Suryopratomo. (FOTO: MI/Panca Syurkani)
Suryopratomo. (FOTO: MI/Panca Syurkani)

Turki Terhuyung

15 Agustus 2018 18:19
TERBAYANG bagaimana sibuknya pemerintahan Turki hari-hari ini. Tekanan perdagangan yang harus dihadapi dari AS membuat perekonomian mereka terhuyung. Aliran modal yang sebelumnya deras masuk ke negeri itu, kini mulai berbalik arah. Mata uang lira pun terjerembap dengan depresiasinya sudah lebih dari 40 persen.
 
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan boleh mengajak negara-negara Eropa untuk tidak menjadikan dolar AS sebagai mata uang rujukan dunia. Namun, keputusan seperti itu tidak bisa diputuskan sendiri. Apalagi AS pun pasti tidak mau kehilangan hegemoni atas mata uang mereka.
 
Peraih Hadiah Nobel Ekonomi Paul Krugman memang menyebutkan adanya ketidakadilan dalam sistem mata uang dunia. Sementara negara lain harus berjuang dengan fluktuasi nilai tukar yang selalu bergejolak, AS menjadi satu-satunya negara yang tidak pernah terimbas karena mata uang yang mereka pergunakan ialah dolar AS.

Krugman menunjuk banyak negara akhirnya menjadi korban dari gejolak nilai tukar. Salah satunya ia sebut pengalaman Indonesia pada krisis keuangan 1997. Utang Indonesia yang sebelumnya masih di bawah 60 persen dari produk domestik bruto tiba-tiba melonjak menjadi 170 persen dari PDB hanya karena penurunan nilai mata uang yang tajam dalam beberapa bulan.
 
Hari-hari ini pekerjaan rumah Erdogan menjadi lebih berat karena ia harus mengendalikan kepanikan publik. Ketidakpercayaan pasar terhadap perekonomian Turki bisa memperburuk keadaan. Namun, langkah penyelamatan harus segera dilakukan karena setiap hari keadaan bisa menjadi lebih buruk.
 
Krugman mengatakan langkah yang harus segera ditempuh ialah menstabilkan nilai mata uang lira. Salah satu langkah yang biasanya dilakukan ialah menaikkan tingkat suku bunga. Namun, kebijakan itu bisa menciptakan persoalan baru karena akan menyebabkan kredit macet dan dampaknya berpengaruh terhadap sistem perbankan.
 
Indonesia pernah merasakan pahitnya salah resep yang diberikan Dana Moneter Internasional. Usul IMF untuk menutup 48 bank dan kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan suku bunga sampai 80 persen justru memperburuk keadaan. Perusahaan-perusahaan pun bertumbangan karena tercekik oleh tingginya tingkat suku bunga.
 
Oleh karena itu, Krugman lebih condong untuk mengikuti langkah yang pernah dilakukan Malaysia, yaitu diterapkan kebijakan kontrol devisa untuk sementara waktu. Langkah itu setidaknya efektif untuk mencegah berkembangnya spekulasi yang semakin memurukkan nilai tukar. Langkah lain yang perlu dilakukan ialah menghentikan pinjaman luar negeri.
 
Namun, dalam kasus Turki sekarang ini, keadaannya menjadi bertambah rumit karena adanya unsur nepotisme. Penunjukan menantu Erdogan sebagai menteri keuangan menurunkan kredibilitas pemerintah. Itulah yang membuat warga Turki tidak sepenuhnya mendukung langkah Erdogan untuk menyelamatkan perekonomian negaranya.
 
Satu yang dikhawatirkan dari krisis yang dihadapi Turki ialah dampaknya yang menular. Sekarang ini seluruh dunia merasakan tekanan pada nilai tukar mata uang mereka. Hal yang sama terjadi di pasar modal karena indeks harga saham berada pada zona merah.
 
Indonesia pun tidak terkecualikan dari terkena dampak krisis yang terjadi di Turki. Nilai tukar rupiah bahkan sempat menembus angka Rp14.600 per USD. Sementara itu, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia tertekan sampai di bawah 5.800.
 
Memang, ada koinsiden ketika krisis yang tengah melanda Turki bersamaan dengan laporan Bank Indonesia tentang kondisi neraca transaksi berjalan. Defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal II meningkat tajam hingga mencapai USD8 miliar. Dengan tambahan defisit itu, defisit neraca transaksi berjalan pada semester I sudah di atas USD13 miliar. Inilah yang membuat pasar nervous dan akibatnya nilai tukar rupiah ikut tertekan.
 
Pemerintah perlu berhati-hati dengan keadaan ini. Apalagi BI sudah memperingatkan, kalau pemerintah tidak pandai menjaga belanja dan neraca keuangan, defisit neraca transaksi berjalan pada tahun ini bisa mencapai USD25 miliar.
 
Presiden Joko Widodo sudah tepat menghentikan proyek infrastruktur yang tidak mendesak dan dibiayai dari pinjaman. Pemerintah harus mengendalikan pinjaman luar negeri karena akan semakin menekan neraca pembayaran. Selama ini badan usaha milik negara terlalu berani mencari pinjaman luar negeri untuk membiayai proyek-proyek mereka. PT Jasa Marga dan PT Wijaya Karya mengeluarkan komodo bond di Bursa London masing-masing Rp4 triliun dan Rp5,4 triliun dengan bunga 7,5 persen dan 7,7 persen.
 
Penawaran obligasi di luar negeri memang terlihat prestisius dan menggambarkan tingginya kepercayaan asing kepada Indonesia. Tidak mengherankan apabila PT Perusahaan Listrik Negara, PT Telkom Indonesia, dan PT Hutama Karya bersiap-siap untuk ikut menjual obligasi. Namun, dengan kondisi global seperti sekarang, eksposur utang luar negeri yang berlebihan akan membahayakan perekonomian nasional. Inilah yang harus kita hindari bersama. (Podium/Media Indonesia)
 
Suryopratomo
Dewan Redaksi Media Group

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan