Starlink
Starlink

Starlink di Indonesia, Satu Tahun Perjalanan

Mohamad Mamduh • 14 Oktober 2025 11:06
Jakarta: Kehadiran Starlink di Indonesia sejak Mei 2024 membawa harapan besar bagi jutaan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil dan sulit dijangkau jaringan fiber maupun seluler.
 
Setelah lebih dari setahun beroperasi, layanan internet satelit milik Elon Musk ini menghadapi kenyataan yang jauh lebih kompleks: kinerja yang menurun, biaya tinggi, serta tekanan regulasi yang tak bisa diabaikan.
 
Saat pertama kali diluncurkan, Starlink menawarkan kecepatan unduh rata-rata 42 Mbps dan unggah 10,5 Mbps. Angka ini cukup kompetitif dibandingkan layanan Fixed Wireless Access (FWA) berbasis 4G yang sudah lebih dulu hadir di Indonesia. Dengan jangkauan satelit yang luas, Starlink dipandang sebagai solusi untuk menjembatani kesenjangan digital, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Namun, dalam kurun waktu 12 bulan, performa Starlink justru menurun drastis. Kecepatan unduh anjlok hampir dua pertiga, sementara unggah turun hampir setengahnya. Skor pengalaman video juga merosot lima poin.
 
Penyebab utama adalah kemacetan jaringan akibat lonjakan permintaan. Bahkan, Starlink sempat menghentikan pendaftaran baru sebelum akhirnya dibuka kembali pada Juli 2025 dengan biaya perangkat yang melonjak hingga Rp8–9,4 juta, atau sekitar tiga kali lipat gaji rata-rata bulanan masyarakat Indonesia.
 
Meski demikian, ada sisi positif: konsistensi kualitas meningkat dari 24,2% menjadi 30,9%. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan infrastruktur dan latensi yang lebih rendah, meskipun belum cukup untuk menandingi stabilitas FWA.
 
Jika dibandingkan, Starlink unggul dalam kecepatan unduh, tetapi FWA lebih baik dalam kecepatan unggah, konsistensi kualitas, dan pengalaman video. Telkomsel Orbit masih mendominasi pasar FWA dengan 1,1 juta pelanggan pada 2023, disusul XL dan IOH yang juga memperluas layanan serupa.
 
Perbedaan paling mencolok terlihat pada cakupan. FWA lebih kuat di Jawa dan Sumatra, sementara Starlink menawarkan kinerja yang lebih seragam secara nasional, termasuk di Maluku dan Papua. Namun, di wilayah pedesaan, kelemahan Starlink dalam konsistensi kualitas masih terasa jelas.
 
Selain persoalan teknis, Starlink juga menghadapi tantangan regulasi. Pemerintah mewajibkan pendirian Network Operation Center (NOC) lokal untuk memantau layanan. Aturan roaming darat juga membatasi penggunaan perangkat Starlink hanya di kapal laut dengan durasi maksimal tujuh hari.
 
Tak hanya itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merekomendasikan agar Starlink dibatasi hanya untuk wilayah 3T demi melindungi operator lokal. Namun, data Opensignal menunjukkan 17,3% penggunaan Starlink justru berasal dari perkotaan, menandakan tingginya permintaan di luar mandat awalnya.
 
Setahun perjalanan Starlink di Indonesia memperlihatkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, layanan ini terbukti mampu membuka akses internet di daerah yang selama ini terisolasi. Di sisi lain, penurunan kinerja, biaya tinggi, dan regulasi ketat menjadi hambatan serius.
 
Ke depan, keberhasilan Starlink akan sangat bergantung pada tiga hal: memperluas kapasitas untuk mengimbangi permintaan, menstabilkan kinerja agar konsisten, serta memposisikan diri sebagai pelengkap FWA dan fiber, bukan pesaing langsung.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan