Suyani memaparkan judul “Dehumanisasi vs Humanisasi dalam Industri 4.0 dan 5.0: Tantangan dan Peluang bagi Pembangunan Manusia dalam Visi Komunitas ASEAN 2045”. Ia membuka diskusi dari perkembangan revolusi industri mulai dari awal hingga saat ini.
Suyani menjelaskan bahwa sebenarnya kita sudah melewati industri 4.0. “Saat ini sedang dalam proses menjalani atau proses menikmati dengan segala kelebihan dan kekurangan industri 5.0 yang trennya dimulai pada tahun 2020,” terangnya.
Dikatakan Suyani, ketika menyinggung industri 4.0, istilah yang sering digunakan adalah dehumanisasi. Karena dalam proses tersebut, kita banyak sekali bergantung pada teknologi. Lalu, perkembangan yang terjadi pastinya tidak terlepas dari evaluasi re-evaluasi. Sehingga memunculkan industri 5.0 yang berupaya mengedepankan atau tidak hanya bergantung pada teknologi maupun mesin saja.
“Tapi bagaimana manusia kembali mengambil peran? Manusia menjadi center-nya di mana pemikir-pemikir strategisnya dilakukan oleh manusia,” ungkapnya.
Menurutnya, hal-hal itu pasti memberikan peluang dan tantangan, khususnya negara-negara ASEAN, yakni Indonesia dan Malaysia. Karena berdasarkan data dari IBM AI Adoption Index tahun 2023, tren penggunaan AI ini memang sangat besar.
Saat ini progresnya sangat tinggi, di mana hanya kurang dari 20 persen perusahaan-perusahaan yang tidak menggunakan AI. Kita semua bergantung pada internet dan banyak menggunakan AI. Sehingga tren ini memang tidak bisa dihindari.
Namun jika melihat peta produksi atau inovasi dari teknologi itu sendiri, Suyani menjelaskan bahwa tren pengguna atau invention-nya AI tidak berada di negara-negara Asia Tenggara. Melainkan lebih banyak di negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika.
Kemudian dari tingkat adopsi teknologi berdasarkan klasifikasi pendapatan negara, disebutnya, dalam perspektif hubungan internasional, bisa dikelompokkan dari negara berpendapatan tinggi, menengah ke atas, menengah ke bawah, hingga rendah.
Ia melihat bahwa adopsi teknologi sebagian besar dilakukan oleh negara – negara berpendapatan tinggi. Sementara yang berpendapatan rendah hanya tidak ada sepersepuluhnya dari negara-negara maju.
“Bahkan dalam konteks dunia hanya 50% yang menguasai teknologi itu sendiri. Artinya, ada perbedaan yang besar dalam konteks teknologi antara negara maju dan negara berkembang,” imbuhnya.
Selanjutnya jika dilihat dari teknologi adopsi oleh daerah, berdasarkan data BytePlus 2025 menunjukkan persentase North America sekira 62%, Europe 48%, Asia Pasifik 55%, Middle East 35%, lalu Latin America 28%. Apakah Asia Tenggara termasuk dalam presentase Asia Pasifik 55%? Namun jika dikaitkan dengan data sebelumnya, kecil presentase ada di negara-negara Asia Tenggara.
Berdasarkan data AI Index Report 2025, jika dikaitkan dengan paten yang diberikan berkaitan dengan AI innovation. Yang tertinggi adalah di South Korea, Luxembourg, China, dan seterusnya. Hanya sedikit negara Asia Tenggara, yaitu hanya Singapura di posisi ketujuh.
Artinya bahwa technology invention lebih banyak dimiliki oleh negara-negara maju. Terdapat kesenjangan yang besar antara negara maju dan negara berkembang, termasuk dalam hal ini ASEAN, Indonesia dan Malaysia.
Menurut pandangannya, masalah tersebut menjadi tugas besar jika dikaitkan dengan visi ASEAN Value 2045. Karena bisa jadi negara-negara berkembang dan ASEAN hanya akan menjadi target pasar teknologi-teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju.
Hal ini akan menyebabkan adanya ketergantungan antara negara maju, termasuk ASEAN terhadap teknologi yang dikembangkan oleh negara maju. Ia memandang bahwa ketergantungan teknologi pastinya berbahaya, sebab kita akan dikontrol oleh pemilik teknologi tersebut.
Untuk itu, Suyani memandang perlu satu strategi merealisasikan ASEAN Community Value 2045. Dalam situasi tersebut, di satu sisi mewujudkan ASEAN Community Value, di sisi lain kita dihadapkan pada situasi tuntutan teknologi dan mengurangi ketergantungan teknologi.
Suyani lantas mengungkapkan beberapa tantangan yang harus dihadapi seperti technological integration, human readiness, dan cultural shift. Sedangkan beberapa peluangnya meliputi bagaimana industri atau UKM, usaha kecil dan menengah perlu diberdayakan. Agar mereka adaptif dan juga bisa sesuai dengan perkembangan teknologi. Termasuk startups, online market, dan sebagainya.
Lantas, Suryani menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan jika mengacu pada perspektif akademik. Yaitu pembelajaran seumur hidup, kurikulum akademik (pengetahuan, keterampilan, sikap, mentalitas; inovasi dan transformasi teknologi), kolaborasi termasuk antar pendidikan, institusi, dan industri/ pasar, serta dukungan regulasi dan kebijakan. Ia yakin dalam hal ini BRIN juga bisa memfasilitasi kerja sama, agar berkolaborasi antar institusi pendidikan dengan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News