medcom.id, Jakarta: Dua partai yang lahir pada masa Orde Baru, yaitu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dirundung konflik internal. Lantaran itu, kedua partai itu bahkan mengalami perpecahan. Boleh dibilang, jika upaya rujuk untuk menyatukan kubu-kubu yang bertengkar tak kunjung terjadi, dua partai ini menuju ke arah keruntuhannya.
Pertikaian dalam tubuh Partai Golkar ditandai dengan munculnya dua kepengurusan hasil kesepakatan penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) di dua tempat yang berbeda. Munas Bali pada November 2014 menetapkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sedangkan Munas tandingan yang diadakan di Ancol, Jakarta, pada Desember 2014 menunjuk Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Hingga kini, kedua kubu itu, baik pihak Agung maupun Ical, masih saling mengklaim sebagai pengurus partai yang sah.
Adapun konflik PPP juga tampak mencolok dengan aksi saling pecat dan memecat antar pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai pada pertengahan April 2014. Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum PPP saat itu mengumumkan pemecatan Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuziy pada siang hari, 18 April 2014. Pemecatan itu dinilai tidak sah, karena tak mengikuti ketentuan Anggaran Rumah Tangga PPP.
Selanjutnya Romy -sapaan Romahurmuziy- bersama pengurus harian DPP lainnya balik memecat SDA -sapaan Suryadharma- pada hari yang sama, namun pengumumannya disampaikan malam pukul 19.30 WIB usai menggelar rapat di kantor DPP PPP, Jakarta.
Meski keduanya berhasil didamaikan atas anjuran dari tokoh "kiai sepuh" yang amat disegani oleh para politisi PPP, yaitu KH Maimoen Zubair, pada Mukernas III yang diselenggarakan di Bogor pada 23-24 April 2014, namun konflik kembali terjadi setelah pelaksanaan Pilpres 2014 yang menghasilkan kekalahan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai calon pasangan presiden dan wakil presiden yang didukung oleh PPP.
Perpecahan PPP kian melebar dengan diadakannya dua Muktamar VIII di dua tempat yang berbeda. Pada 15-17 Oktober 2014, kubu yang berselisih dengan SDA menggelar Muktamar VIII PPP di Surabaya, Jawa Timur. Hasil Muktamar VIII PPP di Surabaya ini mengangkat M. Romahurmuzy-Aunur Rofik selaku Ketua Umum dan Sekjen DPP PPP masa bakti 2014-2019. Namun, pada 30 Oktober 2014 SDA menggelar versi Muktamar VIII-nya di hotel Sahid, Jakarta. Meski peserta yang hadir hanya tujuh dari 33 DPW-DPC se-Indonesia, Muktamar VIII PPP di Jakarta ini mengangkat Djan Faridz sebagai ketua umum partai untuk periode lima tahun mendatang.
Masing-masing kubu di kedua partai itu masih belum berdamai sampai sekarang.
Masing-masing kubu di PPP sudah sering bicara islah, tapi demi keuntungan politik kubunya sendiri.
Adapun upaya islah di Partai Golkar justru menjadi usulan Dewan Pertimbangan yang diabaikan oleh baik kubu Ical maupun kubu Agung.
Baik Golkar dan PPP, menariknya, berupaya keras menarik hati Presiden Jokowi dengan mengatakan akan mendukung pemerintah. Dengan kata lain, Golkar dan PPP ingin ikut dalam koalisi pemerintahan.
Namun, meski pemerintah selalu mengatakan bakal menyambut baik dukungan PPP dan Golkar, tampaknya pemerintah tak terpikat pada rayuan mereka begitu saja. Buktinya, pemerintah belum mau mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang melegalkan susunan DPP kubu Ical maupun juga kubu Djan Faridz sebagai masing-masing pihak yang sedang berada di atas angin saat ini.
Kini, ke mana langkah Partai Golkar dan PPP selanjutnya? Tentu tergantung pada semua pihak yang memiliki kedaulatan dan hak suara di kedua partai itu untuk menyelesaikannya.
Peribahasa tentang dua gajah bertarung, pelanduk mati ditengah-tengah agaknya tepat untuk menggambarkan situasi ini. Para elit di kedua partai berkelahi satu sama lain, namun yang menjadi korban adalah orang kecil.
Menurut Ramlan Surbakti dalam Memahami Ilmu Politik, konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat, yang berarti konflik tidak dapat dihilangkan. Namun, jika konflik dibiarkan berkembang tanpa kendali justru dapat merusak masyarakat dan negara, sehingga harus diambil tindakan nyata yang mampu menyelesaikan konflik sehingga tidak timbul dampak negatif dari konflik.
Pada dasarnya konflik dan parpol adalah dua elemen yang lazim. Hal ini terkait dengan salah satu fungsi parpol sebagai sarana pengelola konflik. Sejatinya dalam negara heterogen yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat yang mengundang konflik lumrah terjadi. Oleh karena itu peran parpol sebagai sarana pendewasaan politik masyarakat sangat dibutuhkan.
Tapi, kondisi saat ini di Golkar maupun PPP menunjukkan hal sebaliknya. Parpol justru menjadi pemantik konflik.
Apakah pecahnya konflik internal seperti yang dialami Partai Golkar dan PPP menunjukkan kegagalan parpol tersebut dalam mengelola konflik yang terjadi? Bisa jadi. Karena, konflik yang dialami oleh kedua partai itu setidaknya menghasilkan beberapa dampak buruk yang mempengaruhi gerak langkah parpol terse0ut.
Pertama, terganggunya kinerja anggota legislatif. Kader parpol yang saat ini sedang menduduki kursi legislatif akan sulit bekerja karena dampak domino dari konflik tersebut. Masalah ini juga bisa berimbas pada perpecahan kekuatan fraksi di parlemen.
Kedua, terganggunya konsentrasi parpol dalam menghadapi pilkada. Dengan adanya konflik internal tersebut, konsentrasi parpol dalam upaya menguasai ranah lokal akan terhambat. Bahkan dengan adanya dualisme kepengurusan parpol akan semakin mempersulit jalannya demokrasi elektoral di tingkat lokal saat pelaksanaan Pilkada Serentak.
Ketiga, hilangnya kepercayaan publik terhadap parpol. Ini sudah menjadi konsekuensi logis. Tindakan buruk yang tercermin dari gerak langkah parpol tentu akan semakin memperburuk citra publik terhadap parpol. Tingkat kepercayaan publik terhadap parpol ataupun elit parpol akan hilang. Tentu ini sangat merugikan bagi parpol, karena akan kehilangan konstituennya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News