Seiring dengan majunya teknologi kita disajikan dengan kemudahan bertransaksi tanpa tatap muka. Pandemi bahkan mendorong penggunaan platform digital lebih intensif, sekaligus menciptakan pasar yang lebih kompetitif, pada saat yang bersamaan menjadi bukti bahwa kebutuhan kita bisa terpenuhi tanpa kegiatan bertatap muka.
Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman selama pandemi malah berujung ke ragam keuntungan bagi para konsumen. Namun seiring dengan surutnya badai pandemi, ada beberapa kegiatan yang sulit dilepaskan karena faktor kenyamanan, seperti bertransaksi secara online di loka pasar.
Hal ini terlihat dari data Mckinsey yang menyatakan bahwa peningkatan konsumen yang berbelanja secara online sebesar 60 persen sejak masa pandemi di Indonesia.
Lebih lagi, tren ecommerce akan tetap menjadi kanal vital untuk proyeksi bisnis di tahun 2023, hal ini terlihat dari nilai transaksi pada tahun 2022 dimana ekonomi digital membukukan transaksi 53 miliar dollar AS atau lebih dari Rp700 triliun di Indonesia.
Kegemaran untuk meneruskan transaksi online ini juga dipengaruhi oleh pola perilaku warganet yang mampu menggunakan hingga 5 perangkat yang berbeda untuk mengakses internet. Akan tetapi, untuk mewujudkan masa depan ecommerce yang inklusif, Indonesia memiliki beberapa tantangan yang perlu ditaklukkan bersama.
Pertama, penyempurnaan jaringan di seluruh wilayah Indonesia. Ekosistem digital tentu tidak lepas dari peran infrastruktur jaringan yang memadai, ketika semakin besarnya kebutuhan koneksi internet akan konten berbelanja secara streaming berjalan lurus dengan kebutuhan kapasitas jaringan yang sesuai.
Selain itu, komponen kenyamanan dan keamanan untuk melakukan transaksi secara daring juga perlu disempurnakan sejalan dengan agenda pembangunan jaringan ini, khususnya untuk implementasi jaringan generasi kelima atau yang kita kenal dengan 5G. Agenda pembangunan generasi ini dilakukan secara perlahan dengan target merata pada tahun 2024 sampai 2025.
Selanjutnya, tantangan yang akan dihadapi ialah penciptaan serta peningkatan ekosistem digital yang menjanjikan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini menjadi esensial, mengingat peluang dari keberadaan UMKM sebagai penggerak perekonomian digital. Bahkan, data menunjukkan UMKM sendiri pada tahun 2021 telah berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto hingga 61,07 persen atau senilai Rp8.574 triliun.
Namun usaha untuk melakukan onboarding UMKM ke pasar digital tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan tidak lepas dari perkembangan serta teknologi yang belum menyentuh seluruh pelosok negeri, serta urusan modal, penciptaan iklim investasi yang sehat, serta keahlian dalam manajemen dan bisnis yang masih membutuhkan program pembinaan.
Melihat berbagai keuntungan serta tantangan, Bhinneka melakukan transformasi menjadi Super Business Ecosystem, suatu ekosistem bisnis yang mempertemukan kebutuhan pelanggan dengan ketersediaan pelaku bisnis.
Sebagai penyedia layanan B2B dan B2C yang sebelumnya hanya fokus kepada barang elektronik, kini produk yang tersedia di Bhinneka sangat beragam. Dengan terdaftarnya dalam LKPP membuat para UKM yang membuka bisnis dengan Bhinneka.Com memiliki privilese untuk bisa menjual produknya ke tingkat pemerintahan.
Lebih lanjut, sebagai langkah digitalisasi para ekonomi kreatif khususnya UMKM, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno telah menandatangani kerja sama antara OK OCE dan Bhinneka.Com dalam "Peresmian 100 Pelaku UMKM Onboarding di Bhinneka.Com” Agustus lalu.
Kerja sama ini didasari atas potensi ekonomi digital Indonesia sangat tinggi bahkan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Nilai ekonomi digital Indonesia di tahun ini naik hampir 50 persen dibanding tahun 2021.
(Bima Laga, Vice President Corporate Affairs Bhinneka)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News