Akar persoalan hampir berhentinya operasi perusahaan sangat kompleks dan multidimensional sehingga orang yang berurusan langsung di dalam pun belum tentu memahami keseluruhan gambaran yang ada, apalagi kita yang hanya melihat dari luar. Walaupun demikian, ada potongan-potongan tertentu yang bisa membantu kita untuk mereka-reka apa yang terjadi.
Izin ekspor konsentrat yang tidak diperpanjang, tepatnya diberi eksepsi kembali adalah penyebab langsung diberhentikannya operasi. Persoalan yang dimensinya lebih luas adalah: perubahan kontrak karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan kewajiban divestasi sebesar 51% dalam jangka waktu 10 tahun. Di luar itu, masih ada persoalan pajak, kewajiban pembangunan smelter, dan yang lain. Ini sebagian besar merupakan hasil implementasi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Persoalan pertama erat kaitannya dengan masa berlakunya izin dan pengurusan kembali yang dari sisi kacamata saya sebagai pelaku di industri pertambangan 'kurang masuk akal'. Tapi bukan itu yang mau saya bicarakan untuk kali ini.
Persoalan kewajiban divestasi 51% ini sepertinya mewakili perasaan sentimentil dan rasa nasionalisme banyak orang. Bukankah ini artinya 'negara' akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak karena bisa menempatkan BUMN/BUMD atau swasta nasional menjadi pemilik mayoritas dan menjadi penentu arah kebijakan perusahaan?
Sayangnya, persoalannya jauh lebih pelik dari itu dan yang disebut 'negara' seringkali tidak berarti masyarakat banyak.
Entah disadari atau tidak, kewajiban divestasi ini potensinya besar menjadi buah simalakama buat pemerintah. Kesulitan pelaksanaanya (atau tidak melaksanakan) mencakup tiga aspek: politis, teknis dan ekonomis.
Untuk melihat aspek politis, kita harus mundur ke belakang melihat bagaimana kewajiban ini dibuat. UU No 4 Tahun 2009, yang kemudian (setelah 8 tahun) diikuti dengan PP No 1 tahun 2017 ini sejatinya memiliki semangat untuk mewujudkan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3.
Tarik-ulur pelaksanaannya karena berbagai macam ketidaksiapan dari kedua belah pihak membuat Menteri ESDM 'harus' mengeluarkan Peraturan Menteri No 5 dan 6 Tahun 2017 untuk mengakomodasi eksepsi yang masih diperlukan oleh perusahaan tambang setelah hampir 8 tahun sejak UU Minerba dikeluarkan.
Tentu saja, ini menimbulkan kritik pedas kepada pemerintah yang dianggap mencla-mencle dan tidak berpihak kepada semangat 'nasionalisme'. (Bersambung)
Penulis
Arkadius Sutra Tarigan
(Praktisi Pertambangan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News