BPJS Ketenagakerjaan (Foto: dokumentasi BPJS Ketenagakerjaan)
BPJS Ketenagakerjaan (Foto: dokumentasi BPJS Ketenagakerjaan)

Ada Apa dengan BPJS Ketenagakerjaan?

Angga Bratadharma • 09 Juli 2015 13:52
medcom.id, Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan kembali hangat diperbincangkan. Awalnya, BPJS Ketenagakerjaan mulai hangat diperbincangkan lantaran PT Jamsostek (Persero) harus bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Banyak kalangan menilai transformasi ini tidak signifikan mengubah apapun.
 
Namun demikian, karena harus menjalankan amanah undang-undang (UU), Jamsostek harus melakukan transformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Memang secara fungsi dan tugas yang diemban BPJS Ketenagakerjaan tidak jauh berbeda ketika bernama Jamsostek. Walau demikian, pro dan kontra yang terjadi tetap mengharuskan Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
 
Saat itu, Jamsostek tidak sendiri melakukan transformasi. PT Askes (Persero) juga melakukan transformasi menjadi BPJS Kesehatan. Dalam konteks nama, keduanya hampir sama. Tak jarang sebagian besar masyarakat di Indonesia menilai antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan memiliki fungsi dan tugas yang sama. Padahal, keduanya memilikli fungsi dan tugas yang berbeda.

Sebagai pengingat kembali, BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia, yakni menurut UU No 40 Tahun 2004 dan UU No 24 Tahun 2011. Berdasarkan UU tersebut, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.
 
Transformasi Askes menjadi BPJS Kesehatan dan Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, Askes akan menjadi BPJS Kesehatan dan pada 2015 giliran Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan atau tepatnya pada 1 Juli 2015.
 
Pada awal 2015, nama BPJS Ketenagakerjaan mulai banyak dibicarakan oleh banyak kalangan lantaran masih banyak persoalan yang belum tuntas diselesaikan menjelang beroperasi penuhnya BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015. Salah satu yang disoroti adalah soal penambahan fungsi dan tugas BPJS Ketenagakerjaan, yakni adanya tambahan manfaat Jaminan Pensiun.
 
Besaran iuran Jaminan Pensiun di BPJS Ketenagakerjaan awalnya masih simpang siur berapa tepatnya. Ada yang mengatakan delapan persen, ada yang mengatakan tiga persen, bahkan ada yang mengatakan 1,5 persen. Bahkan, pembahasan antara pemerintah, BPJS Ketenagakerjaan, asosiasi terkait sering mengalami kebuntuan lantaran besaran iuran tidak ditemukan.
 
Tidak hanya soal besaran iuran Jaminan Pensiun. Banyak pula yang menyayangkan adanya kewajiban dari pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan terkait wajibnya para pekerja di Indonesia tanpa terkecuali menjadi peserta. Telah ada sanksi tegas bagi para pekerja yang tidak mau atau belum menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan.
 
Terlepas dari berbagai macam program yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan, masih banyak juga masyarakat yang tidak mengetahui "apa itu" BPJS Ketenagakerjaan. Banyak yang beranggapan bahwa BPJS Ketenagakerjaan sama dengan BPJS Kesehatan, yakni memberikan perlindungan terkait kesehatan.
 
Menjadi pekerjaan rumah (PR) yang berat bagi nahkoda BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G. Masassya, untuk memberikan sosialisasi kepada seluruh masyarakat mengenai fungsi dan tugas BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini semakin diperparah dengan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bekerja di sektor formal, dan jangkauan pekerja informal ini begitu luas mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang begitu besar.
 
Sedikit demi sedikit, BPJS Ketenagakerjaan mulai memperlihatkan "wajah" sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap para pekerja di Indonesia, sesuai dengan fungsi dan tugasnya yang tertera dalam UU yang mengatur tentang BPJS Ketenagakerjaan. Namun, menjelang beroperasi penuhnya, BPJS Ketenagakerjaan kembali tersandung oleh sejumlah aturan dan informasi.
 
Pertama, soal besaran iuran Jaminan Pensiun yang masih diperdebatkan oleh banyak kalangan. Kalangan pengusaha keberatan bila besaran iuran Jaminan Pensiun yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sebesar delapan persen. Hal ini memberi dampak terhadap semakin besarnya biaya yang dikeluarkan para pengusaha bagi pekerjanya.
 
Sebelumnya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyelenggara Program Jaminan Pensiun terus menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tidak hanya keluar dari mulut para pengusaha. Para buruh di Indonesia pun sering melakukan aksi unjuk rasa di ruas ibu kota menolak besaran program Jaminan Pensiun.
 
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyesalkan keputusan pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan yang menetapkan besaran iuran pensiun sebesar delapan persen. BPJS Ketenagakerjaan seharusnya tidak bersikeras menetapkan iuran di angka delapan persen, apapun bentuknya.
 
"BPJS Ketenagakerjaan hanya operator (jaminan pensiun), bukan regulator. Jadi dia tidak boleh berpendapat apalagi sampai berkeras (menetapkan seperti) begitu. Yang bayar iuran itu adalah buruh dan pengusaha. Jadi pemilik BPJS Ketenagakerjaan adalah murni buruh dan pengusaha, bukan milik pemerintah ataupun BUMN," ujar Said.
 
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan bahwa dunia usaha keberatan terkait besaran iuran Jaminan Pensiun sebesar delapan persen, di mana lima persen ditanggung pengusaha dan sisanya ditanggung pekerja. Menurutnya, perekonomian tengah tidak menentu dan membuat pendapatan para pengusaha bermasalah.
 
"Dipaksakan Jaminan Pensiun delapan persen saat ini pasti akan bermasalah di dunia usaha karena tidak kuat," ujarnya.
 
Kedua, pemahaman masyarakat tentang BPJS Ketenagakerjaan masih minim. Tentu aneh bila masyarakat menjadi pekerja tapi tidak paham benar apa itu BPJS Ketenagakerjaan. Jangan sampai masyarakat sembarangan menjadi peserta namun tidak memahami dengan pasti manfaat apa yang didapatkan dengan menjadi peserta.
 
Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Abdul Cholik tak memungkiri bahwa tingkat pemahaman masyarakat akan BPJS Ketenagakerjaan melemah setelah BPJS Ketenagakerjaan melakukan transformasi dari Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
 
"Ketika melakukan survei di 2014, brand knowledge Jamsostek itu 85,9 persen. Namun, setelah menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan ada BPJS Kesehatan, kita turun 20 persen. BPJS Ketenagakerjaan jadi 65,4 persen," ungkap Abdul, kepada Metrotvnews.com, di Jakarta, Selasa 14 Juni.
 
Meski kapal besar BPJS Ketenagakerjaan "bocor" di mana-mana, namun BPJS Ketenagakerjaan tetap percaya diri untuk terus maju. Berbagai macam aturan yang sebelumnya ditandatangani oleh pihak terkait tidak membuat BPJS Ketenagakerjaan mundur dan berdiam diri saja. Seraya menunggu aturan ditandatangani, BPJS Ketenagakerjaan terus tancap gas.
 
Menjelang 1 Juli 2015, waktu beroperasi penuhnya BPJS Ketenagakerjaan, perjalanan seakan mulus tanpa ada kerikil yang menghadang. Namun, batu besar justru menyandung BPJS Ketenagakerjaan saat diresmikan untuk beroperasi penuh oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Aturan mengenai batas waktu pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi sorotan banyak kalangan.
 
Pemerintah telah mengubah atau memperpanjang batas waktu pencairan dana saldo dalam program JHT yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Meski sudah disahkan namun masih ada yang menolak adanya kebijakan perubahan pencairan dana saldo tersebut.
 
Perubahan atau perpanjangan batas waktu pencairan dana saldo dalam program JHT ini setidaknya tertuang dalam PP No 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Juni lalu. Regulasi baru ini berlaku sejak 1 Juli 2015. Pada PP dijelaskan bahwa perubahan batas waktu dari sebelumnya lima tahun satu bulan menjadi 10 tahun. Itupun hanya bisa cair sebanyak 10 persen. Jika seorang pekerja ingin mendapatkan dananya penuh, maka harus menunggu usia pekerja bersangkutan berusia 56 tahun.
 
Selang beberapa hari beroperasi penuh, gelombang penolakan aturan tersebut yang dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan terus terjadi. Tak main-main, para buruh dan berbagai pihak terkait mengancam untuk mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA). Para buruh pun siap kembali turun ke jalanan untuk melakukan unjuk rasa menolak keras aturan tentang Jaminan Hari Tua itu.
 
Menteri terkait seperti Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menaker) pun seakan gerah dengan ramainya respon tersebut, yang akhirnya dirinya angkat bicara untuk menjelaskan duduk perkara itu. Dijelaskannya bahwa program JHT berfungsi sebagai perlindungan untuk pekerja saat mereka tidak lagi produktif baik karena catat tetap, meninggal dunia, maupun telah memasuki usia tua.
 
Namun, penjelasan Hanif ini dianggap tidak memuaskan dan masyarakat meminta ada penjelasan terinci atau tepatnya meminta adanya tenggat waktu yang dilonggarkan. Hal ini sejalan dengan tidak adanya sosiasliasi tentang aturan JHT oleh pemerintah, termasuk BPJS Ketenagakerjaan. Masyarakat tampak kaget karena secara tiba-tiba program JHT berubah begitu saja tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, bahkan pembicaraan lebih lanjut kepada pihak terkait.
 
Sebenarnya, ada apa dengan BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, BPJS Ketenagakerjaan dipimpin oleh Elvyn G. Masassya. Secara track record, kemampuan Elvyn sudah tidak diragukan lagi. Apalagi, dirinya pernah menduduki posisi begitu penting. Sebagai mantan bankir, tentu berbagai macam keputusan sulit pernah dilakukan demi survive dan mencapai tujuan dari visi dan misi perusahaan yang dipimpinnya. Namun, kenapa justru di awal beroperasi penuhnya BPJS Ketenagakerjaan seakan lupa untuk memberitahu tentang aturan yang diterapkannya itu.
 
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor termasuk salah satu pihak yang menyayangkap sikap tersebut. Sebagai lembaga yang bergerak dibidang perlindungan terhadap para pekerja, seharusnya BPJS Ketenagakerjaan memberikan sosialisasi. Bahkan, Julian menyayangkan aturan baru itu. 
 
"Saya sangat menyayangkan aturan itu, karena ini terkait kepentingan pekerja banyak, tidak seharusnya seperti itu," ungkap Julian.
 
Mantan Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga menilai, dalam konteks aturan JHT, pemerintahlah yang salah karena kurang memberi sosialisasi kepada masyarakat. Harusnya, ada sosialisasi dan menerima masukkan dari stakeholder terkait mengenai aturan dimaksud apakah memang sudah benar atau belum
 
"Pemerintah juga yang salah. UU SJSN terbit 2004, PP baru terbit 2015 atau 11 (baca sebelas) tahun kemudian dan diberlakukan sehari kemudian!!! Aya aya wae," cuit Hotbonar dalam akun Facebooknya, seperti dikutip Metrotvnews.com, Jumat 3 Juli. 
 
Menurut dia, aturan tersebut memang jelas payung hukumnya yakni pasal 37 ayat 3 UU SJSN tahun 2004. Masalahnya, kata dia, tidak ada sosialisasi dan masa transisi termasuk persiapan internal oleh BPJS untuk menjelaskannya kepada masyarakat.
 
"Peserta, sehingga kantor-kantor cabang BPJS dalam situasi serba salah. Pemerintah perlu segera mengambil win-win solution dengan memberlakukan masa transisi minimal diberlakukan mulai 1 Juli 2016," pungkasnya. 
 
Uniknya, pemerintah tampak membenarkan bahwa pemerintah tidak melakukan sosialisasi dan pasang badan untuk disalahkan. Hal ini terlihat dari pernyataan Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang mengaku pemerintah tengah mencari jalan keluar karena banyaknya keberatan masyarakat terhadap aturan baru yang dikeluarkan mengenai program JHT.
 
"Kita akan perbaiki aturannya. Bisa dalam bentuk revisi PP-nya atau juga buat aturan peralihan," kata Sofyan.
 
Ketidaktegasan ini yang juga membuat masyarakat gerah karena pemerintah seakan tidak konsisten dengan aturan yang diterapkan. Tentu lucu bila aturan yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Juni lalu itu harus direvisi dan nantinya diajukan kepada Presiden Jokowi untuk ditandatangani kembali. Kredibilitas pemerintah tentu menjadi dipertanyakan karena plin-plan terhadap sebuah kebijakan yang menyangkut orang banyak.
 
Gejolak para peserta BPJS Ketenagakerjaan pun mulai terlihat. Kepala Bidang Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Gatot Subroto Novanita Jeriana mengungkapkan bahwa terjadi kenaikan jumlah peserta yang mengajukan klaim setelah ada perubahan peraturan BPJS sejak 1 Juli 2015 lalu.
 
"Akibat perubahan peraturan sih sejauh ini normal, tapi terjadi lonjakan klaim itu pada 30 Juni dan 1 Juli. Itu dikarenakan pemberitaan yang terjadi," kata Nova.
 
BPJS Ketenagakerjaan harus mulai berbenah diri. Sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat begitu besar, BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya harus bisa membesarkan diri dan membangun sistem yang kuat terlebih dahulu, sehingga kredibilitas benar-benar bisa kembali di mata masyarakat. Jika tidak, maka masyarakat akan selalu bertanya yakni ada apa dengan BPJS Ketenagakerjaan?
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan