Sementara itu, pada tiga bulan pertama 2015, pertumbuhan ekonomi memang tumbuh melambat dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya, yakni hanya 4,71 persen. Bank Indonesia juga masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 akan mendekati batas bawah perkiraan BI, yakni 5,4 persen. Pada 2015, Bank Indonesia (BI) melihat pertumbuhan ada di tingkat bawah 5,4 persen.
"Jadi, seandainya selama ini masih menargetkan ada di 5,4-5,8 persen, BI perkirakan di batas bawah sebetulnya. Kami akan lakukan review di Semester II 2015," kata Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo, Jakarta.
Terkait dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Group Research Gundy Cahyadi mengatakan bahwa proyeksi BI mengenai pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,4-5,8 persen merupakan prediksi yang optimistis mengingat terjadinya perlambatan ekonomi, baik dalam negeri maupun global. "Jadi, 5,4 persen mungkin agak sedikit ketinggian mengingat karena performance (pertumbuhan) kuartal pertama kelihatan bahwa angkanya menurun," katanya dalam diskusi "Analisis India vs Indonesia sejak Taper Tantrums 2013", beberapa waktu lalu.
Sulit mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen, menurut dia, karena pertumbuhan konsumsi sudah cukup melambat, pertumbuhan investor belum cukup meningkat, dan pertumbuhan ekspor masih stagnan. "Gambarannya tidak akan begitu berbeda," ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa asumsi makro dengan target pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,7 persen terlalu optimistis. Pasalnya, pertumbuhan investasi pun belum memberikan sinyal positif untuk mendorong perekonomian. "Investasi di Indonesia tersendat karena sentimen terhadap rupiah yang masih melemah," ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa DBS memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 sekitar 5,1 persen. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah perlu mendorong penyerapan anggaran yang lebih optimal, relaksasi kebijakan investasi, dan memperlebar defisit anggaran untuk memberikan sinyal positif dalam mendorong perekonomian bangsa ke depan dan bergerak maju dari perlambatan ekonomi kuartal I-2015.
Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia masih memiliki ruang untuk memperlebar defisit anggaran dengan menambah pinjaman sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Menurut dia, dibandingkan negara dengan peringkat utang yang serupa, Indonesia jauh lebih baik dengan persentase utang 25 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Utang pemerintah Indonesia sebenarnya hanya sebesar 25 persen dari PDB dan ini tergolong relatif rendah. Kami percaya bahwa pemerintah masih memiliki ruang untuk meningkatkan defisitnya tahun ini untuk mendukung pertumbuhan PDB," tutur dia.
Relaksasi dan Realisasi Perseroan Terbatas (PT) Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memprediksi investasi di pasar modal akan tumbuh lebih baik pada Kuartal II meskipun terjadi pelemahan di pasar saham pada Kuartal I. "Ke depan, kita optimistis investasi tumbuh. Kita lihat adanya relaksasi investasi," kata Head of Research PT MAMI Katarina Setiawan dalam jumpa pers Pemaparan Kinerja Keuangan MAMI di World Trade Centre, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan bahwa Kuartal I mengalami perlambatan dalam pertumbuhan investasi karena beberapa hal misalnya, anggaran di kementerian/lembaga dalam menjalankan program pemerintahan disetujui pada Februari sehingga proyek negara belum sepenuhnya berjalan.
Sementara itu, kuartal kedua pada tahun ini akan mendorong tumbuhnya investasi karena ada perbaikan dari relaksasi kebijakan, seperti pelaksanaan pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu yang lebih optimal oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kemudian, rencana relaksasi pada aturan uang muka pembelian rumah dengan cara kredit atau loan to value (LTV) di bidang properti oleh Otoritas Jasa Keuangan.
"Ke depannya, kalau infrastucture spending (pembiayaan sektor infrastruktur) jalan, konstruksi dan infrastruktur tentu ada potensi perform (pertumbuhan) baik," tuturnya.
Ia mengatakan bahwa jika pendapatan domestik bruto naik lima persen saja, pembiayaan infrastruktur dapat naik 20-25 persen. "Kuartal II dari ekonomi makro kita harapkan baik dan laba emiten juga baik," kata dia.
Jika pemerintah terus berupaya melakukan relaksasi kebijakan terkait dengan investasi dan realisasi program pemerintahan, terutama di sektor infrastruktur, berjalan optimal, menurut dia, akan mendorong perekonomian nasional. Perekonomian juga akan didukung dengan dengan momentum puasa dan Lebaran dengan daya beli konsumen yang meningkat.
Pemerintah juga mendorong pertumbuhan investasi seperti dengan berjalannya proyek pada tahap "grounbreaking", proyek power plan, dan pembangunan sejuta rumah. "Dengan adanya beberapa proyek berjalan, confidence (kepercayaan), market (pasar), dan investor juga meningkat," ujarnya.
Pihaknya juga memprediksikan prospek 2015 pertumbuhan laba bersih per lembar saham atau "earning per share growth" (EPS) sebesar 9-12 persen, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sebesar 2,5-3,0 persen, inflasi 5,25-6,25 persen, produk domestik bruto sebesar 5-5,5 persen, dan BI rate 7-7,5 persen.
Head of Equity PT MAMI Mohammad Anggun Indallah mengatakan bahwa pada awal 2015 pemerintah juga masih dalam proses berbenah diri dengan kepemimpinan baru. "Pada masa 3-6 bulan ini pemerintahan baru banyak yang harus dibereskan terlebih dahulu. Pembiayaan untuk belanja modal besar dan belum banyak terlaksana. Kalau pada Kuartal II mulai berjalan semuanya, dampaknya pada ekonomi baik," katanya.
Ia mengatakan bahwa para investor jangan menyimpulkan pertumbuhan ekonomi ke depan berdasarkan perlambatan ekonomi pada Kuartal I. "Investor saham dan reksa dana mindset-nya (pola pikir) harus jangka panjang. Ini transisi dari sesudah pemilihan umum, pemerintahan baru beres-beres. Investor harus benar-benar memperhatikan kinerja pemerintahan kita," ujarnya.
Dalam data perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, tercatat pelaku pasar asing membukukan jual bersih (foreign net sell) sebesar Rp1,323 triliun, Kamis (30/4). Direktur Pengembangan Bisnis PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Putut E. Andanawarih mengatakan bahwa investor harus berhati-hati dalam menarik investasi di pasar modal dan melihat peluang ke depan yang lebih baik.
"Justru dia (investor) menghentikan investasi, akan membuat dia kekurangan daya belinya. Keluar dari pasar dengan kondisi melemah seperti saat ini berarti kita (investor) mengesampingkan pertumbuhan besar di kemudian hari," katanya.
Ia mengatakan bahwa investor harus dapat melihat kondisi pelemahan di pasar modal sebagai peluang dalam mencari instrumen-instrumen investasi yang dapat meningkatkan daya beli. "Investor harus menyikapi kondisi pelemahan pasar modal pada Kuartal I dengan bijaksana yang market-nya (pasar) tidak optimistis, tetapi kita tetap menaruh investasi kita untuk meningkatkan daya beli," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa investor harus melihat pemerintah akan lebih mengoptimalkan pembiayaan infrastruktur pada Kuartal II 2015. "Kita jangan meng-underestimate (meremehkan) pertumbuhan ekonomi dalam negeri," tambah dia.
Pada Kuartal II 2015, lanjutnya, realisasi program pembangunan pemerintah akan menjadi dorongan kuat untuk mengalirnya investasi karena kepercayaan investor meningkat. "Kalau pemerintah ke depan jadi merealisasikan proyek infrastrukturnya, perekonomian nasional membaik. Produk domestik bruto membaik, kinerja perusahaan membaik dan investasi di pasar modal membaik," katanya.
Sentimen Investor Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Group Research Gundy Cahyadi mengatakan bahwa prospek investasi Indonesia ke depan masih terpengaruh oleh pelemahan rupiah yang mengakibatkan menurunnya pertumbuhan investasi. "Rupiah trending sangat melemah menjadi faktor negatif prospek investasi di Indonesia," katanya.
Ia mengatakan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar AS mengakibatkan daya beli masyarakat menurun, sementara pelaku industri juga harus tetap mengimpor barang untuk produksi dalam negeri. "Impor barang modal tidak bisa naik maka pertumbuhan investasinya juga turun," tuturnya.
Ia mengutarakan bahwa prospek rupiah ke depan menjadi satu hal penting untuk melihat prospek investasi ke depan. Selain pelemahan rupiah terhadap dolar AS, investasi di Indonesia juga dipengaruhi dengan harga komoditas yang lemah yang terus membebani pendapatan ekspor. Belanja modal yang dibutuhkan lebih banyak, menurut dia, perlu didukung oleh penerimaan yang lebih optimal. Namun, investasi dari asing dan penerimaan pajak belum dapat memberikan pengaruh dalam jangka pendek.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa target pendapatan dari segi pajak di Indonesia pada 2015 sebesar 30 persen merupakan suatu target yang optimistis. Dalam empat tahun terakhir, kata dia, pendapatan pajak mencapai 10 persen dan pada 2005 mengarah ke angka 30, yakni sekitar 25 persen. Padahal, pemerintah menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 1,9 persen dari produk domestik bruto, sedangkan
penyerapan anggaran juga belum optimal.
"Kalau pemerintah mau mempertahankan posisi fiskal dua persen di bawah APBN, mereka harus menurunkan pengeluaran fiskal pemerintah," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa defisit transaksi berjalan menurun ke tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2014 dari 3,5 persen pada semester pertama 2013. "Walaupun ini merupakan peningkatan, defisit masih lebih tinggi dibanding negara-negara yang memiliki peringkat utang serupa," katanya.
Gundy menyebutkan sebagian besar peningkatan datang dari perlambatan drastis impor, yakni -15 persen periode tahunan (year on year) pada kuartal pertama 2015, termasuk dari barang modal. "Ini dapat menjadi kekhawatiran terkait dengan kemampuan produksi jangka panjang," tuturnya.
Sementara itu, pemerintah Indonesia belum mengendurkan peraturan untuk batas investasi langsung asing atau "foreign direct investment" (FDI) di dalam negeri. "Dengan tingkat FDI yang masih relatif rendah di beberapa tahun belakangan, kami melihat bahwa defisit neraca berjalan yang 'sustainable' (berkelanjutan) berada sekitar dua persen dari PDB," ujarnya.
Untuk itu, Indonesia perlu memberikan relaksasi terhadap batas investasi langsung. Kemudian, Indonesia dapat memperluas cadangan devisa untuk mengantisipasi risiko adanya arus modal keluar dan memperlebar defisit anggaran dengan pinjaman. Dengan demikian, lanjut dia, Indonesia memperoleh dana untuk merealisasikan program pemerintah secara optimal, terutama pembangunan infrastruktur.
"Pembangunan infrastruktur akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan meski belum dapat dirasakan dalam jangka pendek," katanya.
Ia mengatakan bahwa Indonesia juga menghadapi tantangan dengan inflasi yang meningkat untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. "Sebenarnya trending inflasi juga sedikit meningkat, alasan utamanya adalah rupiah melemah," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa inflasi meningkat akan mengakibatkan daya beli konsumen menurun. "Karena impor konten produksi masih tinggi, tren inflasi ke depan masih akan meningkat," ujarnya.
Di samping itu, President Director MAMI Legowo Kusumonegoro mengatakan ada kemungkinan bahwa keragu-raguan investor berinvestasi di Indonesia akibat perlambatan ekonomi di kuartal pertama berlanjut. "Pada kuartal kedua, kondisi ini akan berlanjut terkait dengan sentimen investor mungkin masih ragu-ragu, takut-takut berinvestasi," katanya.
Namun, pada kuartal kedua, lanjut dia, Indonesia akan lebih banyak terlibat dalam proyek infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa. "Indonesia akan lebih banyak terlibat dalam proyek pada infrastruktur pada kuartal kedua. Tentu saja jika investor bisa melihat ini lebih panjang lagi, investor harusnya tenang-tenang saja melihat potensi yang ada," tuturnya.
Ia menekankan, investor jangan terpengaruh dengan perlambatan ekonomi pada kuartal pertama karena perekonomian juga akan bertumbuh pada kuartal berikutnya seiring pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus pemerintahan. "Kita percaya bagaimana infrastruktur membawa roda ekonomi Indonesia jauh lebih cepat ke depan," katanya.
Vice President Director & Chief Agency Officer Manulife Indonesia Nelly Husnayati mengatakan bahwa dunia bisnis pada kuartal pertama baru mulai berjalan setelah transisi pemerintahan yang baru. "Memang kuartal pertama semua bisnis mulai berjalan lagi. Namun, kuartal kedua dinamikanya jauh lebih meninggi dan meningkat daripada kuartal pertama," katanya.
Terkendala harga komoditas Development Bank of Singapore (DBS) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat oleh penurunan harga komoditas sehingga pendapatan ekspor yang menopang pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh optimal. "Harga komoditas yang lemah terus membebani pendapatan ekspor," katanya.
Ia mengatakan bahwa harga komoditas rendah menekan pertumbuhan ekspor sehingga penerimaan negara juga tidak optimal. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menghadapi tantangan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa pelemahan rupiah akan memengaruhi industri dalam negeri karena sebanyak 60-70 persen industri dalam negeri masih mengimpor bahan baku dan barang modal dari luar negeri dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat. Dengan biaya yang dikeluarkan lebih banyak akibat pelemahan rupiah, pada akhirnya kegiatan impor mengalami penurunan yang menyebabkan industri kurang bertumbuh sehingga menghambat ekspansi industri.
Industri yang kurang bertumbuh juga akan berdampak pada sedikitnya investasi yang masuk karena tidak ada ekspansi. Ia mengatakan bahwa PDB sedang berada di kisaran level lima persen di bawah potensi jangka menengah 6-6,5 persen dan lebih lambat daripada rata-rata 5,5 persen di awal 2013. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga stabil di kisaran lima persen. Akan tetapi, ada indikasi pelemahan pada kuartal pertama 2015. Misalnya, penjualan
otomotif menurun 15 persen periode tahunan (year on year) pada kuartal pertama 2015. "Impor barang-barang konsumen juga menurun 15 persen dibandingkan setahun sebelumnya," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News