Kita hargai sikap pemerintah untuk membela kepentingan Indonesia. Begitulah seharusnya negara bersikap. Pemerintah harus berada paling depan untuk melindungi kepentingan nasional. Selama ini industri kelapa sawit dibiarkan berjuang sendirian. Negara seakan tidak peduli dengan keberadaan industri ini.
Padahal, sudah ada sekitar 11 juta hektare lahan dipakai untuk perkebunan kelapa sawit. Jutaan orang menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Kontribusinya kepada devisa negara setiap tahun lebih dari USD20 miliar. Sayangnya, ketika terjadi tuduhan terhadap perusakan lingkungan, pemerintah malah ikut menyalahkan.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bahkan pernah ditandatangani moratorium penggunaan lahan gambut, hanya dengan iming-iming hibah USD1 miliar dari Norwegia. Sampai sekarang hibah itu tidak diketahui ujung pangkalnya, tetapi stigma terhadap industri kelapa sawit dan juga kehutanan sudah telanjur buruk.
Kita tidak pernah mau melihat bahwa semua itu sebenarnya bagian dari persaingan bisnis. Kelapa sawit jauh lebih tinggi produktivitas per luasan lahan dibandingkan tanaman yang dikembangkan negara subtropis seperti bunga matahari, jagung, atau kedelai.
Tidak usah heran apabila produk turunan seperti minyak goreng dan biodiesel yang berasal dari kelapa sawit jauh lebih efisien. Sekarang Amerika Serikat juga menuduh Indonesia dan juga Argentina melakukan dumping terhadap produk biodiesel. Pemerintah Indonesia dituduh memberikan bantuan ratusan juta dolar terhadap industri biodiesel sehingga harganya lebih murah dibandingkan produk biodiesel buatan AS.
Padahal, boro-boro pemerintah memberikan bantuan. Untuk menggunakan produk biodiesel industri dalam negeri saja pemerintah setengah hati. Tahun ini anggaran yang disediakan pemerintah untuk mencampur biodiesel dengan solar atau dikenal dengan istilah B-20, diperkirakan sudah akan habis April mendatang.
Puluhan pengusaha sudah menginvestasikan triliunan rupiah untuk membangun industri biodiesel. Produk biodiesel dalam negeri sekarang ini sudah mencapai 11 juta kiloliter. Karena konsumsi dalam negeri sangat terbatas, biodiesel itu diekspor.
Untuk memenuhi standar produk Eropa dan AS, para pengusaha Indonesia harus merogoh kantong lebih dalam lagi. Bagi Eropa dan AS, biodiesel merupakan energi masa depan karena lebih rendah emisi gas buangnya dan bisa diperbarui. Berbeda dengan energi fosil yang satu saat akan habis, biodiesel bisa terus dihasilkan sepanjang kebun dan pabrik pengolahannya masih ada.
Biaya pengembangan biodiesel memang masih agak mahal karena ini merupakan energi alternatif yang relatif baru. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya penggunaan, pasti ke depan biodiesel akan mencapai keekonomian yang tinggi.
Kita bisa melihat negara yang sudah mencapai efisiensi dari pengembangan bioenergi karena konsistensi dalam kebijakannya. Brasil kini menjadikan bioetanol sebagai sumber bahan bakar motor utamanya. Swedia dihargai sebagai negara terdepan dalam penggunaan bioenergi hanya karena kiprah seorang pemilik dealer mobil, Per Carstedz.
Kita pun sebenarnya bisa menjadi negara terdepan dalam pengembangan bioenergi kalau ada kemauan politik yang kuat. Kita tidak perlu repot menghadapi tuduhan dumping dari UE dan AS, kalau pemerintah mau menyerap produk biodiesel yang dihasilkan pengusaha dalam negeri.
Dengan menyerap produk biodiesel dalam negeri, kita bukan hanya sekadar menghemat devisa untuk mengimpor minyak yang setiap hari mencapai 800 ribu barel. Namun, efek pengganda yang dihasilkan akan membuat perekonomian dalam negeri semakin berputar dan pengembangan biodiesel akan mencapai efisiensi yang semakin tinggi.
Kelemahan dalam pengelolaan kelapa sawit jangan membuat kita bersikap apriori. Para pelaku di industri ini pasti akan mau memperbaiki tata kelola. Yang lebih penting dibangun, semangat saling mengoreksi dan melindungi untuk memperkuat perekonomian nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News