Kutipan dari buku "How the West was Lost" (2011) karya ekonom Zambia, Dambisa Moyo, mencoba mengelupas sejumlah permasalahan ekonomi yang dihadapi negara-negara maju di Barat, khususnya terkait dengan krisis kredit perumahan di AS.
Sebagaimana telah diulas di berbagai media, krisis finansial global yang melanda dunia pada tahun 2007-2008 berawal dari pecahnya 'bubble' (gelembung) akibat banyaknya kredit macet yang disalurkan oleh rakyat AS di
dalam investasi perumahan yang mereka lakukan.
Moyo dengan cerdas mengulas bahwa masyarakat di negeri Paman Sam telah lama terbuai dengan tingkat konsumsi yang diperoleh dari bentuk kredit seperti utang. Ketergantungan terhadap utang dalam aktivitas perekonomian itu juga diperparah dengan kebijakan pemerintah AS yang melonggarkan persyaratan yang dibutuhkan bagi seseorang untuk mendapatkan kredit perumahan.
Hal itu menguak sejak kebijakan era Presiden George W Bush yang melonggarkan persyaratan kredit perumahan agar rakyat yang dipimpinnya dapat mewujudkan 'American Dream' (Impian Amerika) dengan bisa membeli
tempat tinggal.
Tentu saja, kebijakan yang mempermudah seseorang mendapatkan rumah merupakan hal yang baik. Akan tetapi, bila dilakukan dengan cara memberikan utang yang tanpa memperhitungkan kemampuan sang pembayar, tentu saja hal itu berpotensi berujung kepada kegagalan kredit.
"Nearly everyone can go on fancy holidays, buy a new car and live in an enviable home; but the mountain of debt they need to do these things show the true state of their finances," tulis Moyo yang meraih gelar PhD dalam bidang ilmu Ekonomi dari Universitas Oxford, dan gelar pascasarjana dari Universitas Harvard itu.
Hal itu juga diperparah dengan kerapnya orang menggunakan kartu kredit untuk membeli barang apa pun, bahkan terkadang didukung oleh kebijakan pemerintah yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, makin banyak terjadi pembelian di suatu negara akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Dengan kondisi utang yang terus dilakukan masyarakat, tidak mengherankan gelembung kredit yang disebut krisis 'subprime mortgage' mulai pecah di AS pada tahun 2007.
Dua perusahaan swasta yang ditugaskan pemerintah AS untuk mempermudah warganya memperoleh rumah, yaitu Freddie Mac dan Fanny Mae, terpaksa dinasionalisasi. Parahnya lagi, krisis tersebut juga berimbas ke semua
sektor perekonomian sehingga pemerintah AS juga terpaksa menggulirkan dana talangan (bail out).
Dana talangan itu sendiri berasal dari jerih payah pajak rakyat yang dikumpulkan pemerintah AS, kemudian dikucurkan ke korporasi-korporasi besar untuk membantu mempertahankan operasional mereka yang nyaris kolaps akibat krisis tersebut.
Tentu saja, "ancaman" yang diberikan oleh korporasi-korporasi besar adalah bila mereka tidak dibantu, akan mematikan banyak lapangan pekerjaan, atau sama saja dengan memecat banyak pegawai yang bekerja di perusahaan mereka.
Krisis finansial itu berimbas pula pada kondisi perekonomian di dunia sehingga membuat banyak negara memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang mendekati 0 persen atau bahkan ada yang negatif hingga mengalami resesi.
Indonesia (seperti halnya Tiongkok dan India) termasuk yang dapat menunjukkan kinerja yang baik di tengah krisis ekonomi global dengan menunjukkan tingkat pertumbuhan di atas lima persen per tahun.
Satu hal yang layak dicermati adalah, salah satu akar penyebab dari krisis finansial global itu adalah berawal dari dilonggarkannya persyaratan dalam mendapatkan kredit perumahan di AS. Di Indonesia sendiri pada saat ini juga masih kerap ditemui seseorang yang membeli rumah atau unit apartemen hanya untuk alasan investasi, yang tentu saja diperbolehkan secara hukum.
Namun, yang mesti diingat pula adalah pembelian perumahan yang diperoleh dengan cara utang, misalnya dengan melalui kredit pemilikan rumah (KPR), juga harus dapat dipastikan agar dapat terbayar dengan lancar dan tidak macet. Untuk itu, peran pemerintah dalam mengawasi dengan terperinci hal tersebut juga mesti dipastikan berjalan dengan baik. Hal itu dapat dilakukan, antara lain dengan memastikan bahwa segala sesuatu tidak diserahkan kepada mekanisme pasar, apalagi yang bergantung pada aliran utang.
Belajar dari Singapura Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghada mengemukakan bahwa Indonesia bisa belajar dari Singapura yang memiliki Housing Development Board (Dewan Pembangunan Rumah) yang merupakan organ pemerintah dengan fungsi membangun flat atau hunian vertikal bagi masyarakatnya. Dengan demikian, di Singapura, terdapat lembaga pemerintah yang benar-benar membangun dan tidak hanya sebatas institusi yang hanya membuat peraturan, kemudian hanya mengawasi dan menyerahkan sepenuhnya pembangunan perumahan kepada pihak perusahaan swasta.
"Ini yang bisa mengendalikan harga flat tersebut. Dan semua dibangun oleh pemerintah bukan swasta. Karena dengan diserahkannya kepada pihak swasta, motif bisnis dan komersial akan kental terasa dalam kenaikan harga yang ada, dan kita tidak dapat menyalahkan pengembang karena memang mereka berbisnis. Peran pemerintahlah yang harus hadir disini," tutur Ali.
Untuk itu, pemerintah juga diminta jangan sampai telat dalam membangun hunian vertikal terutama di wilayah perkotaan karena jumlah populasi yang terus meningkat serta harga tanah yang makin lama kian melambung. Menurut Ali, dengan harga tanah yang tinggi, memaksa para pengembang untuk membangun gedung secara vertikal, termasuk membangun apartemen.
Namun, kata dia, sangat disayangkan bahwa masih sangat sedikit apartemen yang sesuai dengan daya beli kaum pekerja di perkotaan. Dengan kondisi saat ini, para pekerja seperti di Jakarta terpaksa harus membeli rumah di daerah pinggiran Ibu Kota yang jaraknya juga tidak bisa dibilang dekat, atau mengontrak/menyewa di Jakarta.
Sebelumnya, Indonesia Property Watch meminta pemerintah dapat memanfaatkan aset tanah idle (telantar atau tidak dimanfaatkan sepenuhnya) yang dimiliki oleh berbagai BUMN untuk dapat digunakan dalam program pembangunan perumahan. Berdasarkan data Indonesia Property Watch, diperkirakan masih terdapat Rp590 triliun atau sebesar 18 persen dari total aset BUMN merupakan aset yang idle dan belum dimanfaatkan atau yang masih mempunyai permasalahan (biasanya masalah legal).
Dengan aset sebesar itu, kata dia, paling tidak terdapat 60.000 hektar tanah milik BUMN yang idle dan sebagian dapat dimanfaatkan untuk perumahan rakyat. "Namun, tentunya memang tidak semudah itu karena banyak tanah yang masih bermasalah dan yang penting harus ada keikhlasan BUMN untuk menyerahkan tanah-tanahnya," katanya.
Selain itu, dia juga berpendapat bahwa tanpa adanya perintah dari Presiden, BUMN dinilai tidak akan berani untuk menyerahkan begitu saja aset tersebut karena sangat sensitif terhadap audit-audit yang dilakukan.
Ali mengungkapkan hal itu sebenarnya sudah dilakukan ketika program 1.000 menara rusunami diluncurkan pada tahun 2007. Pada waktu itu relatif banyak aset BUMN yang diserahkan ke Kementerian Perumahan Rakyat. Namun, pada saat itu ternyata relatif banyak aset tersebut yang masih bermasalah terkait dengan legalitasnya.
Pemerintah tampaknya masih memiliki segudang pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan, terutama bila program satu juta rumah setiap tahunnya mau benar-benar sukses dan benar-benar memecahkan persoalan kekurangan
perumahan di Tanah Air tanpa perlu mengorbankan aktivitas perekonomian bangsa secara keseluruhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id