Sementara itu, YouTube, salah satu platform paling populer untuk menonton video, saat ini telah memiliki lebih dari satu miliar pengguna. Dan setiap hari, ratusan juta jam video yang ada di YouTube ditonton orang-orang di seluruh dunia, menghasilkan miliaran view. Hal ini menunjukkan bahwa industri video sedang berkembang pesat. Dan tampaknya, tren ini akan terus berlanjut.
Di Indonesia sendiri, popularitas video terus meningkat. Di kuartal ketiga tahun lalu, Google mengumumkan bahwa terjadi peningkatan lama waktu menonton video (watchtime) sebesar 130 persen jika dibandingkan dengan kuartal tiga tahun 2014. Sedikit banyak, meningkatnya konsumsi video itu dipengaruhi oleh penetrasi ponsel pintar yang kian merata dan ditunjang kecepatan koneksi internet yang mumpuni.
Menurut Head of Marketing, Google Indonesia, Veronica Utami, pertumbuhan watchtime tersebut merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Satu hal yang menarik adalah karena masyarakat Indonesia terbukti tidak hanya suka menonton video di YouTube. Mereka juga mulai aktif untuk membuat konten sendiri.
Di tahun 2015, jumlah video yang diunggah oleh pengguna Indonesia meningkat sebanyak 600 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Melihat tren ini, tidak heran jika salah satu operator di Indonesia, XL Axiata, juga ingin masuk ke dalam industri video-on-demand. Pada tangal 18 Maret lalu, XL meluncurkan sebuah layanan video-on-demand yang disebut Tribe.
Layanan semacam ini terlanjur identik dengan Netflix, terutama karena Netflix sudah resmi masuk Indonesia pada bulan Februari lalu. Namun, XL meyakinkan, layanan Tribe berbeda dengan Netflix. Dua perbedaan menonjol antara keduanya adalah masalah konten dan harga berlangganan.
Jika Netflix fokus untuk menyajikan film Hollywood (setidaknya untuk sekarang ini), Tribe fokus pada film lokal asli Indonesia. Selain itu, Tribe juga fokus pada film Asia, drama Korea dan siaran olahraga.
Lalu, apa alasan XL untuk ikut menyediakan layanan video-on-demand?
Saat ditemui dalam peluncuran Tribe, Chief Digital Service XL Ongki Kurniawan mengatakan, XL melihat adanya perubahan kebiasaan pelanggan. Dia menjelaskan, sekarang, orang tidak lagi mau menunggu jadwal siaran dari stasiun TV.
"Mereka maunya tuh, anytime, anywhere," kata Ongki. "Saya mau mintanya kapan, ya terserah saya."
Ongki menyebutkan, menurut survei global yang dilakukan Ericsson, segmen milenial - yaitu orang-orang yang terlahir dari tahun 1980-an sampai awal tahun 2000-an - kini mulai mengkonsumsi konten video melalui perangkat mobile.
Ongki menjadikan Amerika Serikat sebagai contoh. Di sana, 40 persen dari generasi milenial sudah tidak lagi memiliki TV. Alasannya, karena mereka lebih memilih menggunakan perangkat mobile untuk mengkonsumsi video.
"Itu menunjukkan bahwa ke depan, kita akan menghadapi perubahan perlakuan konsumen yang sangat drastis," kata Ongki.

Pelanggan XL sendiri juga mulai banyak mengkonsumsi video. Menurut CEO XL Dian Siswarini, pada awal tahun ini, 50 persen trafik 4G XL digunakan untuk menonton video. Sementara itu, menurut Ongki, tahun lalu, video menyumbangkan 30 persen dari trafik data.
Ongki menganggap, kenaikan kontribusi trafik dari 30 persen menjadi 50 persen dalam waktu kurang dari 6 bulan adalah hal yang luar biasa.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang menonton video melalui internet. Pada akhirnya, konsumsi video yang massif akan berujung pada meningkatnya jumlah data yang digunakan per bulan oleh setiap pelanggan.
Dian mengatakan, saat ini, pelanggan XL rata-rata menghabiskan 1,5GB setiap bulan. Hal ini merupakan kabar baik bagi XL yang berusaha untuk melakukan transformasi dari perusahaan telekomunikasi menjadi perusahaan digital.
Ongki percaya, tingkat konsumsi video di masyarakat masih akan terus tumbuh seiring dengan semakin banyaknya pengguna ponsel pintar dan meningkatnya penetrasi internet. XL sendiri akan fokus untuk memperluas jangkauan jaringan 4G milik mereka.
Bulan lalu, XL mengumumkan bahwa mereka menargetkan untuk mendapatkan 17 juta pelanggan 4G dan memperluas jaringan 4G mereka hingga mencapai 85 kota hingga akhir tahun 2016.
Potensi video sebagai iklan digital
Meningkatnya tingkat konsumsi video tidak hanya mempengaruhi para operator, tapi juga para pengiklan. Jika dulu para pengiklan memfokuskan dana iklan mereka ke media cetak dan elektronik, kini, mereka juga harus mempertimbangkan untuk menjadikan internet sebagai tempat untuk beriklan.
Dalam acara DIG-IN yang XL adakan pada tanggal 17 Maret lalu, CEO Axiata Digital Services Khairil Abdullah berbagi beberapa fakta menarik. Dia menyebutkan, dalam lanskap digital, hanya dalam waktu 5 detik, terdapat 2.894 pencarian melalui Google yang dilakukan masyarakat Indonesia. Menariknya, dalam waktu yang sama, terdapat lebih banyak video yang ditonton, yaitu sebanyak 3.472 video.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki keinginan yang besar untuk mengkonsumsi video. Lalu, apa artinya bagi para pengiklan? Mereka memiliki kesempatan besar untuk memberikan impresi pada masyarakat melalui internet, baik melalui video maupun melalui iklan jenis lain.
"Dunia sudah berubah," kata Khairil. "Saat ini cara untuk menyampaikan pesan pun sudah berubah."
Salah satu perubahan yang nyata adalah saat ini, waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk menjelajah internet hampir sama dengan durasi waktu yang mereka habiskan untuk menonton TV.

Namun, Khairil menjelaskan, membuat iklan digital juga memiliki masalahnya sendiri. Satu masalah yang biasa dihadapi kebanyakan pengiklan adalah banyaknya orang ingin melewati iklan yang terselip dalam sebuah video.
Pada YouTube, misalnya, biasanya Anda dapat melewati sebuah iklan setelah 5 detik. Hal ini berarti, kata Khairil, para pengiklan hanya memiliki waktu sekitar 5 detik untuk menarik perhatian para penonton. Dia menjelaskan, ada 2 cara untuk meningkatkan efektivitas iklan digital.
Salah satunya adalah dengan membuat iklan yang menarik; iklan yang dapat mencuri perhatian penonton meski ia hanya diputar selama 5 detik. Cara kedua adalah dengan data analytic. Khairil menjelaskan, pengiklan dapat melakukan profiling dari pelanggan untuk mencari orang lain dengan karakteristik yang sama, sehingga mereka dapat menyajikan iklan yang sesuai ke orang-orang yang tepat.

Lalu, apakah membuat video iklan memungkinkan untuk pelaku UKM? The Guardian menyebutkan ya. Sekarang, Anda tidak perlu menjadi seorang ahli kamera untuk dapat mengambil video. Selain itu, ongkos produksi video saat ini sudah turun drastis.
Kamera ponsel pintar pun bisa digunakan untuk membuat video. Hal ini dibuktikan Rexinema yang membuat sebuah film layar lebar menggunakan kamera ponsel pintar sepenuhnya.
Stasiun TV Mau Kemana?
Kita tak bisa berbicara bisnis video tanpa melibatkan televisi karena nyatanya merekalah pemain lama dan utama. Pertanyaanya, apa yang akan dilakukan stasiun televisi untuk menghadapi lanskap yang sudah berubah ini? Bagaimana mereka akan memanfaatkan peluang yang ada?
Kita menyebut peluang, tentu saja, tanpa melupakan ancaman bahwa sudah sangat jelas televisi bukan lagi pemegang monopoli tempat terseksi untuk memasang iklan. Pasalnya, millenial semakin tak punya waktu untuk menonton televisi. Sejauh ini, selain YouTube, Facebook juga sangat serius menggarap segmen video komersial di layanannya.

Dilema bagi stasiun televisi adalah, apakah mereka akan memasarkan konten melalui platform pihak ketiga, semacam YouTube dan Facebook atau membangun platform sendiri?
Jika memasang di YouTube atau Facebook, sudah jelas mereka harus rela berbagi untung dengan kedua perusahaan itu. Celakanya, keuntungan menjual video di YouTube termasuk "recehan" untuk ukuran korporasi. Orang dengan penghasilan tertinggi di YouTube pada tahun 2015 lalu adalah Felix Arvid Ulf Kjellberg alias PewDiePie. Penghasilan vblogger yang memiliki 43 juta pelanggan mencapai USD12 juta atau sekitar Rp160 miliar.
Bagi ukuran individu, jumlah itu tentu sangat besar apalagi jika dibandingkan dengan biaya produksi yang relatif sangat murah. Akan tetapi, bagi stasiun televisi yang ongkos produksinya mahal, terutama program semacam talkshow dan hiburan lainnya, jumlah itu terlihat sangat kecil.
Bagaimana dengan membangun platform sendiri?
Dua konglomerasi media di Tanah Air sudah menjawab perkembangan tren video ini dengan meluncurkan Vidio.com dan MeTube.com. Situs khusus video tersebut mereka jadikan sebagai "rumah" bagi video-video yang mereka tayangkan di stasiun televisi masing-masing sekaligus memancing agar masyarakat juga aktif mengisi konten.
Bersaing dengan perusahaan teknologi raksasa tentu bukan perkara mudah. Tetapi, upaya mereka untuk semaksimal mungkin memanfaatkan asetnya patut kita cermati. Minimal, saat generasi millenial --dengan perilaku yang serba digital-- tiba-tiba mendominasi demografi, kedua group besar itu telah siap memenuhi kehausan mereka akan video-video yang telah tayang di televise atau video yang sama sekali baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News