Direktur Utama XL Axiata Dian Siswarini. Dok: Perusahaan
Direktur Utama XL Axiata Dian Siswarini. Dok: Perusahaan

Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL

Insaf Albert Tarigan • 30 November 2015 17:50
medcom.id, Jakarta: Operator telekomunikasi di Tanah Air perlahan-lahan mulai merambah bisnis digital di berbagai sektor sembari mendigitalisasi layanan mereka. Berkat perkembangan teknologi informasi, termasuk media sosial, operator kini lebih mudah berinteraksi dengan pelanggan secara daring dalam waktu yang jauh lebih cepat.
 
Pada saat yang sama, kita bisa melihat kehadiran mereka di layanan finansial, Internet of Things, Cloud, Advertising, Digital Entertainment dan Inovasi Bisnis, yang di dalamnya termasuk perusahaan modal ventura.
 
Ekspansi operator ke layanan digital ini adalah tren global, yang tentu saja juga dipengaruhi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Ia juga merupakan gejala natural karena tak mungkin operator hanya menghabiskan dana miliaran dollar untuk membangun infrastruktur internet, lalu manfaatnya diambil perusahaan lain sepenuhnya.

Riset McKinsey & Company mengatakan, operator di Eropa dan Amerika Serikat kesulitan untuk memonetisasi data mereka. Traffic data meningkat 50 kali dalam lima tahun, tetapi pendapatan hanya naik dua kali. Pada saat yang sama, pendapatan dari voice/teks anjlok 40 persen di Eropa. Karena itu, operator perlu mencari sumber pendapatan baru, seperti layanan Over The Top (OTT) atau kemitraan dengan pihak ketiga.
 
Sementara penelitian Pricewaterhousecoopers mengatakan, jika operator ingin transformasi ke arah digital, mereka pertama-tama harus menetapkan seberapa ambisiuskah mereka dalam memanfaatkan digitalisasi, menciptakan pengalaman yang benar-benar omnichannel, dan mengembangkan produk dan layanan digital yang diinginkan konsumen, dan kemudian membuat model dan teknologi informasi yang dibutuhkan untuk mendukung ambisi tersebut. Singkatnya, peralihan ke digital bukan sekadar membuat perusahaan nongol di Facebook.
 
Di dalam negeri, tiga operator terbesar, Telkomsel, XL dan Indosat sedang giat-giatnya memperkuat lini bisnis digital mereka. Pada 19 November lalu, CEO XL Dian Siswarini mengundang beberapa jurnalis untuk memaparkan perkembangan layanan digital XL. Dia ditemani Ongki Kurniawan, Director & Chief Digital Service Officer. Berikut beberapa hal menarik dari pemaparan XL.
 

7 Pilar
Saat ini, bisnis digital XL bertumpu pada tujuh pilar: Elevania di sektor e-commerce, Internet of Things, Cloud, m-Ads, XL Tunai, Business Innovation dan Digital Entertainment. Selain itu, mereka sedang menyiapkan layanan lain yang disebut XL & Axiata ADS MIFE.
 
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
 
Di seluruh sektor tersebut, XL masih berkompetisi secara langsung dengan sesama operator, terutama Telkomsel dan Indosat, yang juga mengembangkan layanan sejenis. Sejauh ini, kita bisa menyimpulkan, alih-alih saling meniadakan, ketiga perusahaan ini pada akhirnya berkembang dan memiliki pelanggan setia masing-masing. 
 
Salah satu sektor paling menjanjikan sekaligus dengan persaingan paling sengit adalah e-commerce. Saking sengitnya bersaing, Dian menyebut perilaku e-commerce dengan strategi "Perang Harga" saat ini sudah pada taraf gila-gilaan. Bagaimana Elevania bertahan?
 

Mengejar Valuasi Elevania
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL

XL menyadari, bisnis digital sama sekali berbeda dengan bisnis telekomunikasi. Karena itu, ketika mendirikan Elevania, mereka menargetkan Break Even Point dalam waktu lima tahun. Dalam perjalanannya, seiring dengan bertambahnya pemain dari dalam dan luar negeri di bidang e-commerce, target itu pun meleset. Artinya, Elevania masih rugi, seperti pemain lain dalam industri ini.
 
"Masih nombok. Memang kalau internet business biasanya agak lama dapat uang," kata Dian. "Ini juga susahnya kenapa operator telco enggak masuk ke digital service karena metriknya sangat beda dengan telco, kalau telco kita bicara mengenai revenue, tapi kalau internet business, beberapa tahun di awal itu bicaranya mengenai hits, visitor."
 
Walau demikian, XL merasa puas dengan perkembangan Elevania karena pada periode Januari-Oktober 2015, nilai transaksi toko daring ini sudah mencapai Rp1,3 triliun, lebih dari harapan mereka.
 
"Jumlah transaksi sudah lebih besar dari yang kita perkirakan dari awal, tapi dari sisi spending-nya juga lebih besar dari yang kita perkirakan," kata Dian.
 
Dian menjelaskan, pengeluaran Elevania melebihi target mereka karena harus perang harga dengan para pesaingnya untuk menarik minat konsumen. Kondisi e-commerce sekarang ini sangat mirip dengan operator telco beberapa tahun lalu yang perang tarif telepon dan SMS untuk merebut pelanggan.
 
"E-commerce ini bisnis yang luar biasa unik, boleh dibilang sekarang itu banyak pihak very bullish about it. Jadi, makanya banyak banget pemain asing masuk, pokoknya semuanya mau masuk ke indonesia. Padahal, pelaku online belum banyak, baru 2 persen dari peritel. Jadi, bagaimana kita supaya dapatkan transaksi, ya peluru terbesar yang digunakan: promosi atau diskon. Kalau enggak diskon 70 persen jarang yang beli," kata Dian. 
 
"Jadi, marketing spend harus banyak, sekarang kalau Anda perhatikan, mau di billboard, TV, kalau dulu yang perang telco, sekarang adalah e-commerce. Tokopedia, Lazada, Elevania, blibli dan segala macam. Jadi, gila-gilaan."
 
Ongki Kurniawan menimpali, bisnis e-commerce adalah "big game". Berbeda dengan bisnis telekomunikasi, investasi pada binsis internet membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menangguk untung. Pada lima tahun pertama, perusahaan biasanya mengejar nilai valuasi, bukan profit.
 
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
 
"Amazon saja baru profitable tahun ini. Padahal, ia sudah 20 tahun, valuasinya luar biasa. Valuasi Elevania sudah sangat besar sekarang ini, berapa GMP (Gross Margin Profit) itulah valuasinya dan itu growing very fast," kata Ongki. Dengan kata lain, nilai Elevania saat ini sudah mencapai sekitar Rp1 triliun.
 
Agar bisa keluar dari sekadar perang harga, Elevania ingin fokus untuk membuat diferensiasi produk, mulai tahun depan. Langkah itu, misalnya, sudah mereka coba dengan penjualan tiket. Mereka juga memperbaiki back end dengan membangun sistem analytics sendiri agar lebih akurat mencatat kebiasaan pengguna dan memprediksi produk-produk yang mungkin akan disukai pengguna.
 
Perbaikan ini persis seperti penelian pricewaterhousecoopers bahwa tiga komponen yang harus ditransformasi operator telekomunikasi menuju perusahaan digital adalah front end, back end, dan advanced analytics.
 
Ongki mengatakan, XL juga sedang menjajaki peluang untuk mengakuisisi perusahaan logistik agar operasional Elevania leih lancar. Untuk mengatasi kendala sistem pembayaran, mereka berencana menggenjot e-money. Strategi akuisisi merupakan salah satu jalan pintas paling brilian dan dilakukan hampir semua perusahaan besar. (Kita tak akan melihat Siri dan 3DTouch di iPhone jika Apple tak mengakuisisi perusahaan pemegang lisensi teknologi tersebut).
 

XL Tunai
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL

 
Seperti Telkomsel, XL juga memiliki lisensi untuk membuat produk e-money yang mereka sebut XL Tunai. Berkebalikan dengan namanya, semangat XL untuk mengembangkan produk ini justru untuk menekan penggunaan uang tunai dalam transaksi. Alasannya tentu karena uang tunai lebih tidak efisien dari segi biaya juga lebih rentan digunakan untuk tindak kejahatan.
 
Pada tahun 2015 ini, pengguna XL Tunai sudah mencapai 1,7 juta dengan transaksi sebanyak 185,5 juta transaksi. Jumlah merchant yang menggunakan layanan ini juga terus meningkat, seperti tampak di bawah ini.
 
 Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
 
XL Tunai memiliki posisi strategis karena selain dekat dengan bisnis inti XL --sistem pembayaran ini ditanamkan di kartu SIM dan nomor telepon-- juga bisa membantu transaksi di Elevania. Sayangnya, perkembangannya mungkin akan sedikit di luar keinginan XL.
 
Otoritas Jasa Keuangan mewacanakan, mulai tahun 2017, penyelenggara layanan e-money harus entitas sendiri yang terpisah dari XL. Dengan demikian, XL terpaksa akan mendirikan anak perusahaan baru khusus untuk mengurusi XL Tunai. 
 
"Tapi baru wacana sudah diinformasikan ke kami," kata Dian.
 
XL menganggap kebijakan ini sebenarnya terlalu cepat untuk diimplementasikan pada tahun 2017 karena bisnis e-money sebenarnya belum menguntungkan. Tetapi, mereka siap mengikuti jika OJK sudah menetapkan regulasi.
 
"Kalau kita cuma memikirkan sisi bisnisnya barangkali kita akan mundur, tetapi kita punya pertimbangan yang lebih jauh, bahwa kita dengan e-money ingin membantu financial inclusion yang juga program pemerintah," katanya. 
 
Lebih lanjut, Dian menjelaskan, bisnis e-money belum menguntungkan karena mereka belum bisa mengenakan biaya transaksi. Bahkan sebaliknya, penyelenggara seperti XL lebih sering harus membayar uang kepada pihak lain yang menggunakan XL Tunai.
 
"E-money masih susah menghasilkan uang, di bank pun lebih banyak (uang) keluarnya," katanya. "Jadi, masih berat tapi i think we have to make it works."
 

m-Ads
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL

Potensi operator telekomunikasi untuk menjadi perusahaan periklanan sangat besar. Mereka memiliki informasi pribadi yang cukup detail mengenai penggunanya, yang tentu saja sangat menarik bagi pengiklan. Bisa dibilang, informasi pribadi yang dikumpulkan operator tak kalah dari Google dan Facebook.
 
Operator bisa mengirimkan iklan sangat detail di lokasi terentu saja. Sudah cukup sering bukan, Anda mendapat SMS dari merchant tertentu ketika masuk ke sebuah mal? Satu-satunya yang mungkin menghambat bisnis ini hanya masalah privasi, yang bagi kebanyakan orang Indonesia tak sepenting bagi orang-orang Eropa atau Amerika Serikat.
 
XL Mengembangkan mobile advertising melalui layanan AdReach, yang pada tahun ini telah dimanfaatkan lebih dari 3.000 pemegang merek. Selain perusahaan besar, AdReach juga dipakai banyak Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
 

Cloud
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL

Operator seperti XL tentu menyimpan potensi sangat besar dalam bisnis cloud. Operator memiliki pengalaman cukup dalam mengelola pusat data untuk kebutuhan mereka sendiri dengan standar internasional. Di Indonesia, XL sudah memiliki empat data center, termasuk data center modular pertama di Indonesia yang terletak di Balikpapan. 
 
Potensi bisnis di bidang ini sangat besar seiring dengan berkembangnya bisnis digital, baik e-commerce maupun situs lain.
 
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
 
Internet of Things
Walau belum terlalu populer di masyarakat, tak ada yang membantah kita akan segera memasuki era Internet of Things yang ditandai dengan kesalingterhubungan antar perangkat. Bagian tak terpisahkan dari hubungan atau komunikasi antar-perangkat itu tentu saja koneksi internet. Di sinilah, operator bisa mengambil peran, memanfaatkan koneksi 4G mereka yang tersebar hingga puluhan kota.
 
Operator lain, seperi Telkomsel sudah menawarkan konsep ini secara komersial dalam bentuk rumah pintar. Mereka juga bekerjasama dengan perusahaan logistik agar bisa melacak lokasi truk pengiriman barang setiap saat. Pertumbuhan bisnis IoT Xl sendiri cukup menggembirakan dalam tiga tahun terakhir, seperti terlihat di bawah ini.
 
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
 
Digital Entertainment
 
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
XL ingin menawarkan layanan video streaming pada tahun depan. Salah satu hal yang patut diantisipasi adalah kemungkinan mereka mengakuisisi atau mendirikan perusahaan media atau pembuat konten. Model semacam ini sudah dilakukan Verizon di Amerika Serikat ketika membeli AOL senilai USD4.4 miliar pada tahun 2015.
 
"Awal 2016 masuk ke streaming service, bisnis ini enggak mudah ternyata," kata Ongki Kurniawan.
 
Dia menjelaskan, bisnis streaming membutuhkan pemahaman besar mengenai kebutuhan calon pelanggan. Konten yang ditawarkan harus sesuai dengan selera calon pelangga.
 
"Kita pernah punya pengalaman lain di Axiata di mana justru dengan membeli license film-film Hollywood, ternyata interest-nya di sini enggak terlalu banyak. Jadi, kita cari konten-kontennya yang sifatnya lebih niche, lebih menarik, banyak juga local original content," katanya. 
 
Ongki sedikit membocorkan, model bisnis yang diterapkan XL dalam video streaming akan cukup fleksibel. Selain menyediakan konten berbayar, mereka akan menawarkan konten gratis. "Masih dalam proses development, saya harapkan nanti cukup tejangkau, itu penting karena kompetisinya bukan operator yang lain tetapi piracy," ujarnya.
 
Berebut Bisnis Digital, Pengalaman XL
 
Sampai dengan tahun 2018 nanti, XL berharap bisnis digital sudah menyumbang 8 persen dari pendapatan perusahaan. Saat ini, sumbangan bisnis tersebut masih 6 persen. Ekspansi bisnis ini menarik dicermati karena efeknya akan langsung terasa bagi kita yang biasa menggunakan internet dalam kehidupan sehari-hari.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan