Mengutip laman Bloomberg, Selasa, 23 Januari 2018, West Texas Intermediate (WTI) tercatat sebesar USD63,88 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Maret naik 42 sen menjadi ditutup pada USD69,03 per barel di London ICE Futures Exchange.
Tren kenaikan harga minyak dunia ini perlu diwaspadai dan diantisipasi lantaran bisa menimbulkan gangguan terhadap aktivitas perekonomian Indonesia, salah satunya dari sisi anggaran subsidi energi pemerintah yang membengkak. Potensi pembengkakan subsidi energi ini dkhawatirkan menghambat pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen di 2018.

WTI Crude (Sumber: Bloomberg)
"Harga minyak dunia kami lihat cukup tinggi. Jadi ada sisi pass-through dari harga minyak dunia," ucap Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra, di Jakarta, Senin, 22 Januari 2018.
Dalam kajian Standard Chartered Bank Indonesia, kemungkinan pemerintah menaikkan harga BBM dengan jenis kualitas tinggi untuk menyiasati kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah diperkirakan tetap menjaga transmisi ke harga minyak domestik. Stanchart memperkirakan rata-rata harga minyak mentah internasional pada 2018 akan menembus USD61 per barel.

Brent Crude (Sumber: Bloomberg)
Sementara itu, Kemenkeu mencatat realisasi subsidi mencapai sebesar Rp166,3 triliun atau sekitar 98,5 persen dari APBNP 2017 yang ditargetkan Rp168,9 triliun. Sedangkan realisasi subsidi energi pada 2017 mencapai Rp97,6 triliun atau 108,7 persen dari target APBNP 2017 sebesar Rp89,9 triliun.
Untuk subsidi BBM dan elpiji, pada 2017 telah terealisasi sebesar Rp47,0 triliun atau lebih tinggi hingga 105,7 persen dari target APBNP 2017 yang sebesar Rp44,5 triliun. Sedangkan subsidi listrik pada 2017 disalurkan sebesar Rp50,6 triliun atau lebih tinggi hingga 111,5 persen dari target APBNP 2017 sebesar Rp45,4 triliun.
Target realisasi subsidi energi pada 2017 yang meningkat ini perlu diwaspadai dan diantisipasi karena potensi kenaikan harga minyak dunia dan berdampak ke subsidi energi bisa menggangu fokus pemerintah untuk mencapai sejumlah indikator perekonomian yang sudah disepakati bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan tren kenaikan harga minyak patut diwaspadai. Apalagi, Bank Indonesia menilai kenaikan harga minyak akan berdampak pada kenaikan inflasi.
"Dampak ke inflasi tentu ada karena harga BBM yang meningkat. Tapi tentunya postuf fiskal cenderung lebih baik dan kami melihat sisi positif," kata Dody, Kamis, 18 Januari 2018.
Pemerintah dalam APBN 2018 menargetkan harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) di posisi USD48 per barel. Sedangkan target tersebut sudah terlalu jauh dibandingkan dengan kondisi harga minyak dunia sekarang ini. Apalagi, hari ini harga minyak mentah Brent menyentuh level USD69,03 per barel.

Sumber: Kementerian Keuangan
Dari kondisi itu, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) berada di bawah harga keekonomian. Melihat situasi dan kondisi jelang pilkada serentak dan pilpres di 2019 sepertinya pemerintah sulit menaikkan harga BBM dengan alasan menjaga daya beli masyarakat yang sekarang ini berada di tren melemah.
BPS sebelumnya mencatat konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat melemah pertumbuhannya jadi 4,93 persen di kuartal III-2017 dibandingkan kuartal I-2017 yang 4,95 persen. Selain itu, DPK dari sisi tabungan di atas Rp5 miliar naik yang berarti masyarakat kelas atas yang memiliki kemampuan daya beli memilih justru menyimpan uangnya di bank.
Meski demikian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menegaskan, pemerintah terus mengikuti semua ketentuan yang ada di Undang-Undang (UU) APBN 2018 yakni tidak ada agenda menaikkan harga BBM. Hal ini terbukti dari tidak ada kenaikan harga BBM jenis premium dan solar hingga 31 Maret 2018, yang mulai berlaku di 1 Januari 2018.
"APBN 2018 asumsikan tidak ada kenaikan BBM," tegas Ani, biasa ia disapa, Rabu, 27 Desember 2017 lalu.
Kenaikan Harga Minyak Dunia Tidak Hanya Beri Efek Negatif
Namun, tren harga minyak dunia terus menguat tidak hanya memberi efek negatif. Pasalnya, Direktur APBN Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Nugraha mengkalim, kenaikan ICP akan memberikan 'angin segar' bagi penerimaan negara. Tentu tambahan dana itu bisa memaksimalkan pengelolaan anggaran.
Dalam APBN 2018, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) dengan asumsi ICP USD48 per barel ditargetkan mencapai Rp80,3 triliun. Sementara Pajak Penghasilan (PPh) migas ditargetkan mencapai Rp38,1 triliun. "Ada dua pendapatan negara yang akan naik yakni dari PPh migas dan PNBP SDA," kata Kunta.

Sumber: Kementerian Keuangan
Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) secara ketat mengawasi potensi kenaikan harga minyak dunia dan dampaknya terhadap kinerja keuangan. Pertamina pun telah melakukan perhitungan atau membuat simulasi kondisi keuangan dikaitkan dengan berbagai kondisi sekarang ini.
Jika ada kenaikan ICP sebesar USD1 per barel, EBITDA Pertamina pada 2018 minus USD52 juta per tahun dan laba bersih minus USD55 juta per tahun. Sementara jika terjadi pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sebesar Rp100 maka EBITDA Pertamina di 2018 akan minus USD48 juta per tahun dan laba minus USD41 juta per tahun.
Selain itu, jika pemerintah menetapkan harga premium penugasan dan solar subsidi tidak berubah sepanjang 2018 dan ICP tetapi di USD48 per barel, proyeksi laba bersih Pertamina di 2018 sebesar USD2,4 miliar, lalu di 2019 laba akan turun menjadi USD1,5 miliar. Kemudian dari 2020 sampai 2022, laba berturut-turut adalah USD1,4 miliar, USD1,2 miliar, dan USD1,5 miliar.
Laba Pertamina diproyeksi akan semakin tergerus jika asumsi ICP berada diposisi USD60 per barel. Berdasarkan perhitungan, laba bersih Pertamina di 2018 jika ICP USD60 per barel sebesar USD1,7 miliar. Kemudian pada 2019 laba menjadi USD1 miliar, di 2020 menjadi USD1,3 miliar, dan di 2021 hingga 2022 sebesar USD1,1 miliar, dan USD1,3 miliar.
Chairman dan CEO Schlumberger Paal Kibsgaard memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak yang kuat akan berlanjut pada 2018 didukung oleh ekonomi global yang kuat. Kondisi itu diharapkan bisa memberi efek positif terhadap kenaikan harga minyak yang sekarang ini masih terus diupayakan oleh sejumlah pihak termasuk OPEC dan negara bukan anggota OPEC.
"Di sisi penawaran perpanjangan pengurangan produksi yang dipimpin oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia telah menerjemahkan ke persediaan yang lebih tinggi dari perkiraan," kata Paal Kibsgaard.
Sementara itu, laporan bulanan OPEC mengungkapkan pasokan minyak dunia meningkat sebesar 0,40 juta barel per hari dengan rata-rata 97,49 juta barel per hari pada Desember 2017 dan diperkirakan terus meningkat pada 2018 karena kenaikan produksi dari produsen-produsen minyak non-OPEC.
Pernyataan itu merevisi naik perkiraan pertumbuhan pasokan minyak non-OPEC tahunan untuk 2018 menjadi 1,15 juta barel per hari. Total pasokan diperkirakan mencapai 58,94 juta barel per hari. Hal ini disebabkan proyeksi pasokan yang lebih tinggi dari perkiraan untuk AS, Kanada, Meksiko, Inggris, Denmark, Indonesia, Brasil, Amerika Latin, dan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News