Yustinus Prastowo. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Yustinus Prastowo. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Seri Mengenal Panama Papers (III): Beneficial Ownership

06 Mei 2016 13:09
PADA 4 April 2016, dunia digemparkan dengan adanya pemberitaan mengenai bocoran dokumen yang lebih dikenal dengan sebutan "Panama Papers". Dokumen ini menyajikan informasi tentang berbagai pemimpin negara, pejabat dan petinggi politik, pebisnis, olahragawan, hingga professional yang menggunakan jasa firma hukum Mossack Foncesa di Panama untuk kepentingan bisnis, penyamaran kepemilikan, maupun penghindaran pajak.
 
Bagian sebelumnya telah dibahas mengenai Tax Haven serta Tax Avoidance Vs Tax Evasion. Pada kesempatan kali ini, kami akan mengulas istilah beneficial ownership sebagai salah satu konsep penting dalam rangkaian seri "Mengenal Panama Papers".
 
Apa itu Beneficial Ownership?

Terdapat beberapa pendapat tentang beneficial owner (BO). Menurut Vogel, BO adalah mereka yang memiliki hak untuk menentukan apakah suatu modal atau kekayaan harus dimanfaatkan bagi orang lain atau menentukan bagaimana hasil dari modal atau kekayaan itu dimanfaatkan. Sedangkan menurut Herman LJ (2010), BO adalah kepemilikan yang tidak hanya sebatas terdaftar secara hukum sebagai pemilik, melainkan memiliki hak untuk mengambil keputusan akan apa yang akan dilakukan terhadap benda yang dikuasai itu. Lebih lanjut, Olivier, Libin, Weeghel, dan Toit (2000) menyatakan bahwa konsep BO merupakan ketentuan yang penting dalam menentukan apakah suatu subjek pajak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif pajak atas penghasilan royalti, dividen, dan bunga.
 
Konsep BO pertama kali digunakan pada 1966 dalam protokol perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B, tax treaty) antara UK dengan USA. Sedangkan dalam OECD Model, konsep tersebut pertama kali dinyatakan dalam OECD Model 1977 terkait dengan pasal 10 (dividen), pasal 11 (bunga), dan pasal 12 (royalti).  Akan tetapi, sejak dicantumkan untuk pertama kalinya di 1977 dalam OECD Model, konsep BO sampai saat ini masih belum jelas. Ketidakjelasan terebut disebabkan karena konsep BO tidak diberikan definisinya dalam pasal-pasal OECD Model dan hanya dijelaskan secara terbatas dalam OECD Commentary dan OECD Conduit Companies Report di 1986.
 
Bagaimana Pendekatan terhadap Beneficial Ownership?
 
Secara umum terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam mengartikan konsep beneficial owner, yaitu pendekatan legal dan ekonomi. Jain (2013) menyatakan dalam sudut pandang legal, perusahaan dan pemegang saham dilihat secara terpisah karena secara entitas hukum, perusahaan tersebut ada sebagai bagian yang terpisah dari pemegang saham mereka. Oleh karena itu, perusahaan dapat menjadi beneficial owner atau bukan, tergantung dari seberapa besar wewenangnya terhadap penghasilan yang diterimanya.
 
Sedangkan dengan pendekatan ekonomi, perusahaan conduit tidak akan menjadi pemilik sebenarnya dan dianggap hanya sebagai matrix arrangement karena perusahaan dimiliki oleh pemegang saham dan dipandang sebagai satu kesatuan sehingga yang menikmati adalah pemegang saham. Jimenez (2011) mengatakan bahwa BO dalam perspektif P3B merupakan isu legal. Dengan menggunakan pendekatan legal, pihak-pihak yang menerima penghasilan dapat ditelusuri berdasarkan fakta. Sedangkan jika mengunakan pendekatan ekonomi, analisis konsep BO menjadi sangat luas dan tidak menciptakan kepastian hukum karena sulit untuk membuktikan siapa yang sebenarnya mendapatkan manfaat penghasilan.
 
Sesuai dengan draf OECD Commentary 2011, pihak yang termasuk BO adalah pihak yang memiliki hak untuk menggunakan dan menikmati penghasilan tanpa dibatasi oleh kontrak atau kewajiban legal untuk meneruskan penghasilan yang diterimanya kepada pihak yang lain. Hal tersebut dapat ditelusuri dengan pendekatan legal seperti menelesuri hak dan kewajiban perusahaan. Ines Hofbaurer (2001) menyebutkan karena hampir seluruh negara yang melakukan P3B menggunakan pedoman OECD Model ataupun UN Model, maka OECD Commentary dan UN dapat menjadi suatu sumber untuk mengintepretasikan istilah yang terdapat di dalam P3B. Dengan demikian konsep BO diartikan berdasarkan pengertian internasional.
 
Mengapa Konsep Beneficial Owner Penting?
 
Konsep beneficial owner sangat penting dalam rangka memberikan batasan yang jelas tentang pihak yang dianggap sebagai penerima fasilitas tarif pajak yang lebih rendah di negara sumber atas penghasilan dividen, bunga, dan royalti. Konsep BO bertujuan untuk menentukan keterkaitan antara penghasilan dividen, bunga dan royalti yang timbul di negara sumber dan subjek pajak di negara lain yang berhak untuk menikmati fasilitas penurunan tarif yang disediakan oleh P3B. Dengan demikian, konsep BO memiliki peranan penting dalam mengartikan pihak yang berhak menggunakan fasilitas penurunan tarif dalam P3B, agar tidak disalahgunakan.
 
Apa itu Treaty Shopping dalam kaitannya dengan Konsep Beneficial Ownership?
 
Treaty shopping adalah suatu skema yang dibuat untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak yang disediakan oleh suatu P3B, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
 
Salah satu ciri treaty shopping adalah adanya agent, nominee, atau perusahaan conduit. Agent adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain. Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum pemilik (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan (beneficial owner).
 
Perusahaan conduit adalah perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.
 
Bagaimana Konsep Beneficial Owner dalam Peraturan Perpajakan di Indonesia?
 
Istilah BO pertama kali diperkenalkan dalam SE-04/PJ.34/2005. Latar belakangnya karena masih adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah wajib pajak luar negeri yang menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai P3B yang paripurna dengan Indonesia, maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif. Sementara menurut P3B yang bersangkutan, wajib pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila wajib pajak tersebut adalah BO dari penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti.
 
SE-04/PJ.34/2005 mengatur:
• BO adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga dan atau royalti baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan tersebut.
• "Special purpose vehicles" (SPV) dalam bentuk "conduit company", "paper box company", "pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian BO.
• Apabila terdapat pihak lain yang bukan merupakan BO dan menerima pembayaran dividen, bunga dan atau royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan dividen, bunga dan atau royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20 persen dari jumlah bruto yang dibayarkan.
 
Konsep BO kemudian diintegrasikan di Pasal 26 ayat (1a) UU PPh No 36 Tahun 2008. PER-25/PJ./2010 jo PER-62/PJ./2009 menegaskan bahwa pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan adalah penerima penghasilan yang bertindak tidak sebagai Agent, tidak sebagai Nominee, dan bukan Perusahaan Conduit.
 
Tak dimungkiri salah satu skema pembentukan SPV adalah untuk melakukan penghindaran pajak, salah satunya dengan treaty shopping. Selain itu, pembentukan perusahaan cangkang di negara suaka pajak juga terindikasi sebagai praktik untuk menyamarkan penerima manfaat yang sebenarnya, karena negara suaka pajak memberikan perlindungan identitas BO. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi Otoritas Pajak Indonesia untuk melakukan pengujian.
 
Oleh:
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis)

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan