Kebanyakan orang mungkin tidak menyangka bahwa di dalam benda-benda itu sedang beraktivitas 1,5 juta barel fluida (air, minyak, dan gas) setiap hari. Lebih tidak disangka lagi bahwa dari fluida tersebut, minyak yang dihasilkan hanya 15 ribu barrel atau satu persennya saja.
"Jadi fluida yang disedot dari kedalaman dua kilometer di perut bumi itu setiap hari, 98-99 persennya adalah air sedang minyaknya hanya satu hingga dua persen," kata salah seorang staf GS I itu, Gusli Khairi.
Ladang Minas terdiri atas enam tempat pengumpulan minyak atau GS. Produksi rata-rata sama dengan GS I. Advisor Petroleum Engeneer PT CPI Paulus Suryono Adisoemarta dalam suatu kesempatan mengatakan total produksi minyak Chevron Minas saat ini adalah 55.000 barel per hari atau sekitar satu persen dari 5 juta barel fluida yang dipompa setiap hari.
Dia mengakui bahwa ini adalah penurunan yang besar mengingat dulunya Minas pernah mencapai puncak produksi yakni 500 ribu barel per hari. Menurut Paulus, sampai saat ini Chevron telah memproduksi sebanyak 12 miliar barel sejak 1952. Saat ini Chevron masih menjadi produsen minyak terbesar nasional dengan kontribusi 40 persen. Pada masa puncaknya pada 1973, Chevron pernah mencapai produksi satu juta barel per hari (bph), lebih dari setengah produksi nasional saat itu 1,6 juta bph.
Akan tetapi, sebagai sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, lambat laun jumlah itu turun. Terakhir pada 2014, produksi kotor pada semua lapangannya di Blok Rokan menurun hingga 306 barel per hari. Menurut data Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Sumatera Bagian Utara (SKK Migas), produksi semua kontraktor di Riau tidak lebih dari 350 ribu bph.
Penurunan tidak hanya pada lapangan Minas, tapi juga terjadi di ladang Duri yang merupakan penghasil terbesar saat ini dengan produksi antara 200-300 ribu barel per hari. Butuh teknologi dan investasi meskipun produksi juga turun di Lapangan Duri, satu hal yang bisa dicatat dari ladang itu adalah keberhasilan memilih penerapan teknologi, dari awalnya menggunakan sistem injeksi konvensional seperti Minas hingga menggunakan sistem injeksi uap.
Produksi awal ketika diproduksi pada 1958 mengalami penurunan dengan cepat sampai akhirnya dimulai pengembangan injeksi uap 1984. Hasilnya produksi jauh meningkat dari hanya kisaran 50 ribu barel per hari sampai dengan puncaknya 300 ribu barel pada 1990an.
"Menemukan minyak tergantung kemampauan mengolah data sehingga bertemu, dalam hal ini teknologi sangat membantu," ujar Paulus.
Minyak di Duri memiliki kadar lilin yang banyak sehingga perlu zat kimia dan uap untuk mengangkatnya ke atas dengan menggunakan pompa angguk. Keberhasilan penerapan teknologi ini menjadikan Duri sebagai ladang minyak dengan teknologi uap terbesar di dunia. Untuk Minas, Paulus mengatakan pihaknya sedang menjadikan ladang itu "pilot project" penggunaan teknologi surfaktan. Teknologi ini ibarat sabun agar bisa lebih cepat melepaskan minyak yang menempel pada bebatuan.
Dia menekankan bahwa teknologi sangat memegang peran kunci dalam kegiatan pencarian minyak bumi. Apa yang terlihat saat ini pada cadangan potensial dan cadangan terbukti bagaikan fenomena gunung es. Apa yang terlihat saja hanya sedikit, namun yang tidak terlihat sesungguhnya banyak sekali. Dia mencontohkan Amerika Serikat yang selalu mengimpor minyak sejak lama, namun sekarang justru bisa memenuhi kebutuhannya yang berjumlah 20 juta bph, bahkan mengekspornya.
Hal tersebut didapatkan negara itu setelah menemukan "Oil Shale" dan Gas Shale". Hal ini juga yang membuat harga minyak dunia turun saat ini. Sementara itu, SKK Migas dalam setiap sosialisasinya selalu menekankan iklim investasi yang menjamin kontraktor. Tidak dapat dipungkiri, masalah yang mengganggu iklim itu masih terjadi di Indonesia sehingga kontraktor sering terseret-seret dalam masalah yang seharusnya tidak menjadi urusannya.
"Kontraktor hanya melakukan ekplorasi dan ekploitasi, bukan mengurusi yang lain. Karena sebelum kontrak sudah ada perjanjian," kata Kepala Operasional SKK Migas Sumbagut, Rudy Fajar.
Saat ini ada 21 K3S yang beropersai di Riau, 10 di antaranya dalam tahap eksplorasi dan 11 dalam produksi. Untuk tahap eksplorasi sampai saat ini belum ditemukan cadangan terbukti yang baru. Menurut dia hal ini bisa saja dikarenakan turunnya harga minyak dunia sehingga masih dalam keadaan melihat perkembangan.
Ketahanan energi di tengah para kontraktor sibuk mencari cara mengangkat minyak ke atas bumi, konsumsi masyarakat Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004 Indonesia sudah menjadi importir minyak karena yang dihasilkan sudah tidak sebanding dengan kebutuhan domestik. Produksi minyak Indonesia saat ini berkisar 850 ribu bph, namun kebutuhannya 1,6 juta bph. Kenaikan rata-rata konsumsi dalam 10 tahun terakhir mencapai tujuh persen.
Gde Pradnyana dalam bukunya "Nasionalisme Migas" menyampaikan bahwa penyebab utamanya adalah masyarakat yang sudah puluhan tahun menikmati subsidi bahan bakar minyak sangat sulit memahami bahwa kini, di mana Indonesia sudah menjadi net importer minyak, kebijakan subsidi berlebihan sudah tidak sesuai lagi.
Dampak sebagai negara 'net oil importer' adalah fluktuasi harga minyak sangat mempengaruhi postur APBN. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai jurus mulai dari kampanye hemat energi hingga Peraturan Presiden (Perpres), namun masih belum menunjukkan hasil. Dalam Perpres 05/2006 bauran energi nasional ditargetkan hanya 20 persen dari minyak bumi, 30 persen gas, batu bara 33 persen, dan energi baru terbarukan 17 persen. Namun belum ada perubahan berarti.
Gde Pradnyana mengatakan, untuk dapat mewujudkan ketahanan energi itu, terdapat berbagai alternatif. Salah satunya optimalisasi sumber energi yang ada yakni panas bumi. Jika dilihat dari posisi geografi Indonesia yang dikelilingi "ring of fire", cadangan panas buminya sangat besar yaitu sekitar 40 persen dunia. Sangat besar dibanding dengan cadangan terbukti batu bara 0,5 persen, minyak 0,4 persen, dan gas 1,7 persen. Dengan jumlah cadangan itu, sudah semestinya Indonesia menempatkan panas bumi sebagai energi utama. Selain ramah lingkungan, panas bumi juga merupakan sumber energi terbarukan.
Meskipun begitu, upaya ke arah itu dinilai masih belum fokus. Contohnya Indonesia tidak berani menetapkan kebijakan "feed-in" tarif untuk listrik panas bumi. Pemerintah seolah kesulitan menetapkan besaran subsidi listrik panas bumi dan hanya mengalokasikan yang dibangkitkan dari minyak bumi.
"Akibatnya, sekalipun harga listrik panas bumi jauh lebih murah, PLN kesulitan membeli listrik panas bumi karena selisih harganya terhadap tarif dasar listrik harus ditanggung sendiri oleh PLN dan itu dianggap merugikan negara," tulisnya.
Langkah lainnya untuk ketahanan energi adalah dengan mengubah pola konsumsi energi primer. Indonesia harus mengoptimalkan gas dan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri. Contohnya saat ini Indonesia mengimpor LPG. Akan lebih baik jika dikemas saja dalam bentuk gas alam (LNG) yang dihasilkan di dalam negeri, namun itu justru diekspor.
Begitu juga dengan batu bara. Ironisnya, bisnis tambang justru masih menggunakan sistem konsesi dimana pengusaha memegang hak penuh dan pemerintah hanya menerima royalti. Indonesia menjadi salah satu pengekspor batu bara besar di dunia, padahal cadangan potensial hanya tiga persen dunia.
"Pola energi primer yang tidak tepat, yaitu menjual yang murah (batu bara dan LNG) dan mengimpor yang mahal (minyak dan LPG) ini harus diubah secara radikal. Kalau kita ingin terhindar dari krisis energi dan ingin terus menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi," kata Gde.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News