Kita tahu rata-rata pendidikan orang Indonesia hanya sekitar 7,8 tahun, sehingga banyak warga yang pendidikan sekolah menengah pertama pun tidak selesai. Tidak usah heran apabila kemiskinan pada kelompok bawah seperti lingkaran setan. Ketika sang ibu pada saat hamil kekurangan gizi, perkembangan otak janin tidak normal. Sesudah lahir, asupan makanan sang bayi pun tidak memadai.
Apalagi keluarga itu kemudian tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Ketika mereka dewasa dan hidup berkeluarga, keluarganya pun pasti terjerat kemiskinan lagi. Lingkaran setan ini tidak mungkin bisa diputus, apabila tidak menggunakan usaha khusus. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mencoba membuat terobosan dengan mempertemukan keluarga miskin itu dengan keluarga yang mampu.
Gerakan kepedulian sosial dicoba dipakai untuk mengangkat keluarga tidak mampu dari jerat kemiskinan. Negara sendiri menggunakan pajak sebagai alat untuk mendistribusikan kemakmuran. Rakyat diminta membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. Sistem pajak yang berlaku pada kita sekarang memang bersifat progresif. Semakin tinggi pendapatannya, semakin besar pajak yang dibayarkan. Sekarang ini pemerintah gencar untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Tahun ini target penerimaan pajak ditetapkan sekitar Rp1.300 triliun. Dibandingkan dengan produk domestik bruto, penerimaan pajak kita hanya 11 persen. Pemerintah berharap pada 2019 nanti, rasio pajak bisa ditingkatkan menjadi 14 persen. Memang kepatuhan pajak menjadi satu masalah. Tetapi masalah yang lain adalah banyaknya warga yang belum terjangkau pajak.
Sayangnya untuk mengejar target pajak, yang diburu adalah mereka yang sudah membayar pajak. Prinsip 'berburu di kebun binatang' membuat orang yang sudah membayar pajak merasa terbebani dan akhirnya malah mencoba menghindar. Sekarang ini mencuat banyak isu berkaitan dengan pajak. Yang menonjol adalah soal ketidakpastian dan ketidakadilan. Salah satu dihadapi oleh perusahaan migas Chevron.
Mereka tiba-tiba ditagih pajak sebesar USD130 juta atas transaksi yang terjadi pada 2011. Padahal pada 2012 mereka sudah mendapatkan surat dari Kantor Pajak bahwa transaksi mereka tidak terkena Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku mulai 2012. Isu ini sampai mengundang pertanyaan Dubes AS kepada Menteri Luar Negeri Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah soal kepastian, karena keputusan yang bisa berubah tiba-tiba.
Di sisi lain kita melihat ada surat ketetapan pajak yang bisa berubah dari keharusan membayar menjadi tidak membayar hanya karena kekuatan yang menjual nama kekuasaan. Sekarang ini sedang mencuat dalam persidangan kasus suap pajak yang melibatkan adik ipar Presiden Joko Widodo. Belum lagi persoalan penggunaan dana perolehan pajak untuk kepentingan pribadi. Upaya untuk menggumpulkan penerimaan pajak melalui amnesti pajak menimbulkan moral hazard. Kasus ini sedang didalami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya besar kita untuk mengurangi kesenjangan seringkali dirusak tindakan koruptif. Ini penyakit yang sudah terjadi sejak zaman Orde Baru.
Upaya kita untuk menggumpulkan sen demi sen pajak, tidak dipakai untuk mendistribusikan kemakmuran, tetapi hanya memperkaya kelompok kepentingan. Reformasi ternyata tidak kunjung membuat kita berubah. Sikap mementingkan diri sendiri tetap begitu kuatnya. Tertangkapnya pelaku korupsi tidak membuat orang jera. Tidak usah heran apabila kemiskinan tidak kunjung bisa dientaskan dan malah semakin parah. Inilah pekerjaan terberat reformasi pajak yang sedang digagas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News