Realistis, merujuk KBBI Daring memiliki arti bersifat nyata atau bersifat wajar. Artinya, dalam penyusunan APBN harus merujuk pada hal-hal yang realistis dengan melihat situasi dan kondisi perekonomian dalam negeri dan perekonomian dunia. Menjadi aneh manakala target asumsi makro yang ditetapkan tidak realistis dengan menetapkan target pertumbuhan yang begitu tinggi.
Di awal jabatannya sebagai Presiden, Joko Widodo (Jokowi) tampak optimistis dengan berbagai programnya yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi di batas maksimal. Tak main-main, target pertumbuhan ekonomi di angka tujuh persen dipatok oleh mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Optimistis yang muncul di tengah perlambatan ekonomi di awal 2015 itu seakan menjadi 'surga' bagi masyarakat Indonesia.
Sayangnya, upaya Presiden Jokowi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara maksimal tak mampu melawan perlambatan ekonomi yang semakin menjadi-jadi. Fundamental ekonomi yang rapuh membuat ekonomi Indonesia terbawa arus perlambatan ekonomi dunia. Bahkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) terus melemah dari waktu ke waktu.
Sekarang ini, terpantau nilai tukar rupiah "betah" di atas Rp13.300 per USD. Belum ada pergerakan yang mampu membawa nilai tukar rupiah kembali di bawah Rp13.300 per USD. Tak hanya rupiah, kinerja ekspor pun tidak menggembirakan dan justru kinerja impor yang semakin menggila dan membuat defisit transaksi berjalan semakin membengkak.
Penurunan harga komoditas dunia sejak 2014 dan berlangsung hingga sekarang turut membuat kinerja ekspor sulit kembali naik. Di sisi lain, diversifikasi barang ekspor belum dilakukan secara signifikan oleh pemerintah. Pemerintah justru "memanjakan" rakyat Indonesia dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang tidak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Para pengusaha, terutama mereka yang bisnisnya terkait dengan komoditas, sumber daya alam, pun mengeluh habis-habisan. Hal ini diperparah dengan perlambatan ekonomi pada kuartal I-2015 yang hanya mencapai 4,7 persen. Perlambatan pun diperkirakan terus terjadi dan membuat kekhawatiran tersendiri bagi para pengusaha.
Belum lama ini, sejumlah lembaga dan mereka yang kompeten di bidang ekonomi telah melakukan revisi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Revisi dilakukan seiring dengan kondisi perekonomian dunia, di mana merujuk data terbaru, ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh 3,3 persen dari perkiraan semula 3,5 persen.
Asian Development Bank (ADB) merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2015 menjadi lima persen. Revisi dilakukan lantaran rendahnya kontribusi pemerintah, tertundanya dampak positif dari reformasi ekonomi, dan pemulihan kinerja ekspor yang mengalami penundaan karena terus menurunnya harga komoditas dan melemahnya pertumbuhan di berbagai mitra utama perdagangan Indonesia.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2015 hanya tumbuh lima persen atau lebih rendah dibandingkan perkiraan semula yang sebesar 5,3 persen. Revisi penurunan dipicu dari realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2015 yang hanya tumbuh 4,7 persen.
Bank Indonesia juga ikut merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5,1 persen. Namun, BI masih memiliki rasa optimistis indikator ekonomi akan membaik dan nantinya mengerek pertumbuhan ekonomi di level yang diinginkan semua pihak.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 akan mencapai 5,2-5,3 persen, atau sedikit lebih rendah dibandingkan target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang sebesar 5,4 persen.
Istana merespons situasi dan kondisi ekonomi Indonesia dengan menurunkan sedikit optimistisnya dengan memperkirakan ulang angka pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan dalam APBNP 2015 yang sebesar 5,7 persen menjadi di kisaran 5,2 persen di batas bawah dan 5,3 persen di batas atas. Namun, cukupah hal tersebut untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi?
Dalam menyusun APBN, banyak kalangan menilai pemerintah tidak melihat kualitas dari pertumbuhan ekonomi, yang terlihat dari mengecilnya gini ratio atau mengecilnya jembatan kesenjangan antara si kaya dan si miskin termasuk juga tertekannya jumlah pengangguran dan berkurangnya secara drastis angka kemiskinan.
Saat berbicara dengan sejumlah pengamat ekonomi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Presiden Jokowi kembali menekankan keyakinannya terhadap perekonomian Indonesia. Akan tetapi, keyakinannya ini seiring dengan berjalannya reformasi struktural.
Presiden Jokowi, termasuk para menteri-menteri, yang sekarang ini sering menangkis bila diserang soal kinerja ekonomi Indonesia yang tak sesuai harapan menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan "mesin baru" untuk mendorong perekonomian, yakni tidak lagi konsumsi tapi ke produksi. Tak dipungkiri sudah terlihat dari alokasi besar-besaran subsidi BBM ke pembangunan infrastruktur. Sayangnya, hal ini berlaku dalam konteks jangka panjang karena pembangunan infrastruktur membutuhkan proses.
Terlepas dari itu semua, sebetulnya optimisme adalah "mesin baru" yang sebenarnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, tidak hanya berbicara soal pertumbuhan tapi juga berbicara soal kualitas sehingga berdampak kepada tingkat kesejahteraan secara merata yang seutuhnya. Optimisme ini harus muncul dari pemerintah, pengusaha, dan rakyat.
Jumlah penduduk yang begitu besar dan banyaknya sumber daya manusia yang kompeten ditambah kekayaan sumber daya alam yang melimpah sebenarnya peluang untuk Indonesia menjadi pusat ekonomi di kawasan ASEAN. Itu mengapa banyak negara membidik potensi ekonomi Indonesia menjelang dibukanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir 2015.
Ketua Tim Peneliti dari National University of Singapore Tan Khee Gian menyebut, pada 2030 Indonesia akan masuk ke dalam tujuh negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Indonesia memiliki kekuatan yang sangat besar di kawasan ASEAN dan merupakan negara yang masuk dalam sepuluh besar negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar.
Seiring dengan perkembangan ekonomi yang besar di Indonesia, diharapkan Pemerintah Indonesia melakukan berbagai persiapan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jika tidak, setiap penyusunan asumsi makro ekonomi di APBN akan tetap menetapkan angka yang tinggi, dan selanjutnya disusun APBNP untuk melakukan revisi asumsi makro tersebut dengan dalih situasi dan kondisi ekonomi tengah tidak menentu.
Jika realistis tidak ditekankan, lalu hal apa yang perlu ditekankan dalam menyusun asumsi makro, termasuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penyusunan dan penetapan target pertumbuhan ekonomi serta asumsi makro lainnya yang realistis memiliki dampak dan stimulus yakni optimisme menyongsong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik lagi di tahun-tahun mendatang. Itulah mengapa harus realistis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News