Cuplikan pidato Presiden RI pertama Ir. Soekarno tersebut mengingatkan kita akan arti penting ketahanan pangan. Isu pangan akan menjadi isu strategis yang terus mewarnai dinamika perkembangan ekonomi dan politik setiap bangsa. Hal ini tidak lah berlebihan, mengingat pangan menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia guna mempertahankan hidup.
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi warga negara identik dengan hak asasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat tentang pentingnya pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity), kemandirian pangan (food resilience), serta keamanan pangan (food safety).
Capaian ketahanan pangan secara sederhana dapat dicermati dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sehingga masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Bagi Indonesia, upaya memantapkan ketahanan pangan tampaknya menjadi tantangan tersendiri. Dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, sekitar 1,1 persen per tahun atau 2,5 juta orang, di sisi lain perubahan iklim mengancam kemampuan produksi pangan Indonesia, yang mengakibatkan ketergantungan pada impor terus menerus menggerus devisa Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir, ketergantungan terhadap pangan impor sudah mencapai taraf mengkawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan tren peningkatan, impor pangan pada 2003 tercatat USD3,34 miliar. Namun pada 2013 impor pangan telah mencapai USD14,90 miliar atau tumbuh empat kali lipat.
Melonjaknya nilai impor tersebut karena produksi pangan di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) pun terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19 persen pada 2003 dan menjadi 14,43 persen pada 2013.
Di 2014, Majalah The Economist menempatkan posisi Indonesia menduduki peringkat ketahanan pangan jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya, yang diukur berdasarkan tiga indikator yakni daya beli konsumen, ketersediaan makanan, kualitas dan keamanan makanan.
Pentingnya Meningkatkan Produksi dan Memperbaiki Manajemen Stok
Indonesia punya peluang besar untuk wewujudkan swasembada pangan guna mencapai ketahanan pangan. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan sentra-sentra produk beras, jagung, kedelai, dan tanaman pangan lainnya. Dari letak geografis, Indonesia juga sangat diuntungkan karena terletak di wilayah tropis dan memiliki curah hujan yang cukup sehingga memungkinkan ragam tanaman bisa tumbuh dengan baik.
Modal dasar ini setidaknya dapat menjadi kekuatan kita dalam meningkatkan produksi pertanian, agar memberi konstribusi maksimal dalam mencapai swasembada pangan.
Komitmen dari pemerintahan Presiden Jokowi dalam meningkatkan swasembada pangan tercermin dari realokasi anggaran yang lebih fokus pada infrastruktur pangan, seperti pembangunan waduk dan irigasi, dengan menambah alokasi anggaran 2015 melalui APBN-P sebesar Rp16 triliun, serta tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp4 triliun.
Selain itu, pemerintah sedang memperjuangkan rencana ke depan dengan pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi seluas tiga juta hektare (ha) sawah, serta memercepat pembangunan 27 bendungan pada 2014. Selanjutnya membangun lima lagi bendungan pada 2015 yang lokasinya di Aceh, Kudus, NTT, dan Kaltim.
Pada 2016, Pemerintah juga mentargetkan minimal membangun 20 bendungan serta menyiapkan pembukaan areal baru bagi lahan pertanian di luar Jawa dengan target luas sebesar satu juta ha.
Pembukaan lahan baru menjadi krusial mengingat sentral produksi pangan hanya di daerah tertentu, hampir 60 persen dari produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa, dengan 40 persen di antaranya di Jawa Timur. Sebuah provinsi di Jawa yang luasnya hanya 2,5 persen dari luas daratan Indonesia dan dengan jumlah penduduknya 14,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Pemusatan produksi menimbulkan berbagai kerumitan dalam pemasaran dan distribusi pangan, mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan 3.000 pulau yang didiami penduduk, di tengah terbatasnya persediaan sarana dan prasarana perhubungan.
Dengan dukungan pembiayaan yang besar, tentunya kita berharap aspek pengawalan dan pengendalian akan efektifitas penggunaan anggaran dapat mengedepankan transparasi dan akuntabilitas sehingga mampu menggerakkan sektor produktif yang mendukung langsung pencapaian swasembada pangan, seperti pembangunan irigasi, pengadaan benih dan pupuk serta alat dan mesin pertanian.
Bergeraknya sektor produktif pertanian diharapkan memiliki efek berantai dalam meningkatkan produksi dan produktivitas, meningkatkan indeks pertanaman, memberikan konstribusi terhadap pemantapan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan importasi pangan. Ketergantungan yang terlalu besar pada impor pangan pokok sangat rentan terhadap kerawanan pangan, akibat produksi pangan dunia yang mengalami gangguan iklim, atau tiba-tiba ada gangguan terhadap arus perdagangan pangan dunia.
Kita juga harus mulai memikirkan sistem insentif yang rasional bagi para pelaku pertanian pangan sehingga mereka bergairah untuk mengembangkan usahanya, untuk berinvestasi dan berinovasi untuk meningkatkan produktivitas, memperoleh nilai tambah dari produk-produk pangan kita melalui pengembangan agroindustri pangan modern.
Dalam upaya swasembada harus selalu diamankan agar pangan di dalam negeri selalu tersedia cukup dan harganya tetap terjangkau oleh mayoritas konsumen. Gejolak harga beras di awal 2015, seyogyanya dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita dalam memperbaiki manajemen stok.
Perbaikan manajemen stok dapat dilakukan dengan meningkatkan peran Bulog dalam memperbaiki suplai dan distribusi dalam stabilisasi harga, serta mengoptimalkan peran Bulog dalam penyerapan gabah petani pada musim panen raya Maret-April 2015 guna penguatan stok.
Manajemen stok yang baik dapat menjadi jawaban terhadap masalah yang ditimbulkan oleh panjangnya rantai pasokan, yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar, serta "melawan" penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel, dan oligopoli).
Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah aspek pengendalian guna memastikan berjalannya percepatan program prioritas ketahanan pangan, serta langkah cepat dalam mengatasi penyelesaian masalah pada tataran teknis yang dilakukan secara komprehensif serta pemantauan tahapan kemajuan kerkait pelaksanaan program-program prioritas nasional di bidang ketahanan pangan.
Kita tentunya berharap dengan komitmen dan dukungan pembiayaan yang besar, serta pengendalian yang ketat dalam mewujudkan percepatan swasembada pangan, kita akan mampu meningkatkan produksi dan memperbaiki manajemen stok guna mewujudkan percepatan ketahanan pangan dalam menjamin pemenuhan hak pangan rakyat. Semoga.
Oleh: Eddy Cahyono Sugiarto, Staf Sekretariat Kabinet
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News