Vice President of Design Amazon Web Services (AWS) Solutions, Hector Ouilhet Olmos, meyarankan kreator di Indonesia memakai strategi yang sering terlewatkan. Saling berbagi proses prompting dan dasar berpikir di baliknya, bukan hanya hasil akhir.
Membongkar 'dapur' kreasi justru kunci memacu literasi.
"Kesenjangan itu ada di mana-mana. Saat orang melihat hasil AI yang indah di internet, mereka sering bertanya, 'Bagaimana saya memulainya?' Rasa terintimidasi itu besar," ujar Olmos dalam wawancara eksklusif di AWS re:Invent 2025, Rabu, 3 Desember 2025.
Olmos mengaku menerapkan prinsip ini dalam timnya sendiri. Ketika seorang anggota menunjukkan hasil karya dari AI Generatif, ia selalu meminta untuk menyertakan tiga hal. Pertama, pemikiran awal. Kedua, model AI yang dipilih. Terakhir, prompt yang digunakan.
"Dengan begitu, saya bisa memberi umpan balik pada proses berpikirnya, bukan hanya pada hasil akhir. Ini menunjukkan bahwa 'kemajuan kerja' (work in progress) sangat penting," tegas Olmos.
Pendekatan ini mirip dengan yang berkembang di komunitas AI generatif seperti Midjourney, di mana para anggota secara sukarela berbagi prompt agar orang lain bisa meniru dan memodifikasinya. Ouilhet mengakui bahwa membuat prompt yang efektif bukanlah skill yang yang bisa didapat instan.
"Itu sulit. Tampak mudah, tapi tidak. Itulah mengapa berbagi 'kemajuan kerja' melalui alat perantara atau adaptor menjadi krusial untuk onboarding pemula."
Untuk konteks Indonesia, ia melihat peluang besar pada para early adopters atau pionir lokal. Dengan strategi berbagi proses yang transparan dan kolaboratif ini, Ouilhet yakin lebih banyak anak muda Indonesia dapat terpikat untuk mencoba, bereksperimen, dan akhirnya menguasai teknologi AI.
Siasat ini dapat perlahan-lahan mengikis kesenjangan digital yang ada di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News