“Harapannya, kita bisa meminimalisir insiden keamanan pangan. Karena kita harus memastikan aman secara kualitas yang bisa menjamin konsumsi pangan bagi masyarakat,” tandasnya dalam Seminar dan Konsultasi Publik bertajuk Transformasi Sistem E-Reg RBA Berbasis Kecerdasan Buatan dan Kesiapan Pelaku Usaha: Tantangan dan Kebutuhan Solusi beberapa waktu lalu.
Melalui kegiatan itu juga diharapkan menjadi dasar lompatan program agar diterima oleh industri di Indonesia, sehingga memberikan dukungan untuk mendorong implementasi program pada tahun 2025.
Hal yang menjadi poin penting juga kegiatan tersebut dihadiri Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan komunitas – komunitas. Sebagai publik atau masyarakat, dalam pertemuan ini mereka mendorong untuk memudahkan masyarakat mengecek produk – produk yang akan dikonsumsi.
Zamroni juga menyampaikan ada dua aspek penting yang harus diperhatikan, yakni food security dan food safety. Untuk menjamin keamanan pangan yang akan dikonsumsi masyarakat Indonesia, maka menurutnya, setiap produk yang akan dikonsumsi perlu mendapatkan bukti telah terregistrasi di BPOM.
Dari sisi perspektif makro, ia menjelaskan, ketika industri mikro dan kecil berhasil melalui proses registrasi di Badan POM, maka food safety menjadi krusial bagi industri kecil dalam melakukan ekspor ke luar.
Sintia Ramadhani, Direktur Registrasi Pangan Olahan mengatakan, keamanan pangan merupakan kebutuhan fundamental atas hak asasi manusia. Menurut World Health Organization (WHO), keamanan pangan ini dimaknai sebagai kondisi dan upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Bahkan, untuk jangka panjangnya berrisiko pada malnutrisi dan lingkaran penyakit yang berdampak pada bayi, balita, hingga manula.
“Selain keamanan pangan, yang harus perhatikan juga daya saing produk dalam negeri. Di mana rata - rata produksi mayoritas oleh UMK. Maka kita harus tingkatkan karena bisa membantu kualitas hidup masyarakat dan mendongkrak perekonomian bangsa,” jelasnya.
Untuk mengatasinya, perlu kolaborasi yang sinergis antara pemerintah, industri, dan konsumen. Hal ini sebagai kunci untuk memastikan pelaksanaan keamanan pangan dan memperkuat sistem keamanan pangan nasional.
Kerja sama ini berpotensi melibatkan Bank Indonesia, Rumah BUMN, Pusat Layanan Usaha Terpadu, serta perguruan tinggi dan dinas terkait. Ini untuk membantu industri mikro dan kecil wujudkan food safety di indonesia dan juga pasar global.
Terhadap itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) selaku otoritas keamanan pangan, selama ini melakukan pengawasan pangan olahan baik sebelum beredar (pre-market) maupun setelah beredar di masyarakat (post-market). Tindakannya untuk pemenuhan persyaratan keamanan, mutu, dan gizi pangan.
Salah satunya, fokus keamanan pangan pada tahun 2024 sebagai upaya mitigasi terhadap insiden keamanan pangan. Hal ini bercermin pada insiden yang terjadi, salah satunya akibat pengawasan yang tidak mencukupi, kecurangan atau penipuan, hingga kejadian alam. Maka pengambil kebijakan perlu upaya aktif dalam pengelolaan untuk mewujudkan keamanan pangan.
Pengawasan pre-market pangan olahan, salah satunya dilakukan Direktorat Registrasi Pangan Olahan (Dit RPO) Badan POM dengan melakukan penilaian terhadap produk pangan olahan sebelum beredar. Penilaian yang dilakukan, meliputi aspek keamanan, mutu, gizi, dan label pangan olahan.
Di dalam pengawasan tersebut, registrasi pangan menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat, khususnya memudahkan penelusuran kembali dari kemungkinan penyimpangan atas mutu dan keamanan produk pangan olahan.
Sementara, pertumbuhan bisnis dan ekonomi yang cukup pesat menyebabkan peningkatan permintaan penerbitan izin edar pangan olahan. Dalam lima tahun terakhir (2019-2023) pertumbuhan rata-rata pengajuan izin edar adalah 6,23% dan pertumbuhan izin edar (NIE) yang berhasil diterbitkan rata-rata 6,31% per tahun.
Sedangkan pertumbuhan rata-rata jumlah petugas evaluator yang menangani tidak signifikan sehingga menimbulkan tantangan baru bagi Badan POM dalam penyediaan pelayanan yang lebih cepat, akurat, dan tepat. Secara umum, pelaku usaha sudah cukup sadar akan pentingnya registrasi produk pangan olahan, dan cukup mampu memenuhi persyaratan registrasi pangan olahan.
Namun masih terdapat kendala bagi pelaku usaha, terutama UMK, di antaranya keterbatasan sumber daya dan biaya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mitigasi risiko keamanan pangan adalah dengan mengimplementasikan artificial intelligence (AI), yang disebut juga Kecerdasan Buatan.
Perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, seperti AI ini berperan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi digital. Kecerdasan buatan memiliki peluang dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. AI dapat bekerja secara teknis dalam otomatisasi proses administrasi.
Penggunaan AI dapat membantu melakukan proyeksi dan simulasi atas pengambilan keputusan melalui algoritma sebagai rekomendasi pilihan-pilihan keputusan yang dapat diambil oleh manusia. AI juga memiliki keunggulan dalam mengurangi beban pekerjaan manusia, seperti kemampuan untuk standarisasi pekerjaan yang bersifat rutin, meminimalkan kesalahan, dan melakukan proses pengecekan lebih cepat hingga 12 kali dibandingkan manusia.
Implementasi AI pada sistem registrasi pangan olahan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penilaian registrasi pangan olahan. Sehingga dapat menjadi solusi bagi pelaku usaha dalam mempercepat penerbitan izin edar.
Bahtiar Rifai, Peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN mengatakan, sebagian pemenuhan legalitas produk untuk dipasarkan, juga pemenuhan ijin edar Badan POM, masih dipandang sebagai tantangan terbesar bagi Industri Nasional, khususnya skala mikro dan kecil (IMK).
Bahtiar melihat bahwa skala usaha sangat menentukan kemampuan untuk memenuhi persyaratan ijin edar Badan POM. “Semakin besar skala usaha maka semakin besar kemampuan memenuhi persyaratan tersebut, dan sebaliknya,” urainya.
Maka menurutnya, IMK menghadapi hambatan dalam meregistrasikan produk mereka karena keterbatasan pengetahuan di berbagai hal. Antara lain proses dan syarat registrasi pangan olahan, pembiayaan renovasi ruang produksi mengacu standard BPOM hingga ratusan juta rupiah, biaya analisa laboratorium, membuat label dan kemasan sesuai standard produk, hingga ketiadaan staf khusus untuk administrasi proses registrasi.
Sementara industri menengah dan besar terkendala terbatasnya saluran konsultasi langsung dengan staf badan pom, serta dilema waktu antara kebutuhan inovasi dengan proses pemenuhan administrasi ijin edar.
“Kerja sama ini menawarkan solusi, yakni percepatan transformasi sistem e-reg RBA menjadi smart e-RBA yang menggunakan kecerdasan buatan. Fungsinya dapat mengefisienkan proses evaluasi dan jumlah permohonan yang dapat diproses. Sistem ini bisa meningkatkan kapasitas pelaku usaha skala mikro dan kecil dengan membentuk forum daerah.
Hal itu untuk memfasilitasi pendampingan, pembiayaan, rumah produksi, serta analisis laboratorium hingga penyiapan dokumen. Kerja sama ini melibatkan pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, universitas lokal, rumah BUMN, PLUT, CSR swasta, dan komunitas pengusaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News