Kehadirannya memang selalu dinantikan oleh para developer Dan pengunjung setiap acara tahunan Amazon Web Service. Vogels biasanya akan membagikan ramalan mengenai tren teknologi di tahun mendatang.
“Kita telah memasuki era tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kemajuan teknologi yang sangat cepat. Memanfaatkan teknologi untuk kebaikan kini menjadi kewajiban etis sekaligus peluang yang menguntungkan,” tutur Vogels.
“Dari inovasi energi bersih yang membuka jalan baru untuk pembangunan berkelanjutan hingga alat berbasis AI yang membantu melawan disinformasi, kita menyaksikan bagaimana teknologi memperkuat kecerdasan manusia dengan cara yang menginspirasi,”ujarnya.
Vogels menyebut munculnya teknologi yang berorientasi pada niat (intention-driven technologies) mengubah hubungan kita dengan dunia digital, mempromosikan fokus dan kesejahteraan daripada sekadar menarik perhatian.
Di saat yang sama, tenaga kerja yang berorientasi pada misi muncul, lebih bersemangat untuk mengatasi masalah manusia yang sulit daripada hanya mengejar keuntungan.
“Dalam beberapa tahun mendatang, memanfaatkan teknologi untuk dampak positif tidak hanya akan memungkinkan, tetapi juga akan mendefinisikan ulang cara kita memandang kesuksesan,” ucapnya.
Di atas panggung AWS re:Invent 2024, dia membagikan lima tren teknologi yang diramalkan bakal terjadi di tahun depan. Pertama mengenai pandangannya bahwa tenaga kerja di masa mendatang akan didorong oleh misi atau target (mission-driven).
Seiring dunia menghadapi tantangan mendesak terkait keberlanjutan, kesetaraan sosial, keamanan pangan dan ekonomi, serta penggunaan AI yang bertanggung jawab, sebuah revolusi diam-diam terjadi di pasar kerja.
“Pergeseran menuju pekerjaan yang membawa manfaat bagi kemanusiaan. Di berbagai industri dan lintas generasi, terlihat perubahan nyata dalam nilai dan preferensi pekerja, dengan semakin banyak orang mencari peran yang memungkinkan mereka memberikan dampak berarti pada masyarakat dan lingkungan,” jelas Vogels.
Opini ini didukung oleh riset dari Harvard Business School mengungkapkan bahwa lulusan perguruan tinggi bersedia mengorbankan gaji demi pekerjaan yang memiliki dampak prososial. Tren ini tidak hanya terbatas pada pekerja muda.
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dari berbagai kelompok usia semakin tertarik pada peran yang memiliki dampak sosial positif.
Tren kedua adalah era di mana efisiensi energi mendorong lahirnya inovasi baru. Vogels menyebut hal tersebut berangkat dari kondisi krisis global dan kondisi yang tidak menentu ketika pandemic COVID-19.
Namun, lanskap telah berubah secara drastis sejak saat itu. Kemunculan AI generatif, yang dikombinasikan dengan dorongan besar untuk elektrifikasi di berbagai sektor, transportasi hingga manufaktur, telah secara signifikan meningkatkan permintaan energi,” ungkap Vogels.
“Perkembangan ini semakin mempertegas urgensi untuk menciptakan solusi energi yang lebih tangguh dan dapat ditingkatkan” imbuhnya.
Vogels melihat energi terbarukan kini mulai diadopsi semasif mungkin, seiring dengan kesadaran bahwa konsumsi energi juga ikut membesar karena kebutuhan komputasi seperti AI maka inovasi untuk menghadirkan efisiensi energi terutama di data center semakin banyak.
“Permintaan energi yang meningkat dan kebutuhan mendesak akan keberlanjutan iklim mendorong transformasi dalam cara kita menghasilkan, menyimpan, dan mengonsumsi energi,” kata Vogels.
“Ekspansi energi nuklir dan pertumbuhan berkelanjutan energi terbarukan akan menjadi fondasi untuk masa depan di mana infrastruktur energi kita berfungsi sebagai katalis inovasi, bukan sebagai batasan,” sambungnya.
Tren ketiga menurut Vogels adalah bahwa teknologi menjadi penentu dalam pencarian kebenaran.
“Seiring dengan penyebaran disinformasi yang semakin cepat, gelombang baru alat berbasis AI akan muncul untuk memberdayakan jurnalis, peneliti, dan warga yang peduli dalam upaya mereka mencari kebenaran,” kata Vogels.
“Revolusi teknologi ini akan mendemokratisasi kemampuan investigasi, mempercepat proses pemeriksaan fakta, dan mulai menutup kesenjangan antara penyebaran misinformasi dan upaya untuk membantahnya,” jelasnya.
Dalam beberapa tahun ke depan, kita dapat mengantisipasi pergeseran menuju fakta. Pengembangan dan demokratisasi alat-alat teknologi pengecek validasi informasi akan menciptakan kesetaraan, memungkinkan informasi akurat mengalir secepat penyebaran disinformasi.
Vogels menyebut perubahan ini tidak hanya akan membantu memulihkan kepercayaan publik terhadap sumber berita tradisional, tetapi juga meningkatkan kualitas diskusi secara keseluruhan di platform digital.
Tren keempat adalah keterbukaan data dan kontribusi komunitas akan melahirkan kesiapsiagaan bencana yang terdesentralisasi.
“Ketahanan terhadap bencana akan mengalami transformasi mendasar melalui kekuatan data hiper-lokal yang bersumber dari komunitas,” ucap Vogels.
“Pergeseran ini akan mendefinisikan ulang manajemen bencana dari model top-down yang reaktif menjadi pendekatan yang proaktif, terdesentralisasi, dan didorong oleh komunitas,” sambungnya.
Dia berkaca dari tantangan yang dihadapi oleh sistem respon bencana alam yang kesulitan dalam melakukan prediksi yang akurat karena data yang tidak bisa diakses akibat terfragmentasi.
Kemajuan dalam komputasi edge dan konektivitas satelit selama bencana memungkinkan pengambilan dan pemrosesan data secara real-time, bahkan dalam kondisi yang paling ekstrem sekalipun.
Membantu dilakukannya pengambilan keputusan dengan cepat dan akurat oleh komunitas atau first responder ketika bencana terjadi tanpa menunggu instruksi dari pusat.
Terakhir, atau tren kelima yang diramalkan oleh Vogels adalah teknologi konsumen yang berorientasi pada niat mulai berkembang.
“Sebuah pergeseran halus sedang terjadi yang mendefinisikan ulang hubungan kita dengan teknologi konsumen. Seiring semakin banyak orang mencari pelarian dari gangguan yang terus-menerus,” kata Vogels.
Hal yang dia maksud adalah ke depannya teknologi juga akan berusaha membantu penggunanya terlepas dari distraksi yang muncul oleh teknologi.
Misalnya, e-reader seperti Kindle yang membantu membaca tanpa gangguan seperti di smartphone, kemudian semakin banyaknya ponsel minimalis yang kembali dihadirkan, dan lainnya.
“Jangan salah paham, pergeseran ini bukan berarti meninggalkan konektivitas digital, melainkan lebih kepada kesadaran tentang bagaimana perangkat dapat mendukung niat kita daripada sekadar menarik perhatian kita,” jelas Vogels.
“Secara pribadi, saya menyisihkan satu sore setiap minggu untuk belajar, mematikan ponsel dan email saya untuk fokus membaca makalah akademik atau mengeksplorasi layanan AWS terbaru,” tandas Vogels.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News