Pemerintah menetapkan asumsi harga minyak mentah Indonesia USD48 per barel dalam APBN 2018. Namun, sejak APBN 2018 disetujui pada 25 Oktober 2017 silam, harga minyak dunia belum pernah kembali ke posisi USD48 per barel dan kini trennya justru menguat dari waktu ke waktu. Kondisi ini memang bisa membawa keuntungan tapi di sisi lain perlu diwaspadai.

Sumber: Bloomberg
Mengutip situs Bloomberg, Jumat, 26 Januari 2018, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret, menetap di USD65,51 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Maret ditutup pada USD70,42 per barel di London ICE Futures Exchange.
Meski kenaikan harga minyak mentah dunia bisa menguntungkan bisnis minyak di sisi hulu, namun pemangku kepentingan ekonomi jangan sampai lupa bahwa Indonesia adalah net importir Bahan Bakar Minyak (BBM). Artinya, pemerintah diminta tidak melihat secara parsial kenaikan harga minyak dunia hanya menguntungkan atau menyehatkan APBN.

Jika melihat postur APBN 2018, alokasi anggaran untuk subsidi BBM ditetapkan sangat minim seiring dengan adanya realokasi anggaran subsidi ke anggaran infrastruktur. Namun, disparitas asumsi harga minyak Indonesia dengan harga minyak dunia sekarang ini patut diwaspadai karena menjadi pertanyaan mengenai beban tersebut akan ditanggung oleh siapa.
Apakah beban itu ditanggung masyarakat dalam artian harga BBM naik, yang tentunya kondisi itu memberikan tekanan dan membuat daya beli masyarakat melemah. Di kuartal III-2017, konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat melemah pertumbuhannya jadi 4,93 persen. Risiko lainnya adalah popularitas pemerintah akan turun.
Opsi lainnya adalah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk menanggung sebagian atau keseluruhan selisih harga tersebut. Risikonya, kinerja keuangan terganggu sehingga keuntungan tergerus dan sisi lainnya setoran dividen ke pemerintah turut berkurang.

Sumber: Kementerian Keuangan
Pilihan lainnya adalah pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke Pertamina jika keputusan yang diambil adalah menugaskan Pertamina untuk menanggung beban selisih harga minyak tersebut. Atau bisa saja kombinasi ketiganya dilakukan untuk mendapatkan win-win solution.
Pemerintah Harus Punya Respons
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pemerintah harus punya respons atas kenaikan harga minyak dunia sekarang ini. Apalagi, kenaikan itu membuat ada ketidaksesuaian dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia di APBN 2018. Pemerintah, lanjutnya, harus memberikan kepastian.
Kalkulasi yang sangat rinci diperlukan terutama menjabarkan plus dan minus dari kebijakan yang akan diambil. "Kami pun tidak merekomendasikan. Tapi, ini pilihan yang harus ditetapkan pemerintah. Kalau dibiarkan mengambang maka interpretasi bisa terjadi dan memicu ketidakpastian," kata Enny, saat saat ditemui Medcom.id, di Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.

Mengutip hasil riset Indef bertajuk 'Mewaspadai Gejolak Pangan dan Energi 2018' diungkapkan bahwa interelasi APBN dengan gejolak harga minyak dunia mungkin mulai mengecil seiring pemangkasan subsidi BBM, namun risiko ekonomi tetap akan muncul dan sifatnya langsung dihadapi oleh masyarakat.
Artinya, meski APBN tidak akan 'jebol' gara-gara kenaikan harga minyak dunia -bahkan berdampak positif dalam simulasi sensitivitas APBN 2018- namun tidak ada jaminan bahwa daya beli masyarakat tidak akan turun karena gejolak harga minyak dunia sepenuhnya diteruskan ke konsumen. Hal ini tentu menjadi dilematis lantaran daya beli tengah digenjot kembali.

Berdasarkan laporan terbaru bulanan dari Badan Energi Internasional (IEA) disebutkan Amerika Serikat (AS) berada pada posisi yang tepat untuk menyalip negara-negara seperti Arab Saudi dan Rusia sebagai produsen energi terkemuka dalam 12 bulan ke depan. "Tahun ini menjanjikan untuk AS mencetak rekor," ungkap IEA, dalam laporannya.
Laporan bulanan terbaru dari IEA datang pada saat harga minyak mentah berjangka naik ke level tertinggi yang tidak terlihat sejak kemerosotan awal pada Desember 2014. "Apa yang ingin kita pahami adalah respons dari produsen serpih AS," kata Kepala Divisi Industri Minyak dan Pasar IEA Neil Atkinson.

Dalam kajiannya, Indef melihat ada indikasi AS terus berupaya agar harga minyak yang diproduksi tetap kompetitif termasuk menetapkan harga shale gas. Kondisi ini yang dinilai Indef akan membuat harga minyak dunia terus berada di jalur menguat. Meski tidak ditampik, sulit bagi harga minyak dunia bisa kembali menembus level USD100 per barel.
"Harga minyak dunia tidak akan menyentuh USD100 per barel karena ada keberhasilan Pemerintah Amerika menghasilkan shale gas. Tapi, tren pertumbuhan ekonomi dunia membaik dan AS tidak akan membiarkan harga minyak dunia rendah. Di sini, harus ada langkah segera yang aktif dari Pemerintah Indonesia," kata Ekonom Indef Berly Martawaday.
Kenaikan Harga Minyak Dunia Bisa Menimbulkan Gejolak
Melihat gambaran tersebut maka bisa ditarik kesimpulan kenaikan harga minyak dunia mampu memberikan keuntungan tapi di sisi lain justru menimbulkan gejolak bila tidak ada antisipasi secepat mungkin guna menekan risikonya terhadap laju perekonomian. Setidaknya, kepastian kebijakan yang diambil pemerintah penting untuk menekan ketidakpastian.
Hal ini yang sepertinya mendasari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengevaluasi harga BBM jenis premium penugasan dan solar subsidi. Tidak dipungkiri, evaluasi harus dilakukan lantaran disparitas asumsi dengan kondisi sekarang sudah terlalu jauh dan belum ada sinyal harga minyak dunia kembali ke level USD48 per barel.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku, satu tantangan tersendiri bahwa pemerintah telah sepakat tidak naikkan harga premium penugasan dan solar subsidi hingga tiga bulan kedepan, sementara harga minyak dunia terus menunjukkan peningkatan dikisaran USD60 per barel.
"Apakah di pertengahan Maret kita perlu lakukan penyesuaian atau tidak? Memang menjadi tantangan besar harga minyak dunia (sekarang ini) bergerak di atas USD60 per barel," kata Jonan, Kamis malam 25 Januari 2018.
Seperti diketahui harga jual premium penugasan sebesar Rp6.450 per liter dan solar subsidi Rp5.150 per liter tidak akan mengalami perubahan sampai 31 Maret 2018. Keputusan itu sejalan dengan ketetapan Kementerian ESDM saat mengumumkan harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi tidak naik hingga 31 Maret 2018 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2018.
Adapun pemerintah tidak mengubah harga tersebut sejak tahun lalu dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, meski tidak ditampik keputusan itu diambil di tengah tren harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Ini tentu menjadi satu tantangan yang perlu pemerintah pahami.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News