Hal ini disampaikan oleh Mehdi Paryavi, Pendiri dan Ketua IDCA, saat menjadi salah satu pembicara utama di ajang Data Center World 2025. Paryavi menekankan bahwa ekonomi digital bukanlah lagi sebuah pilihan, melainkan keniscayaan yang akan mencakup 30% dari PDB global pada tahun 2030. Dalam pandangannya, pusat data (data center) adalah "kilang-kilang modern" bagi ekonomi dunia saat ini.
"Jika memiliki kilang tradisional, Anda memasukkan minyak mentah dan mendapatkan produk petrokimia. Produk yang paling halus yang bisa Anda jual adalah data," ujar Paryavi. Ia mengkritik banyak negara yang masih salah mendefinisikan pusat data hanya berdasarkan ukuran fisik atau kapasitas listrik. Padahal, apa pun yang menghasilkan dan memproses data, bahkan sebuah USB stik berisi data intelijen, adalah pusat data yang krusial.
Pentingnya kemandirian digital ini, menurutnya, setara dengan ketahanan nasional. "Kita berada di era di mana jika negara tidak membangun kapasitas yang tepat, mereka harus bergantung pada negara lain untuk memproses data mereka," tambahnya.
Skala kebutuhan infrastruktur ini sangat besar. IDCA menyoroti beberapa proyek raksasa, seperti pembangunan hub digital 9 gigawatt di Kesultanan Oman dan proyek "Digital Triangle" berkapasitas 3 gigawatt yang disebut sebagai kluster super AI terbesar di dunia. Sebagai perbandingan, Loudoun County di AS, yang merupakan hub digital paling komprehensif, sudah mendorong daya 4 gigawatt, enam kali lebih besar dari Silicon Valley.
Untuk memenuhi permintaan global, dunia yang saat ini memiliki kapasitas 55 gigawatt harus meningkatkannya menjadi 300 gigawatt setelah tahun 2030. Proyeksi ini memerlukan investasi kolosal dari sektor IT yang diperkirakan mencapai USD26 triliun.
Untuk menarik investasi asing (FDI) sebesar itu, Paryavi menegaskan perlunya standar yang efektif untuk menciptakan iklim "prediktabilitas". IDCA, yang didukung oleh para pakar dari Google, Amazon, dan Meta, telah membangun standar terbuka yang berpusat pada aplikasi untuk menciptakan ekosistem yang holistik.
Dalam laporan terbarunya, IDCA juga memeringkat 187 negara berdasarkan keberadaan digital mereka. Secara mengejutkan, Selandia Baru menempati peringkat pertama di Asia-Pasifik, sementara AS berada di peringkat ke-38 global. Peringkat ini, jelas Paryavi, tidak hanya melihat kondisi saat ini, tetapi potensi sebuah negara untuk 5 hingga 10 tahun ke depan.
Dalam konteks Asia, Tiongkok disebut sebagai "naga tidur" yang memiliki potensi terbesar untuk merevolusi dunia AI, meskipun saat ini pemanfaatan kapasitasnya masih di bawah 1%. Peringatan ini menjadi sinyal bagi semua negara bahwa perlombaan untuk membangun kedaulatan digital telah dimulai, dan mereka yang tertinggal akan menanggung konsekuensi ekonomi dan keamanan yang berat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id