Kegiatan penambangan ini menyebabkan deforestasi yang merusak habitat alami, sehingga populasi nyamuk penyebar malaria meningkat drastis. Pada kondisi seperti ini, deteksi dini menjadi kunci untuk mengendalikan penyebaran penyakit yang mematikan ini.
Untuk menghadapi situasi darurat kesehatan tersebut, sekelompok peneliti dengan latar belakang multidisiplin di bidang teknik dan kedokteran telah mengembangkan solusi canggih berbasis kecerdasan buatan (AI).
Tim riset, yang dipimpin oleh Diego Ramos-Briceño, bersama rekan-rekannya, mengembangkan model jaringan saraf konvolusional (CNN) yang berhasil mendeteksi parasit Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax secara otomatis dengan akurasi mencapai 99,51%. Keberhasilan ini merupakan bukti bahwa teknologi AI dapat dimanfaatkan untuk mengatasi keterbatasan metode tradisional, dengan ketersediaan tenaga ahli dalam mikroskopi sangat terbatas di daerah pedesaan.
Dalam proses pengembangannya, para peneliti mengumpulkan sebanyak 5.941 gambar mikroskopis sampel darah yang telah diberi label dari Chittagong Medical College Hospital, Bangladesh. Gambar-gambar tersebut kemudian diproses melalui teknik augmentasi dan segmentasi sehingga jumlah dataset mengalami peningkatan drastis hingga hampir mencapai 190.000 citra.
Proses ini sangat penting karena memungkinkan model belajar mengenali morfologi parasit dengan detail yang tinggi, meskipun perbedaan tampilannya sangat halus dan kompleks. Melalui pelatihan yang intensif menggunakan dataset yang sangat besar tersebut, sistem AI mampu melakukan inferensi dalam hitungan detik, sehingga mempercepat proses diagnosis.
Salah satu aspek kunci dari keberhasilan riset ini adalah penggunaan GPU NVIDIA RTX 3060 yang dilengkapi dengan akselerasi CUDA. Penggunaan PyTorch Lightning sebagai platform pemrograman AI juga mendukung perhitungan paralel yang signifikan, sehingga mempercepat training serta inferensi model secara keseluruhan.
Keunggulan hardware dan framework tersebut memungkinkan sistem dapat bekerja efektif tanpa memerlukan waktu yang lama, hal yang sangat dibutuhkan di fasilitas kesehatan di daerah terpencil di mana infrastruktur medis sering kali terbatas.
Selain kecepatan dan akurasi, sistem deteksi malaria berbasis AI ini memiliki keunggulan adaptabilitas melalui proses transfer learning. Klinik-klinik di daerah terpencil dapat menyesuaikan model dengan memasukkan data gambar lokal sesuai kondisi pencahayaan dan kualitas gambar yang berbeda-beda.
Dengan demikian, meskipun keterbatasan tenaga ahli mikroskopi menjadi kendala utama, teknologi ini menawarkan sebuah solusi praktis untuk melakukan diagnosis yang lebih cepat dan tepat, sehingga membantu mengurangi angka kematian akibat malaria.
Terobosan ini tidak hanya menjadi lompatan dalam penggunaan teknologi AI untuk diagnostik medis, tetapi juga menandai peluang besar bagi integrasi sistem digital di bidang kesehatan. Dengan menggabungkan kemampuan pemrosesan data yang tinggi dan kecanggihan algoritma pembelajaran mendalam, inovasi ini mampu menjawab tantangan besar di era digital saat ini, khususnya untuk mengatasi penyakit menular di wilayah yang kurang terlayani.
Keberhasilan pengembangan model AI untuk mendeteksi malaria ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut dalam pemanfaatan teknologi canggih untuk berbagai masalah kesehatan global.
Bekerja di persimpangan antara teknologi dan kedokteran, inovasi ini memberikan harapan baru yang dapat menyelamatkan banyak nyawa, terutama di daerah-daerah dengan akses terbatas kepada fasilitas medis dan tenaga ahli. Langkah ini merupakan contoh nyata bagaimana pemanfaatan teknologi dapat memberi kontribusi besar untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mengurangi angka kematian akibat penyakit menular.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News