Apa artinya semua ini? Proses persetujuan investasi sampai kemudian bisa benar-benar berjalan di Indonesia sangatlah lamban. Bahkan kelambanan dalam eksekusi di Blok Cepu membuat kita kehilangan peluang emas. Kita tidak menikmati booming harga minyak pada 2011 hanya karena tarik-menarik kepentingan. Sekarang cadangan minyak baru yang kita miliki sangatlah terbatas. Sekitar 86 persen sumur minyak yang kita punyai merupakan sumur-sumur tua. Kita membutuhkan eksplorasi baru yang sekarang ini hanya 6 persen.
Eksplorasi penting dilakukan sekarang karena manfaatnya baru bisa dirasakan 15 tahun yang akan datang. Kalau tidak melakukannya sekarang, kita akan menghadapi ancaman kekurangan pasokan energi karena kita tidak mungkin seumur-umur berharap dari Blok Cepu. Sayangnya, dua kali Satuan Kerja Khusus Migas menawarkan eksplorasi blok migas nyaris tidak ada yang tertarik untuk masuk. Bahkan yang terjadi satu per satu meninggalkan Indonesia. Yang paling mengejutkan ialah mundurnya Exxon Mobil dari Blok Natuna.
Kita tentu pantas bertanya, ada apa dengan Indonesia? Mengapa Indonesia bisa berada di urutan 15 terbawah dari 120 negara yang paling menarik untuk investasi migas? Penyebabnya tidaklah tunggal. Mulai urusan inkonsistensi aturan, pajak, fiskal, proses hukum, hingga penegakan peraturan. Perusahaan sekelas Chevron pernah patah arang ketika tiba-tiba dikenai branch profit tax sebesar USD130 juta. Pemerintah akhirnya menganulir setelah Wakil Presiden AS Mike Pence menyampaikan keberatan kepada Presiden Joko Widodo.
Perusahaan minyak Inggris Shell dan Inpex, Jepang, gelenggeleng kepala ketika hasil kajian untuk eksploitasi Blok Masela diintervensi Presiden. Sampai sekarang proyek itu berjalan di tempat karena pemerintah tidak bisa memberikan kompensasi atas perubahan sistem produksi dari off-shore menjadi on-shore. Tepatlah jika Presiden memutuskan menunda penerbitan Paket Kebijakan Ekonomi Ke-16. Lebih baik kita rumuskan dulu kriteria yang lebih jelas dari investasi baru yang diinginkan. Jangan sampai paket kebijakan yang dikeluarkan lagi-lagi berbeda dengan semangat yang terkandung di dalamnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengingatkan soal inkonsistensi kita dalam menarik investasi. Kita capek-capek melakukan road show keliling dunia untuk menarik orang mau berinvestasi di Indonesia. Namun, perusahaan yang sudah lama menanamkan modal mereka di Indonesia diminta untuk melakukan divestasi. Itu sama dengan mengusir perusahaan asing dari Indonesia. Sepanjang kita masih bersikap xenofobia seperti ini, tidak pernah ada orang yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Apalagi kalau kita sadari bahwa investasi itu bukan tidak ada risikonya. Seperti eksplorasi minyak, untuk melakukan satu pengeboran dibutuhkan investasi minimal Rp1 triliun.
Pengusaha migas kawakan, Burhanuddin Maras, berpandangan kita seharusnya mendorong perusahaan asing yang sudah masuk Indonesia untuk menanamkan modal lebih banyak lagi. Bahwa kita berharap mendapatkan bagian yang lebih menguntungkan untuk negara, itu pintar-pintarnya pemerintah menegosiasikannya. Sayang, upaya keras kita untuk mendapatkan predikat 'layak investasi' dari berbagai lembaga pemeringkat dunia tidak kita optimalkan.
Pemilik Grup Barito Pacific, Prajogo Pangestu, tidak pernah lupa apa yang disampaikan bos besar Chevron ketika mengambil alih pembangkit listrik panas bumi milik Chevron di Indonesia dan Filipina. Transaksi USD2,3 miliar yang didanai dari pinjaman sindikasi bank internasional merupakan salah satu bentuk kepercayaan dunia kepada Indonesia.
Keberanian bank internasional memberikan pinjaman skala besar kepada perusahaan Indonesia tidak akan terjadi kalau bank-bank itu tidak percaya kepada masa depan Indonesia. Itulah yang membuat lembaga seperti Standard & Poor's pun akhirnya menaikkan peringkat Indonesia menjadi 'layak investasi'. Semua predikat itu tidak pernah akan ada artinya kalau kita tidak mampu mengapitalisasikannya. Menarik investasi itu bukan dengan menebar janji-janji, melainkan membuat yang sudah ada di sini lebih betah dan mau mengembangkan usahanya. (Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News