Ilustrasi. MI/Amiruddin Abdullah
Ilustrasi. MI/Amiruddin Abdullah

Jebakan Komoditas Mesti Diberantas

Fathia Nurul Haq • 26 Mei 2015 11:17
medcom.id, Jakarta: Saat harga komoditas tidak lagi menjanjikan geliat ekonomi yang baik bagi Indonesia khususnya kawasan Indonesia timur, itulah waktu yang tepat bagi pelaku usaha maupun pemerintah daerah untuk mengubah paradigma mereguk keuntungan dari komoditas ekspor. Caranya dengan menggiatkan industri pengolahan komoditas ekspor yang padat karya sekaligus menambah nilai jual komoditas.
 
Demikian digaungkan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di hadapan pelaku usaha dari seluruh Indonesia dalam Mukernas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, semalam.
 
"Mungkin bapak-ibu perlu perkenalkan kebiasaan baru. Kita harus hentikan kebiasaan bergantung pada komoditas. Kita sudah lihat akibatnya. Kemungkinan bea keluar 0 karena CPO belum masuk treshold kebawah. Ekonomi yang sustainable bukan ekonomi berbasis komoditas," kata Bambang, Senin (25/5/2015).

Bambang menyebut, fluktuasi harga komoditas merupakan jebakan yang dapat melenakan pelaku usaha. Saat harga tinggi, pengusaha berlomba menyuntik investasinya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan melupakan sektor hilirisasi. Akibatnya, saat harga komoditas terjun bebas seperti sekarang ini, geliat perekonomian pun ikut lumpuh.
 
Fenomena inilah yang terjadi pada Indonesia pada kuartal I kemarin. Pertumbuhan ekonomi yang meleset jauh dari target khususnya di wilayah yang bergantung penuh terhadap produksi komoditas ekspor mentah laiknya Kalimantan menurut Bambang harus dijadikan momentum mengubah paradigma.
 
Investasi untuk industri pengolahan disebut Bambang sudah tersedia melalui kucuran dana desa yang totalnya bisa mencapai Rp1 miliar perdesa.
 
"Mungkin ini terlewat, ini jumlahnya lumayan untuk pergerakan ekonomi desa Rp20,7 triliun. Kami bagi 90 persen bagi rata bagi 74 ribu desa. Dapatlah angka minmum Rp252 juta per desa. Sepuluh persen dibagi menurut formula, dan dapat saluran dana dari APBD kabupaten dan provinsi. Ada kabupaten Kupuraya di Pontianak satu desa tahun ini Rp1 miliar," papar Bambang.
 
Jumlah dana yang diterima desa memang berbeda-beda. Tidak semua desa seberuntung Kupuraya, meski nominal dana desa dinilai Bambang lebih dari cukup untuk menggeliatkan industri pengolahan komoditas dan perbaikan infrastruktur.
 
"Di Gorontalo, hitungan kami kalau dana semua desa sudah turun bisa terima Rp700an juta rupiah per desa. Kalau pemda bisa optimalkan dana ini maka pertumbuhan ekonomi akan muncul. Kalau dipakai untuk infrastruktur maka ada double positive impact, ketika jalan atau irigasi tadi maka ujungnya membuat iklim investasi di Timur menarik, terutama swasta baik domestik atau asing," tuturnya lagi.
 
Total transfer ke daerah tahun 2015 mencapai Rp650 triliun atau sepertiga dari APBN. Jumlah ini bahkan lebih besar dari belanja infrastruktur yang 'hanya' Rp290 triliun. "Jadi kunci awal di pemerintah daerah," ucap dia.
 
Hilirisasi industri merupakan jaring pengaman bagi perekonomian dari fluktuasi harga komoditas. Sebab, komoditas yang sudah diolah bisa menciptakan pasar sendiri di dalam negeri yang relatif lebih stabil permintaannya. Misalkan saja Bambang menyebut produksi cokelat yang sudah mendapat tempat di Tanah Air. "Jadi meskipun petani cokelat terganggu harga yang turun tapi dia sudah punya pasar sendiri, pabrik dalam negeri," katanya.
 
Itulah yang mendasari pertumbuhan ekonomi di Sulawesi dimana penduduknya banyak bertani cokelat masih lebih baik ketimbang Kalimantan yang bergantung dari sektor pertambangan.
 
Pendekatan kewilayahan menyebut Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah yang tumbuh lebih masif ketimbang angka nasional, yakni tujuh persen.
 
"Ada faktor tourism dan jasa yg mendominasi. Kedua, Sulawesi tujuh persen, yakni karena meskipun bergantung komoditas tapi komoditas yang masih bisa ekspor seperti cokelat, ikan, pertanian atau tanaman langan, dan nikel yang diolah jadi feronikel seperti di Pomala atau yang diolah Vale," tukasnya.
 
Ketiga ialah Pulau Jawa yang tumbuh lima persen karena sektor manufaktur dan jasa khususnya telekomuniaksi, dagang, dan transportasi. "Keempat, Papua dan Maluku 3,7 persen. Kenapa? Karena provinsi ini sangat bergantung pada SDA khususnya tanbang baik minyak, tembaga Freeport juga turun harganya," katanya.
 
Kelima, Sumatera tiga persen karena dampak harga batu bara turun. Harga CPO dan karet juga, tapi CPO masih bisa diekspor. Keenam, Kalimantan yang paling berat dapat dampak negatif dari rendahnya harga komoditas. Karena ketergantungan batubara sangat tinggi dengan harga dari USD150 per ton jadi USD50 per ton," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WID)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan