Penguasaan lebih 51 persen saham PT Freeport Indonesia merupakan bagian dari perintah Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Freeport yang sudah beroperasi 50 tahun di Indonesia diharuskan mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada perusahaan Indonesia.
Selama ini Indonesia maksimal baru memiliki 20 persen saham Freeport. Bahkan setelah terjadi krisis ekonomi 1997, kita menjual kembali sebagian saham kepada Freeport McMoran sehingga kepemilikan Indonesia sampai saat ini hanya 9,38 persen.
Pihak Freeport McMoran akhirnya bisa memahami keinginan Indonesia untuk menjadi pemegang saham mayoritas. Sepanjang 3,5 tahun terakhir terjadi negosiasi intensif tentang cara pembelian saham. Akhirnya, dalam HoA yang disepakati akhir pekan lalu, Inalum mengambil alih 40 persen participating interest Rio Tinto serta sebagian saham Freeport McMoran sehingga perusahaan tambang Indonesia tersebut bisa menguasai 51,83 persen saham PT Freeport Indonesia.
Untuk pengambilalihan saham tersebut, Inalum akan membelinya dengan harga USD3,85 miliar. Dalam waktu satu atau dua bulan ke depan diharapkan transaksi bisa diselesikan sehingga resmi Inalum menjadi pemegang saham mayoritas Freeport.
Aksi korporasi yang dilakukan Inalum sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa. Inalum melihat potensi pendapatan masa mendatang yang besar karena cadangan mineral di tambang bawah tanah Grasberg masih mencapai 2,1 miliar ton.
Sayang, isu yang berkembang sejak penandatanganan head of agreement terlalu politis. Dari pihak pemerintah dan pendukungnya selalu menggunakan isu nasionalisme dan seakan-akan bisa menundukkan pihak Amerika Serikat. Akibatnya, kelompok oposisi menyerang balik mengatakan kita mengikuti kehendak pihak asing karena negara harus membayar USD3,85 miliar atas aset yang merupakan milik bangsa Indonesia.
Kalau kita mau lebih jernih melihat persoalan, perjalanan Freeport di Papua merupakan bagian dari perjalanan Indonesia. Setelah krisis politik 1965, Indonesia membutuhkan modal untuk membangun perekonomian Indonesia yang morat-marit. Pemerintah Orde Baru mencoba menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia layak sebagai tujuan investasi. Freeport merupakan perusahaan asing pertama yang masuk Indonesia pada 1967.
Dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun bagi Freeport untuk bisa mengolah tambang yang berada di Ertsberg. Karena menggebunya ingin mendapatkan investor asing, kontrak karya I yang diberikan kepada Freeport sangat menguntungkan pihak asing.
Ketika Freeport hampir selesai menambang di Erstberg dan menemukan tambang baru di Grasberg, kontrak karya II yang dikeluarkan pada 1991 mulai memperhatikan kepentingan Indonesia. Bahkan masuk ke kontrak keharusan Freeport McMoran untuk mendivestasikan sahamnya sampai 30 persen dalam periode 20 tahun.
Krisis multidimensi 1997 membuat kita alpa untuk mengambil alih saham Freeport. Semua konsentrasi lebih tertuju kepada upaya memulihkan kondisi yang sempat mengalami kontraksi sampai minus 17 persen. Setelah 20 tahun krisis berlalu, wajar apabila kita mulai memikirkan kembali hak kepemilikan kita di banyak perusahaan. Apalagi sekarang kita memiliki Undang-Undang Nomor 4 tentang Minerba yang dikeluarkan pada 2009 dan kita pun masuk 20 negara ekonomi besar dunia.
Seperti dikatakan mantan Presiden BJ Habibie, rencana akuisisi saham Freeport merupakan hal yang baik bagi Indonesia. Hanya saja ia mengingatkan, sebagai pemegang saham mayoritas, bukan hanya potensi penerimaan yang semakin besar, melainkan juga tanggung jawabnya.
Sebagai pemegang lebih 51 persen saham, Inalum otomatis harus menanamkan modal sebesar kepemilikan sahamnya untuk pengembangan usaha. Kita tahu untuk pengembangan tambang bawah tanah dibutuhkan investasi sampai USD20 miliar, sementara dalam pembangunan pengolahan mineral yang harus selesai dalam lima tahun ke depan minimal dibutuhkan investasi USD2 miliar.
Untuk itu, menurut Habibie, manajemem Inalum harus lebih profesional. Hanya dengan manajemen yang lebih baik maka investasi yang ditanamkan bisa kembali dan seperti harapan kita semua, penerimaan untuk Indonesia akan semakin besar.
Kehadiran Inalum harus menjamin tidak ada lagi pemogokan tenaga kerja. Gangguan keamanan seperti penembakan oleh kelompok bersenjata tidak terjadi lagi. Pencurian dengan membobol pipa konsentrat bisa dicegah. Tidak ada lagi isu lingkungan yang menghambat produksi. Tidak ada lagi kebijakan pelarangan ekspor. Kalau itu bisa dilakukan, kehadiran Inalum benar-benar memberi nilai tambah dan kita bisa berharap penerimaan Indonesia akan lebih besar. (Podium/Media Indonesia)
Suryopratomo
Dewan Redaksi Media Group
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News