Suryopratomo (kiri). (FOTO: MI/Panca Syurkani)
Suryopratomo (kiri). (FOTO: MI/Panca Syurkani)

Wajar Tanpa Pengecualian

Suryopratomo • 31 Mei 2017 10:09
BELUM kering bibir Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi terhadap kinerja kementerian dan lembaga untuk meraih wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan mereka. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak kurang gembiranya karena berarti anggaran negara telah dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
 
Semua prestasi itu seakan tidak artinya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menangkap tangan praktik lancung antara pejabat Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian Desa. Predikat WTP yang didapat Kementerian Desa ternyata tidak didasari penilaian yang seharusnya. Predikat itu dinaikkan dari wajar dengan pengecualian karena ada iming-iming uang yang diberikan pejabat Kementerian Desa.
 
Keruan saja semua predikat WTP seakan tidak ada artinya. Orang mudah beranggapan bahwa predikat WTP itu bisa dibeli. Para auditor BPK ternyata bisa diajak kongkalikong untuk mengatur yang tidak baik menjadi kelihatan baik.



 
Penilaian masyarakat itu tentu bukan mengada-ada karena kasus ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, di beberapa daerah sudah terjadi permainan dalam penilaian dengan imbalan uang.
 
Beberapa pejabat pelakunya pun sudah dijatuhi hukuman berat.
 
Mengapa hal yang tidak kita inginkan ini bisa terjadi? Pertama, karena kita terjebak dalam pencitraan yang luar biasa. Kita hidup di era orang hanya berupaya mengejar ketenaran. Orang merasa puas dinilai baik meski kenyataannya tidak seperti itu.
 
Kedua, karena predikat WTP menjadi tujuan, mereka lupa kepada proses. Bahkan karena itu dianggap sebagai ukuran keberhasilan, mereka menghalalkan segala cara. Apalagi Presiden memberikan pujian tinggi kepada yang mendapatkan predikat WTP dan mengkritik yang belum mencapainya.
 
Ketiga, jabatan itu dianggap sebagai segala-galanya. Anggapannya power is privilege. Karena kekuasaan dianggap hak istimewa, orang cenderung mencari muka kepada orang yang memberi kekuasaan.
 
Padahal, kekuasaan itu selalu dikatakan sebagai sebuah amanah. Oleh karena itu, kekuasaan sebenarnya bukan untuk yang menerima kekuasaan. Kekuasaan seharusnya dipakai untuk melayani masyarakat. Atas pelayanannya yang baik, pejabat itu akan mendapat kehormatan dari rakyat.
 
Predikat WTP pun sebenarnya bukan untuk predikat itu sendiri. Predikat WTP seharusnya merupakan indikator bahwa anggaran yang diterima kementerian dan lembaga dipakai sepenuh-penuhnya untuk kepentingan rakyat. Salah satu ukurannya administrasi keuangannya sesuai dengan aturan yang ditetapkan pengawas keuangan.
 


 
Ketika penilaian itu bisa diperjualbelikan, kita tidak tahu lagi indikator yang bisa dipakai untuk melihat bahwa anggaran negara telah terkelola dengan baik. Tidak usah heran apabila praktik korupsi di era reformasi bukan semakin berkurang, melainkan justru makin menjadi-jadi. Meski anggaran negara sudah meningkat tujuh kali lipat jika dibandingkan dengan era Orde Baru yang hanya Rp300 triliun, kemiskinannya bukan semakin berkurang, melainkan semakin bertambah.
 
Dalam situasi yang mencoreng seperti ini, kita tidak melihat pejabat yang kemudian merasa malu. Praktik jual beli predikat laporan keuangan hanya dianggap sebagai kesalahan orang per orang. Padahal, apa kepentingannya seorang inspektur jenderal dengan predikat WTP karena itu lebih melekat kepada kementerian daripada orang pribadi?
 
Kita lalu teringat pada pelajaran yang pernah disampaikan tokoh pendidikan Prof Dr Ir Andi Hakim Nasoetion. Menurut Rektor Institut Pertanian Bogor itu, orang bekerja jangan untuk mengejar ketenaran. Bekerja itu harus ditujukan untuk kebaikan karena dengan itu, kita akan mendapatkan keduanya.
 
Pelajaran itu tentu berlaku juga dalam kehidupan bernegara. Para pemimpin yang diberi amanah untuk menjadi pejabat negara jangan bekerja untuk mendapatkan nama. Pekerjaan utama mereka itu ialah menyejahterakan rakyat. Anggaran negara yang dengan susah payah didapatkan pergunakanlah dengan penuh tanggung jawab. Jangan kemudian silau hanya untuk mendapat pujian WTP. Kalau para pejabat bekerja demi kebaikan, pasti pejabat itu akan mendapatkan nama baik dari rakyat.
 
Kita semua sadar bahwa membangun negara bukan proses yang sekali jadi. Karena itu, kita tidak perlu bernafsu untuk cepat-cepat memperoleh pujian. Kehormatan itu pasti akan datang ketika kita konsisten memajukan kehidupan bangsa ini. Bukan saatnya bagi kita untuk berbasa-basi. Keberanian untuk mengakui kelemahan dan berupaya memperbaikinya merupakan kunci dari bangsa ini meraih kemajuan. (Media Indonesia)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan