKS Blok Cepu, antara lain PEPC dengan kepemilikan saham 45 persen, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) dan Ampolex Cepu PTE LTD 45 persen, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setempat sebesar 10 persen.
Badan Usaha Milik Daerah tersebut terdiri atas PT Sarana Patra Hulu Cepu (Jawa Tengah), PT Asri Dharma Sejahtera (Bojonegoro), PT Blora Patragas Hulu (Blora), dan PT Petrogas Jatim Utama Cendana (Jawa Timur) yang semuanya tergabung menjadi kontraktor di bawah KKS Blok Cepu. Dampak Sosial Terkait dengan itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan bahwa proyek pengelolaan minyak Lapangan Banyu Urip, Bojonegoro, akan membawa dampak sosial yang sangat besar bagi masyarakat sekitar wilayah operasi.
"Yang penting adalah dampak sosial dari proyek ini. Masyarakat di wilayah operasi akan senang karena ada penggerak ekonomi baru dari sektor minyak dan gas bumi," kata Satya.
Menurut dia, proyek tersebut mampu meningkatkan kemampuan tenaga lokal yang pada awalnya hanya berada di tingkat "low skill" (berkemampuan rendah) menjadi "high skill" (berkemampuan tinggi). Tenaga perminyakan terbaik bisa dihasilkan dari wilayah setempat, dan akan menjadi keuntungan yang berkelanjutan, kata dia usai meninjau proses "lifting" minyak mentah di FSO Gagak Rimang.
"Minyak akan habis, tetapi kemampuan mereka tidak karena bisa digunakan di mana saja asalkan ada tempat pengolahan minyak di dunia. Ekonomi pun tidak mati begitu saja, berbeda dengan minyak yang bisa habis," tukasnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI itu juga meminta ExxonMobil dan Pertamina agar terus mengembangkan potensi lokal dan mengindari eksklusivitas pengelolaan sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh semua lapisan. Lebih lanjut, dia berharap proyek ini akan menjadi pemicu pada usaha gas nasional demi terciptanya kondisi yang sama.
"Saya ingin ada 'spirit' yang sama. Saya yakin industri migas sudah terbiasa pada turun naiknya harga minyak atau kurs. Akan tetapi, yang penting untuk ditiru adalah dampak sosial dari proyek semacam ini," tutur Satya.
Selain itu, Presiden ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) Jon M. Gibbs turut berkomentar. Menurut dia, proyek pengelolaan minyak di Lapangan Banyu Urip, Cepu, merupakan contoh sinergi yang baik antara swasta dan pemerintah.
"Proyek Banyu Urip benar-benar sebuah 'partnership' yang baik antara pihak swasta dan pemerintah. Mitra Blok Cepu beragam, seperti Pertamina EP Cepu (PEPC), BKS, dan masyarakat," kata Jon di Surabaya, Jatim.
Usai menghadiri acara peresmian "lifting" perdana Lapangan Banyu Urip Blok Cepu itu, dia menyatakan bahwa proyek tersebut mampu memberikan efek yang luas dalam aspek ekonomi dan sosial. Lifting tersebut, kata dia, menjadi gambaran dari sebuah usaha bersama dari berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan energi nasional sekaligus menumbuhkan ekonomi indonesia.
"Kerja sama ini merupakan sebuah catatan sejarah besar bagi kami. Kami sangat bangga, terlebih dengan dampak yang dihasilkan kepada masyarakat umum," tukasnya.
Berdasarkan pemaparan Menteri ESDM Sudirman Said disebutkan bahwa proyek Blok Cepu tersebut memiliki standar keamanan yang jauh lebih baik daripada proyek lain yang dikerjakan oleh ExxonMobil di dunia. "Kami perhitungkan aspek keselamatannya 18 kali lebih aman dari proyek ExxonMobil lainnya. Ada keseimbangan antara kecepatan kerja dan keselamatan pekerja yang mereka pertimbangkan," kata Menteri Sudirman.
Berdasarkan data yang ia paparkan, proyek eksplorasi tersebut memperkerjakan sekitar 10.000 pekerja dan tenaga ahli dengan komposisi pekerja lokal mencapai 70-80 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News