Pekerja melakukan perawatan menara pemancar telekomunikasi. Foto: Antara/Zabur Karuru
Pekerja melakukan perawatan menara pemancar telekomunikasi. Foto: Antara/Zabur Karuru

Apjatel Ungkap Tantangan Penerapan Network Sharing

Medcom • 17 Juni 2020 09:00
Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Muhammad Arif Angga menyebut mekanisme network sharing atau berbagi jaringan di industri telekomunikasi sudah berjalan baik. Namun, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
 
“Berbagi jaringan sangat baik, yaitu di perangkat telekomunikasi pasif seperti tower atau menara telekomunkasi dan ducting. Tentu saja sharing ini menghemat CAPEX, namun ada sejumlah tantangan,” kata Angga dalam keterangan tertulisnya, Rabu 17 Juni 2020.
 
Dia mengungkapkan, network sharing masih sulit dilaksanakan karena berada pada pasar yang sama, yaitu penyewaan jaringan. Network sharing, kata Angga, berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan kanibalisme di antara penyelenggara jaringan.

“Sekilas sharing itu menguntungkan bagi penggelaran jaringan karena tidak perlu investasi. Namun, network sharing antara sesama penyelenggara jaringan berpotensi menimbulkan perebutan pangsa pasar yang sama. Sebab mereka berusaha di jalur dan pasar yang sama,” kata Angga.
 
Angga juga menyebut kesulitan juga dialami penyelenggara selular. Dia menyontohkan salah satu operator yang telah melakukan investasi besar-besaran, lalu diminta sharing jaringan dan frekuensi di satu wilayah, maka ada potensi pasar penyelenggara selular tersebut digerus operator yang baru masuk dengan mekanisme sharing tersebut.
 
“Penyelenggara yang baru masuk tentu akan melakukan promosi dan menjual harga yang murah atau di bawah harga produksi untuk mendapatkan market di tempat baru tersebut. Akibatnya akan terjadi persaingan yang tidak sehat dan saling kanibal,” ujarnya.
 
Hal berbeda terjadi dengan network sharing antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa yang saat ini sudah berjalan dengan baik. Sebab, kata Angga, penyelenggara jasa hanya menyewa dari pemilik jaringan dan mereka tidak bersaing secara langsung.
 
“Perang harga sesama penyelenggara jaringan akan berujung pada persaingan usaha tidak sehat. Bagaimana penyelenggara jaringan bisa menggelar jaringan dengan agresif kalau bisnisnya sendiri tidak sustainable.
 
Di sisi lain, ujar Angga, penyelenggara jasa atau perusahaan ISP hanya melakukan fungsi intermediasi penyedia layanan telekomunikasi. ISP hanya membutuhkan satu router dan mereka sudah bisa berjualan jasa telekomunikasi.  Penyelenggara jasa telekomunikasi tak perlu membangun NAP (Network Acces Provider).
 
“Mereka cukup menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang memiliki NAP. Artinya risiko bisnis yang dihadapi penyelenggara jasa jauh lebih kecil. Dengan modal yang sedikit akan didapatkan pengembalian modal dalam waktu singkat ditambah margin yang lumayan,” katanya.
 
Sedangkan untuk penyelenggara jaringan atau operator selular baru bisa mendapatkan pemasukan setelah membangun jaringan dan menjual kapasitas jaringan tersebut. Investasi yang dikeluarkan penyelenggara jaringan nilainya besar dan waktu pengembaliannya juga lama. Disamping itu, risiko serta ketidakpasitian bisnis yang dihapapi juga tinggi.
 
“Kalau ditanya mana yang lebih cepat mendapat untung, tentunya menjual jasa telekomunikasi jauh lebih cepat. Anggota APJATEL harus menggeluarkan CAPEX yang besar pengembalian modalnya memerlukan waktu yang panjang. Baru bisa untung setelah lima tahun,” ujar Angga.
 
Angga meminta pemerintah membuat aturan yang jelas. Sebab, regulasi yang tidak jelas membuat pelaku industri akan berurusan dengan hukum.
 
“Jangan karena ingin mengurangi CAPEX, justru nantinya berakibat pada lesunya pembangunan jaringan telekomunikasi. Sudah ada penyelenggara jaringan yang dipidanakan karena melakukan network sharing,” katanya.
 
Angga mengungkapkan, dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pada Pasal 9 dijelaskan, network sharing hanya diperkenankan antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Bukan antara penyelenggara jaringan.
 
“Ini menjadi tantangan dalam menerapkan network sharing dari aspek regulasi. Untuk itu diperlukan terobosan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang visioner dan melihat kedepan, dimana network sharing diatur sebagai persiapan untuk menghadapi kebutuhan teknologi baru,” ujarnya.
 
Selain teknologi baru, Angga menyarankan agar network sharing diberlakukan di daerah dengan penetrasi broadband rendah karena akan mudah untuk mengaturnya. Saat ini network sharing di daerah yang penetrasinya tinggi mustahil dilakukan.
 
“Mustahil network sharing diberlakukan di Jakarta karena ada 50 perusahaan penyelengara jaringan. Logikanya jumlah penyelenggara jasa lebih dari itu. Pasti sulit untuk mengaturnya. Jika kita ingin menjalankan amanah UU Telekomunikasi agar telekomunikasi dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, maka regulasi network sharing harus diberlakukan di daerah-daerah yang penetrasi broadband masih rendah. Tujuannya agar terhindar dari kanibalisme antar penyelenggara,” kata Angga.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FZN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan