Ini bukan sekadar obrolan ringan, tapi bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan hubungan sosial kamu.
Baca juga: Cara Mudah Buat dan Edit Gambar dengan ChatGPT di WhatsApp |
Bayangkan, kamu merasa nyaman "berbagi" dengan ChatGPT karena responsnya selalu "pengertian". Namun terlalu sering curhat ke ChatGPT bisa bikin kamu ketergantungan emosional pada mesin.
Akibatnya, kemampuan kamu buat membangun hubungan nyata denga=n manusia, yang punya perasaan, empati, dan kehadiran fisik, jadi tumpul. Hal ini bisa membuatamu bisa merasa lebih nyaman curhat ke layar HP daripada ke teman atau keluarga sendiri. Hati-hati, ini bisa jadi awal dari isolasi sosial!
Saat kita curhat ke sahabat, kita butuh validasi, nasihat, dan perspektif dari pengalaman hidup nyata. Nah, ChatGPT? Dia cuma model bahasa yang dilatih dari data internet.
Dia enggak punya pengalaman jatuh cinta, patah hati, atau pusing mikirin cicilan. Responsnya cuma pola dari triliunan data, bukan pemahaman mendalam tentang apa yang kamu rasakan.
CEO OpenAI Sam Altman mengakui terkejut dengan tingkat kepercayaan yang diberikan orang-orang pada alat AI generatif, meskipun alat tersebut memiliki kekurangan yang sangat mirip dengan manusia. Pengungkapan itu muncul selama episode terbaru podcast OpenAI, di mana Altman secara terbuka mengakui,
“Orang-orang memiliki tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap ChatGPT, yang menarik karena AI berhalusinasi.” ujar dia dikutip economictimes, Rabu, 9 Juli 2025.
Pernyataannya, yang pertama kali dilaporkan oleh Complex, telah menambah bahan bakar pada diskusi yang sedang berlangsung tentang kecerdasan buatan dan implikasi dunia nyata.
Dalam istilah AI, halusinasi merujuk pada momen ketika model seperti ChatGPT membuat informasi yang tidak benar. Meskipun terlihat kredibel, ChatGPT tidak selalu menyajikan informasi yang sepenuhnya benar.
Model ini dirancang untuk merespons secara persuasif dan koheren, sehingga terkadang ia lebih fokus pada kepuasan pengguna ketimbang ketepatan data. Akibatnya, bisa muncul informasi yang keliru namun terdengar masuk akal.
"Kamu bisa memintanya untuk mendefinisikan istilah yang tidak ada, dan ia akan dengan percaya diri memberikan penjelasan yang terampil tetapi salah," tegas Altman, menyoroti sifat menipu dari respons AI.
Setiap kali kamu curhat, cerita-cerita pribadi kamu itu direkam dan diproses. Meski pengembangnya bilang data aman, ingat, enggak ada sistem yang 100 persen anti bobol.
Bayangkan kalau detail hubungan asmara kamu yang rumit, masalah keuangan yang bikin pusing, atau bahkan keluhan kesehatan mental yang sangat pribadi, sampai bocor? Atau malah dipakai buat hal lain yang kamu enggak tahu?
Pada intinya ChatGPT bukan psikolog, dokter, apalagi penasihat keuangan. Kalau kamu curhat soal masalah serius dan dia kasih "nasihat", itu bisa menyesatkan dan berbahaya.
Nasihat yang enggak pas bisa bikin masalah kamu makin runyam, bahkan berujung pada keputusan yang salah fatal.
Batasan pribadi lenyap
Sama manusia, kita tahu kapan dan bagaimana harus curhat. Ada batasan. Tapi sama AI, batasannya lenyap. Kamu bisa curhat 24/7. Ini bikin batas antara kehidupan pribadi dan interaksi digital jadi kabur.Alih-alih istirahat, kamu malah terus-terusan mikirin masalah dan ngobrolin itu sama AI.
Ingat, ChatGPT itu "belajar" dari data internet. Nah, internet itu penuh bias dan stereotip. Bisa-bisa, kamu malah dapat balasan yang enggak sensitif atau bahkan diskriminatif, apalagi kalau lagi bahas topik yang sensitif dan personal.
Sering kali, curhat ke AI terasa lebih aman dan cepat, tapi kebiasaan ini bisa bikin kamu abai terhadap dukungan profesional yang sebenarnya lebih kamu butuhkan.
Padahal langkah seperti itu bisa mempercepat proses pemulihan emosionalmu. Bantuan ini bisa memberikan bantuan nyata dan berkelanjutan untuk masalah kesehatan mental atau emosional kamu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News