Menurut survei terbaru yang ia paparkan, hampir 90 persen profesional keamanan siber percaya bahwa peningkatan keterampilan AI sangat penting untuk mempertahankan atau mengembangkan karier mereka dalam dua tahun ke depan. “Jika mereka tidak meningkatkan kapabilitasnya, ada risiko kehilangan pekerjaan,” ujar Lau.
Meski sering muncul kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan manusia, Lau menekankan bahwa teknologi ini justru berfungsi sebagai pendamping. Konsep “collaborative intelligence” memungkinkan AI mempercepat proses yang biasanya memakan waktu lama, seperti mendeteksi anomali, memindai log dalam jumlah besar, hingga melakukan triase insiden.
“Dalam perang siber, kecepatan adalah kunci. Agentic AI menjadi senjata terbaru kita di medan digital,” jelasnya. Dengan kemampuan otomatisasi, AI dapat memangkas pekerjaan berjam-jam menjadi hitungan detik, memberi keuntungan signifikan dalam merespons ancaman.
Namun, Lau mengingatkan bahwa tidak semua keputusan bisa diserahkan pada mesin. AI memang efektif untuk kasus yang jelas dan berisiko rendah, tetapi ketika menyangkut isu hukum, reputasi, atau etika, manusia harus tetap memegang kendali.
Ia mencontohkan, keputusan untuk menutup akun, memberikan akses data sensitif, atau merespons krisis publik tidak boleh sepenuhnya diotomatisasi. “AI harus memberi masukan, bukan mengambil keputusan akhir,” tegasnya.
Salah satu bahaya terbesar adalah ketika AI diberi otonomi berlebihan tanpa pengawasan. Interaksi antar-sistem AI yang tidak transparan dapat menimbulkan konsekuensi tak terduga. Lau menyebut fenomena ini sebagai “black box”, di mana keputusan dibuat di balik layar tanpa pemahaman manusia.
Logging memang membantu, tetapi bukan solusi tunggal. Desain sistem, transparansi, dan kapasitas pengawasan tetap menjadi faktor penentu. “Terlalu banyak otonomi terlalu cepat justru memperbesar risiko,” ujarnya.
Untuk membangun kepercayaan, organisasi disarankan melakukan red teaming dan uji penetrasi terhadap sistem AI mereka. Dengan simulasi serangan, kelemahan dapat ditemukan sebelum dimanfaatkan pihak lawan.
Lau menekankan pentingnya pendekatan iteratif: bereksperimen, menguji, lalu memperbaiki. “AI bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan. Penyerang sudah memanfaatkannya, dan jika kita tidak mengikuti ritme mereka, risiko yang dihadapi organisasi akan semakin besar,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id