Kehadiran seorang Jay Subyakto di instagram layak disambut. Sebab, itu artinya penyuplai konten artistik di Instagram bertambah. Seperti penawar racun, konten bernilai seni, baik untuk membantu meringankan pusing dan sakit perut akibat terpapar hoaks di musim pemilu.
Makanya, sekadar saran, daripada lihat konten unfaedah buatan buzzer-buzzer politik, mending menyimak akun seniman gambar, fotografer, videografer yang berpengalaman. Karya-karya mereka bisa menginspirasi, karena seniman umumnya punya kepekaan estetika yang unik.
Intip saja Instagramnya Jay Subyakto. Karya yang ia unggah di Instagramnya @jaysubyakto, adalah foto pemandangan-pemandangan yang tidak biasa. Kita bisa asyik terpaku untuk mencari makna, dari objek yang direkam dengan pendekatan Jay yang enggak konvensional.
Lebih baik menghabiskan waktu di akun begini daripada scroll komen netizen yang lagi perang.
***
Jay baru saja dari Nepal dan Turki pada Maret ini. Ia mengabadikan beberapa objek dan momen secara unik dan mengunggahnya di Instagram. Ketika di Hagia Sophia, Istanbul misalnya, Ia memilih mengarahkan mata kamera Samsung Galaxy S10+ nya ke lantai. Ketika banyak turis justru sibuk memfoto langit-langit bangunan yang menawan, sepotong pemandangan di lantai marble Ia abadikan.
Ia memanfaatkan kecanggihan ponsel barunya itu menangkap gambar dalam ruang yang minim cahaya (low light). Hasilnya, seperti yang diunggah di Instagramnya, foto lantai marble yang tampak licin, dan tekstur yang terekam jelas. Jay kemudian menuliskan keterangan (caption), ‘ Face on The Marble” (wajah di atas marble).
Jay seperti ingin mengajak orang bermain-main mencari objek yang ia bidik. Di mana bentuk wajah itu? Jay tidak mengambil guratan berbentuk wajah itu telak-telak. Tetapi ia menyertakan bagian lain masuk kedalam bingkai fotonya, sehingga gambar wajah itu ‘tersembunyi’.
Dalam perjalanan ke Turki, Jay juga melihat patung di Bandara Doha Qatar, dan merekamnya sebagai objek. Bentuk yang ditangkap menjadi unik, dan cenderung tidak bisa diidentifikasi lagi sebagai patung.H A G I A S O P H I A F A C E O N T H E M A R B L E #neverafraid #galaxys10 #withgalaxy
A post shared by Jay Subyakto (@jaysubyakto) on Mar 21, 2019 at 10:20pm PDT
Di unggahan yang lain sebelumnya, Jay bermain-main dengan air dan bias cahaya di kaca mobil yang basah akibat hujan ketika di Nepal. Dari balik jendela, Ia merekam jajaran toko dengan warna cahaya yang menarik.
“Mungkin orang kan kalau foto mencari ketajamannya saja, atau fokusnya. Kalau saya mencari alternatif yang bisa saja, karena saat itu kan hujan dan saya foto dari dalam mobil,” kata Jay.
Bagi Jay, gambar menarik dalam sebuah perjalanan bukan saja melulu tentang lanskap. Bahkan tombol lift pun jadi sasaran kreatifitasnya. Tombol lift di Indonesia tidak pernah bertuliskan lantai 0 atau -1. Ketika tombol lift seperti itu ditemui di luar negeri, Jay menjepretnya. Ia tidak banyak menulis keterangan. Gambar yang lebih banyak bicara.
Narasi visualnya sudah cukup kuat. Ini adalah bagian dari sesuatu yang “Tidak dijumpai Indonesia.”
Itu bagian dari esensi dari menangkap momen saat perjalanan ke luar negeri. Menangkap apa yang tidak ada di Tanah Air. Kata Jay.
Sejumlah konten video yang cukup menarik juga mengisi feed Instagramnya. Kebetulan ponsel cerdas andalannya, Galaxy S10+, mampu merekam video setingkat kamera profesional dalam kualitas HDR10+ dengan kamera belakangnya.
Jay yang juga dikenal sebagai fotografer dan penata artistik ini juga mengeksplorasi lanskap dengan kamera ponselnya yang memiliki teknologi stabilisasi digital. Teknologi super steady yang tersemat di flagship (unggulan) Samsung terbaru ini, membuat hasil gambar tetap fokus meski merekam objek bergerak.
Itu ia coba buktikan ketika mengadakan perjalanan bersama sejumlah fotografer ke Nepal pada pertengahan Maret. Jay tidak membawa perlengkapan tempur layaknya kebiasaan fotografer. Samsung Galaxy S10+nya ia tantang untuk mengganti peran kamera dan lensa profesional.
Ia bermain-main dengan fitur super steady. Salah satunya hasilnya adalah sebuah footage pemandangan Gunung Sagarmatha (Everst) yang ia ambil dari helikopter. Ia merekamnya tanpa tripod atau gimbal dalam helikopter yang bergerak, namun videonya tetap halus menyapu pemandangan.
Ia juga menjajal fitur super slow motion pada Galaxy S10+. Hasilnya oke. Dramatis. Padahal, efek slow motion dalam fotografi bisa dibilang bukan ‘efek murah’. Pada kamera DSLR, hanya tipe yang mempunyai frame rates di atas 60 fps yang mampu melakukannya dengan baik. Namun Jay cukup puas, karena ponselnya punya kemampuan itu.S A G A R M A T H A #neverafraid #withgalaxy #galaxys10
A post shared by Jay Subyakto (@jaysubyakto) on Mar 15, 2019 at 9:49pm PDT
Mengenai gear barunya ini, Jay menganggap Galaxy S10, sudah memiliki fitur lengkap karena bisa menciptakan gambar video slow motion dengan super slow motion-nya (memperlambat gambar), hypertime lapse (mempercepat gambar). Kemudian fitur fotografinya juga dapat melakukan pengambilan gambar super wide dan wide dan ciamik dipakai dalam kondisi minim cahaya (low light).
“Saya sebelum berangkat biasanya selalu bawa kamera SLR. Kalau zaman dulu, sok nostalgia, sampai bawa celluloid. Itu kan repot banget. Pas dapat Galaxy S10, ya sudah hanya bawa itu sama kamera pocket.Tetapi akhirnya lebih tertarik pakai yang S10 karena bisa langsung edit dan naikin ke sosial media. Sangat lengkap untuk fotografer, sineas, yang berpergian mau semua praktis. Itu kita dapat, dan hasilnya bervariatif,” ungkap Jay.
***
Perkenalannya dengan ponsel dengan kemampuan fotografi dan videografi yang mumpuni namun praktis, membuat Jay mulai keranjingan memajang karyanya di Instagram. Padahal sebelumnya ia enggan main sosial media. Ia tidak punya akun di Twitter, Facebook, dan lain-lain. Instagram adalah sosial media pertamanya.
Ternyata, Instagram menurutnya asyik. Jay menyalurkan renjananya dalam bidang arsitektur. Maklum Ia adalah sarjana arsitektur. Dia ikuti, akun-akun arsitektur dan kantor berita, selain akun rekan-rekannya dan artis luar negeri.
Meski baru, sebagai penata artistik kawakan, Jay tidak perlu diajari lagi bagaimana memperlakukan feed Instagramnya. Ia paham bahwa antara foto satu dan foto lain harus punya kesinambungan warna. “Uniknya Instagram, selain kita harus mikir satu imej, kita juga harus mikir keseimbangannya dengan foto yang lain. Lebih ke komposisi,” Jay menjelaskan.
Kalau melihat isi Instagramnya, Jay memilih hitam-putih sebagai nada warna yang dominan. Nyaris semua foto yang ia unggah, dalam format warna hitam-putih. “Saya senangnya hitam putih, kesannya timeless. Orang enggak bisa tahu foto ini kuno apa enggak. Selain itu, enggak ngebosenin menurut saya,” ungkap Jay.
Selain memajang foto, Jay punya cara unik untuk menyuarakan kegelisahannya atau mengekspresikan pernyataan di Instagram. Beberapa kali ia mengunggah konten yang hanya berisi tulisan. Keunikannya ada di bagaimana konten itu dibuat. Jay menyusun huruf di pegboard, kemudian memfotonya bukan membuat tulisan dengan olah digital atau aplikasi teks.
Jay masih asyik mengeksplorasi akun Instagramnya. Tetapi sejauh ini, pria gondrong ini ogah memajang foto diri swafoto (selfie). Paling-paling kalau ada fotonya, Iia membelakangi kamera. Menurut Jay, dia memang tidak nyaman dengan selfie apalagi mempulikasikannya di Instagram.
“Menurt saya orang boleh saja selfie. Tetapi jangan Instagram isinya muka dia semua. Enggak ada lain. Menurut saya orang harus menunjukan presentasi karyanya. Kaya baju yang kita pakai, menunjukan kita siapa. Kalau selfie melulu enggak ada gunanya, terlalu narsis gitu,” selorohnya.
Jadi kalau lagi kumpul sama teman-teman pajang di Instagram enggak? ” Enggak akan ada muka-muka saya. Hahahahaha. Janganlah,” Jay seperti membayangkan sejenak, kemudian tergelak.
Sikapnya, persis seperti pernyataannya yang ia tuangkan dalam karya huruf pegboard yang ia unggah di salah satu kontennya. “Make Art Not Selfies.” Beda dengan kebanyakan kita yang perinsip berinstagramnya, “Apapun suasananya, yang penting selfie dulu.”
“Buat saya Instagram buat menaruh apa yang kita (saya) bikin saja lah. Cari positif nya saja. Apalagi ini dikonsumsi umum. Kita kasih ke mereka alternatif yang baik lah,” kata Jay menyambung.#art #artquotes #artquote #artquotesoftheday L E T T E R S O N P E G B O A R D 20x20 c m
A post shared by Jay Subyakto (@jaysubyakto) on Feb 23, 2019 at 12:24pm PST
Perkataan Mas Jay ini, persis seperti pesan bijak di salah satu unggahan Instagramnya, “Slander left, hoax left, added knowledge.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News