Ilustrasi. (FOTO: MI/Ramdani)
Ilustrasi. (FOTO: MI/Ramdani)

Sesudah Moratorium

24 Februari 2018 13:31
MENTERI Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono memutuskan untuk menghentikan sementara semua pembangunan infrastruktur di atas atau elevated. Berulangnya kecelakaan yang menewaskan banyak pekerja menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan prosedur pembangunan yang sedang dilakukan.
 
Keputusan diambil setelah Menteri PU-Pera melakukan koordinasi dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Mariani Soemarno sebagai pengawas perusahaan yang melaksanakan pembangunan infrastruktur dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebagai pengguna infrastruktur.
 
Pembangunan baru akan dilanjutkan setelah ada kepastian penyebab berbagai kecelakaan dan perbaikan pada sistem pengawasan serta prosedur kerja. Kita hargai sikap tegas yang dilakukan Menteri Basuki. Kita tidak boleh main-main dengan pembangunan infrastruktur yang sedang kita lakukan.

Pekerjaan besar ini menuntut kesungguhan dan profesionalisme yang tinggi dari para pelaksana. Sekali lagi kita tegas, kita bukan sekadar ingin membangun infrastruktur, melainkan membangun infrastruktur berkualitas yang bisa mengurangi biaya logistik.
 
Kalau kita mengatakan pembangunan yang kita lakukan sekarang ini penuh kecerobohan, itu bukanlah mengada-ada. Banyak bukti yang menunjukkan cara kerja yang tidak sesuai dengan teori teknik sipil yang seharusnya. Lihat, misalnya kasus girder beton yang patah ketika diangkat di sekitar Antasari, Jakarta. Beton diangkat dari kedua ujungnya bukan dari titik beratnya.
 
Ini jelas tidak sejalan dengan teori mekanika teknik yang seharusnya. Kasus terakhir di pembangunan jalan layang Tol Becakayu merupakan contoh yang lain. Bagaimana bekisting pierhead dibuat tanpa menggunakan casing baja, tetapi dicampur dengan bahan-bahan yang tidak kuat menahan beban berat.
 
Padahal pengawas seharusnya tahu, semen beton yang akan dimasukkan ke sana beratnya berton-ton. Sebenarnya bukan hal yang baru bagi kita untuk membuat konstruksi seperti itu. Kita sudah pernah membangun jalan tol dalam kota di Jakarta yang semuanya berada di atas. Bahkan jalan tol di Bali, kita bangun di atas laut.
 
Tidak pernah ada kecelakaan fatal beruntun seperti sekarang ini. Kalau kita membandingkan pembangunan jalan MRT yang di atas dengan pembangunan LRT atau jalan tol di atas, semakin yakin bahwa persoalan yang kita hadapi hanyalah persoalan manajemen proyek.
 
Ketidaktaatan kepada aturan baku yang seharusnya dijalankan membuat kecelakaan berulang kali terjadi sebab dari sekian banyak tiang dan girder beton yang dibangun MRT dari Lebak Bulus sampai Sudirman, tidak ada satu pun yang bermasalah.
 
Kita pasti tersinggung kalau dikatakan pembangunan MRT bisa berjalan baik karena dikerjakan kontraktor Jepang. Namun, itulah kenyataan pahit yang harus kita terima. Meski pekerjanya sama-sama orang Indonesia, ketika diawasi supervisor Jepang, maka kita bisa lebih disiplin dan taat kepada aturan.
 
Ada satu pertanyaan lagi yang muncul, apakah tidak digunakannya casing baja untuk rumah pengecoran seperti pembangunan tiang-tiang MRT hanya demi untuk penghematan? Kalau itu alasannya, sebenarnya kita tidak sedang menghemat. Tujuh orang yang tewas di pembangunan Tol Becakayu merupakan harga yang sangat mahal.
 
Pertanyaan selanjutnya yang lebih penting, apa yang harus kita lakukan setelah moratorium dikeluarkan? Harus ada perubahan sikap dan perilaku dari para kontraktor infrastruktur. Tidak bisa semua kecelakaan yang terjadi berulang-ulang ini hanya dianggap sebagai sebuah musibah.
 
Ketika terjadi musibah di perimeter selatan Bandar Udara Soekarno-Hatta, Komisi Keselamatan Konstruksi Kementerian PU-Pera sudah memberikan peringatan kepada PT Waskita Karya. Atas peringatan itu, PT Waskita Karya berjanji untuk memperbaiki diri.
 
Kenyataannya, mereka membuat kecelakaan yang lebih fatal dalam pembangunan Tol Becakayu.
 
Apa artinya?
 
Peringatan itu dianggap sebagai angin lalu. Tidak ada perbaikan yang dilakukan di dalam manajemen proyek. Semua sistem dan prosedur tetap saja dilanggar. Tanpa ada perubahan dalam sikap dan perilaku, kecelakaan yang baru hanya tinggal menunggu waktu.
 
Kementerian PU-Pera harus bersikap lebih keras. Evaluasi terhadap berbagai kecelakaan pembangunan infrastruktur yang terjadi tidak bisa diserahkan kepada sesama BUMN. Harus ada tim yang lebih independen yang lebih punya jarak untuk menilai. Hanya dengan itu, perbaikan kerja akan bisa dilakukan.
 
Sudah cukup rasanya kecelakaan yang menelan banyak korban itu terjadi. Enough is enough. Kita membutuhkan adanya perbaikan yang total, dan tidak ada lagi toleransi kepada mereka yang berbuat sembrono dan tidak patuh kepada sistem serta prosedur kerja. Kita tidak pernah bosan untuk mengatakan bahwa kunci untuk menjadi bangsa yang besar ialah kemauan untuk selalu memperbaiki diri.
 
Kita harus menjadi bangsa pembelajaran dan melihat masa lalu sebagai pengalaman untuk menggapai masa depan yang lebih gemilang. (Media Indonesia)
 
Suryopratomo
Dewan Redaksi Media Group

 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan