Ilustrasi (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Meneropong Bisnis IKNB di 2016

Angga Bratadharma • 01 Desember 2015 19:37
medcom.id, Jakarta: Industri jasa keuangan masih harap-harap cemas melihat kinerja ekonomi di 2016, sejalan dengan masih tidak pastinya perekonomian Indonesia sekarang ini. Tentu kekhawatiran ini wajar mengingat kelesuan ekonomi yang berlanjut bisa saja terjadi karena belum ada kebijakan yang ampuh menghancurkan ketidakpastian ekonomi.
 
Menjelang akhir 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) masih terpantau terus mengalami pelemahan meski sebelumnya sempat menguat. Bahkan, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan pada akhir November atau tepatnya Senin 30 November ambruk sebanyak 2,5 persen menjadi 4.446. Padahal biasanya, pasar saham tancap gas di penghujung tahun.
 
Tidak hanya itu, pertumbuhan ekonomi di 2015 pun tidak sesuai harapan banyak pihak. Pertumbuhan ekonomi dari kuartal I-2015 hingga kuartal III-2015 tidak mampu menembus level lima persen dan rata-rata hanya dikisaran empat persen. Selain itu, penerimaan pajak diperkirakan tidak mencapai 100 persen sehingga membuat pemerintah harus mencari pembiayaan atau melakukan utang.

Di luar aspek perekonomian, situasi politik juga turut mewarnai ketidakpastian ekonomi Indonesia. Meruaknya skandal Freeport Indonesia memengaruhi sentimen positif dari investor di mana Pimpinan DPR Setya Novanto tengah menjadi sorotan karena dianggap menjadi makelar Freeport Indonesia.
 
Untungnya, pemerintah telah melakukan sejumlah inisiatif seperti meluncurkan beberapa paket kebijakan ekonomi, walau hingga sekarang ini banyak pihak mempertanyakan realisasi dan dampak dari paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan. Selain itu, upaya Bank Indonesia (BI) yang mengendalikan inflasi patut diapresiasi karena pergerakan inflasi tidak liar sekarang ini.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada November 2015 terjadi inflasi sebesar 0,21 persen. Dari 82 kota Indeks Harga Konsumen (IHK), sebanyak 69 kota mengalami inflasi dan 13 kota lainnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Merauke dengan tingkat inflasi sebesar 2,35 persen dan inflasi terendah terjadi di Ternate dengan tingkat inflasi 0,02 persen. 
 
Rendahnya tingkat inflasi itu membuat Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo optimistis tingkat inflasi mampu sesuai target. Bahkan, Agus meyakini jika tingkat inflasi di 2015 ini bisa berada di angka tiga persen atau lebih rendah dari target yang dicanangkan 4 plus minus 1 persen.
 
Tidak liarnya tingkat inflasi menjadi salah satu indikator penting untuk melihat situasi dan kondisi perekonomian. Meski tidak ditampik pemerintah harus mewaspadai rencana The Fed yang akan menaikkan Fed Fund Rate di mana diperkirakan kenaikan akan dilakukan di Desember 2015. Kenaikan Fed Fund Rate tentu memiliki dampak terhadap ekonomi Indonesia, utamanya potensi capital outflow.
 
Sejumlah pelaku industri jasa keuangan, utamanya di Industri Keuangan Non Bank (IKNB) pun masih meraba-raba dan terus meneropong situasi dan kondisi ekonomi di 2016. Ada yang optimistis tapi ada yang pesimistis. Namun, kesemuanya memiliki harapan yang sama yakni kondisi bisnis bisa lebih baik dan tumbuh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan bisnis di 2015.
 
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Hendrisman Rahim memperkirakan industri asuransi jiwa mampu mencatat pertumbuhan premi berkisar 23 persen sampai dengan 29 persen. Pertumbuhan ini diperkirakan dapat terjadi sejalan dengan penetrasi asuransi yang masih rendah, adanya bonus demografi, dan peningkatan kelas menengah sebanyak 35 persen.
 
"Tapi kita harus mengantisipasi peningkatan dan perubahan permintaan terhadap produk asuransi jiwa, adanya variasi dan kompleksitas produk, kesesuaian tingkat premi dan variasi tarif premi, dan variasi risiko untuk setiap struktur segmen konsumen," jelas Hendrisman.
 
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memperkirakan pertumbuhan premi di industri asuransi umum akan sekitar 15 persen sampai dengan 20 persen. Adapun faktor pendorong pertumbuhan premi adalah adanya ruang tumbuh, pertumbuhan ekonomi, dan adanya dukungan dari pemerintah.
 
Sedangkan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) memperkirakan, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen sampai dengan 5,3 persen pada 2016 maka industri pembiayaan (multifinance) dapat mencapai pertumbuhan lima persen sampai dengan 10 persen di 2016.
 
Lebih dari itu, rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan meluncurkan peta bisnis IKNB berbasis syariah di akhir 2015 ini dinilai akan menambah gairah gerakan pertumbuhan industri asuransi syariah ke depan. Walau tidak ditampik porsi industri asuransi syariah memang harus ditingkatkan lebih baik lagi di waktu-waktu mendatang.
 
Namun demikian, pertumbuhan industri asuransi syariah baik dari segi pendapatan kontribusi premi, aset, maupun investasi diperkirakan mampu tumbuh sekitar 10 persen sampai dengan 30 persen di 2016.
 
Meski pelaku IKNB optimistis mampu tumbuh, namun hal itu bukan tanpa tantangan. Sejumlah persoalan masih menghadang dan perlu segera diantisipasi agar optimisme untuk tumbuh di 2016 tidak sekedar target semata. 
 
Adapun tantangan tersebut seperti rendahnya aksesibilitas dan distribusi produk asuransi di tengah-tengah masyarakat, inovasi produk asuransi yang masih rendah, terbatasnya risk coverage industri asuransi nasional, dan masih kentalnya isu sulit melakukan klaim asuransi.
 
Tidak hanya itu, perlu diakui bahwa minat masyarakat untuk berasuransi juga masih tergolong rendah. Sampai dengan akhir September 2015, tingkat penetrasi asuransi konvensional baru mencapai 2,51 persen dengan densitas sebesar Rp1,1 juta. Di sisi lain, tingkat penetrasi dan densitas industri asuransi syariah baru mencapai 0,08 persen dan Rp40 ribu.
 
Berdasarkan data OJK, dalam empat tahun terakhir yakni 2011 sampai dengan 2014, aset industri asuransi konvensional mengalami pertumbuhan rata-rata lebih dari 16 persen. Kondisi senada juga ditunjukan oleh rata-rata pertumbuhan investasi dan premi yang masing-masing tumbuh sebesar 14,4 persen dan 21,0 persen.
 
Sementara pada 2015, aset dan investasi industri asuransi konvensional sampai dengan akhir September masing-masing telah menyentuh angka Rp765,6 triliun dan Rp608,6 triliun. Apabila dibandingkan dengan posisi pada akhir 2014, aset industri asuransi tumbuh sebesar 1,36 persen sedangkan investasi turun 0,24 persen yang disebabkan oleh bergejolaknya beberapa instrumen investasi beberapa waktu lalu.
 
Sedangkan premi industri asuransi nasional sampai dengan September 2015 juga telah mengalami peningkatan sebesar 17,1 persen dari posisi Agustus 2015 dan meningkat sebesar 11,9 persen dari posisi yang sama di 2014. Premi yang terbesar disumbangkan oleh perusahaan asuransi jiwa, diikuti oleh premi asuransi sosial dan asuransi umum.
 
Selain itu, sampai dengan September 2015 terdapat lebih dari 137 perusahaan asuransi konvensional (yang terdiri dari perusahaan asuransi jiwa, perusahaan asuransi umum, perusahaan reasuransi, perusahaan yang menyediakan asuransi wajib dan asuransi sosial), 52 perusahaan asuransi dan unit usaha yang menyelenggarakan prinsip syariah, 168 perusahaan pialang asuransi, 28 perusahaan pialang reasuransi, dan 28 perusahaan penilai kerugian/loss adjuster.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan