Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Tantangan Energi Panas Bumi di Indonesia

19 Agustus 2016 08:59
PRABU Kresna Dipayana atau yang lebih dikenal dengan Begawan Abiyasa selalu mengingatkan cucunya para Pandawa sebelum mengangkat pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan Amarta.
 
Para pembantu pandawa harus memiliki tiga hal pokok. Satria tersebut harus tangguh, tanggap, dan tanggon. Tangguh artinya satria tersebut harus mengerti permasalahan yang dihadapi.
 
Tanggap, ia harus pandai dan cakap, sedangkan tanggon berarti pantang mundur dalam menghadapi persoalan.

Presiden Jokowi telah memberhentikan dengan hormat Arcandra Tahar dari jabatan Menteri ESDM yang baru diduduki kurang dari sebulan. Publik tadinya berharap menteri dari Texas itu mampu mengubah road map energy Indonesia seperti road map energy Amerika.
 
Adanya booming shale gas di Amerika ternyata mampu mengubah peta bauran energi 'Negara Paman Sam' tersebut. Dari sebagai pengimpor energi, sekarang Amerika menjadi negara penjual energi ke negara lain.
 
Dengan memanfaatkan inovasi teknologi, Amerika mampu menekan biaya eksplorasi minyak dan gas sehingga biaya energi bisa lebih murah dan lebih efisien. Posisi menteri ESDM saat ini dijabat dan dirangkap Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam melihat semakin kompleksnya permasalahan energi nasional kita, Presiden harus segera mencari menteri ESDM definitif.
 
Setidaknya saat ini ada tiga tantangan bagi menteri baru ESDM untuk mengembangkan energi alternatif di Indonesia, khususnya energi yang berasal dari panas bumi atau geotermal.
 
Pertama, biaya eksplorasi panas bumi yang mahal sehingga tidak menarik lagi bagi investor untuk menanamkan invetasi di sektor panas bumi. Kedua, semakin murahnya harga energi fosil yang menjadikan energi panas bumi stagnan untuk dikembangkan sebagai energi alternatif.
 
Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengurangi emisi CO2 membuat investasi di bidang energi alternatif sebagai energi yang ramah lingkungan kurang mendapat perhatian. Indonesia memiliki potensi energi panas bumi cukup besar, yakni sekitar 27 ribu Mw. Sayangnya dari jumlah tersebut baru sekitar 1.300 Mw yang dapat dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
 
Energi listrik yang berasal dari panas bumi termasuk energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. Sumber energi panas bumi tidak akan habis untuk anak cucu kita dan tersebar di wilayah Nusantara. Hambatan untuk pengembangan energi listrik panas bumi di Indonesia antara lain biaya eksplorasi masih cukup tinggi.
 
Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 Mw listrik yang berasal dari panas bumi, diperlukan biaya sekitar USD3 juta, atau setara Rp40 miliar. Biaya tersebut termasuk pembebasan lahan, biaya infrastruktur, biaya pengeboran sumur, dan servis penunjang lainnya.
 
Sementara itu, risiko biaya eksplorasi panas bumi relatif masih tinggi sehingga tidak menarik bagi investor maupun perbankan untuk membiayai pengembangan energi alternatif ini. Dari total 1.300 Mw listrik panas bumi yang sudah dibangun, sebagian besar dibangun swasta asing yang padat modal dan biaya sendiri.
 
Pertamina Geothermal Energi (PGE) yang diharapkan menjadi lokomotif pengembangan energi panas bumi di Indonesia baru mampu membangun sekitar 550 Mw. Ini membuktikan pengembangan energi terbarukan oleh pemerintah masih setengah hati, sedangkan rencana korporasi PLN untuk mengambil alih Pertamina Geotermal Energi masih menuai pro dan kontra.
 
Apakah aksi korporasi ini akan mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia atau malah sebaliknya?
 
Kalau tujuannya hanya menaikkan daya tawar dan leverage PLN, langkah ini akan mematikan perusahaan pengembang panas bumi lainnya karena sebagai single buyer listrik panas bumi di Indonesia, PLN dengan mudah menawar semurah mungkin tarif listrik panas bumi.
 
Dengan demikian, bisnis panas bumi tidak menarik lagi. Bukan tidak mungkin pemain-pemain panas bumi yang sudah investasi di usaha panas bumi bakal hengkang dari Indonesia.
 
Akan tetapi, kalau tujuannya memperpendek jalur birokrasi pembelian listrik panas bumi dan saling mengisi kekurangan masing-masing, rencana akuisisi PGE oleh PLN justru bisa mendorong bisnis panas bumi di Indonesia.
 
Dalam kurun dua tahun terakhir ini, harga minyak bumi terus merosot.
 
Harga minyak bumi saat ini berkisar di harga USD40 per barel. Banyak negara penghasil minyak bumi jadi kolaps ekonominya, seperti Venezuela yang sudah diambang kebangkrutan. Bahkan bank-bank sudah tidak mau lagi membiayai eksplorasi minyak bumi.
 
Semakin murahnya harga energi yang berasal dari fosil akan mengancam pengembangan energi alternatif. Kelebihan energi fosil saat ini selain murah, energi fosil mudah dieksplorasi. Kelebihan lain, energi fosil mudah dikemas dan dikonversi ke energi lain.
 
Akan tetapi, konsumsi energi fosil yang tinggi akan meningkatkan emisi CO2, sedangkan tingginya emisi karbon akan berpengaruh pada perubahan iklim dan lingkungan.
 
Sonia Labatt dalam bukunya Carbon Finance mengatakan dampak dari emisi CO2 yang tinggi akan menggerus sekitar 20 persen dari global gross domestic product (GDP). Karena itu, kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mencegah kerusakan lingkungan sangat penting.
 
Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu dan bekerja sama untuk mendorong penggunaan energi alternatif yang rendah mengemisikan CO2. Sebagai gambaran, masyarakat Selandia Baru negara yang sudah maju dalam pemanfaatan energi panas bumi, rela membayar dengan harga tinggi untuk pemakaian listrik yang berasal dari panas bumi.
 
Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan patut kita contoh. Para petani di Selandia Baru akan melarang pengeboran eksplorasi yang menggunakan mesin bor yang tidak kedap suara karena suara berisik dari pengeboran eksplorasi panas bumi di wilayah pertanian akan mengganggu ekosistem burung sehingga dikhawatirkan itu akan mengganggu proses penyerbukan tanaman.
 
Teknologi pengeboran kedap suara untuk pengeboran panas bumi di Selandia Baru sangat popular. Listrik yang ramah lingkungan tersebut dijual dengan sedikit mahal ke masyarakat. Masyarakat Selandia Baru pun bisa menerimanya, sedangkan fungsi pemerintah hanya menyediakan jaringan listrik.
 
Pemasok listrik ramah lingkungan dari masyarakat maupun pihak swasta. Menteri ESDM sebelumnya, Sudirman Said, memiliki program percepatan eksplorasi panas bumi untuk mewujudkan program energi yang ramah lingkungan. Walaupun belum berjalan sesuai dengan harapan, program tersebut sudah menyadarkan kita tentang pentingnya menggunakan energi terbarukan untuk anak cucu kita nanti.
 
Saya kenal baik dengan mas Dirman saat sama-sama mengambil master degree di School of Public Business Management, George Washington University, Washington DC. Bagi Mas Dirman, urusan idealisme dan visi kebangsaan tidak perlu diragukan lagi. Apalagi, untuk kepentingan masyarakat banyak, Sudirman akan gigih memperjuangkannya.
 
Kalau Sudirman Said telah berhasil meletakkan dasar-dasar reformasi birokrasi di ESDM dalam rangka efisiensi, kita berharap menteri ESDM yang baru mampu menjawab tantangan energi alternatif, khususnya energi panas bumi di Indonesia.
 
Rohmad Hadiwijoyo
Dalang dan Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang (Undip)

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan