Sesi panel diskusi di SICW 2025
Sesi panel diskusi di SICW 2025

SICW 2025

Keamanan Siber, Perlu Regulasi Ketat atau Pintar?

Mohamad Mamduh • 21 Oktober 2025 19:42
Singapura: Diskusi panel dalam ajang Singapore International Cyber Week 2025 menyoroti salah satu topik di era digital: hubungan antara perusahaan teknologi raksasa dan kedaulatan negara.
 
Seiring dengan dominasi perusahaan teknologi raksasa yang kini memiliki ruang lingkup yang semakin sulit diatur oleh pemerintah, perdebatan sengit pun muncul mengenai pendekatan regulasi yang paling tepat. Apakah dunia membutuhkan regulasi ketat yang mengikat, seperti yang didorong oleh para regulator Eropa, atau regulasi pintar yang kolaboratif seperti ditawarkan oleh industri?
 
Suara paling lantang yang menuntut regulasi ketat datang dari Eropa. Vincent Strubel, pimpinan Agensi Kibersekuritas Prancis, berpendapat bahwa sektor digital telah terlalu lama menjadi pengecualian dan berhasil menghindari regulasi yang seharusnya berlaku. Ia menganalogikan situasi ini dengan industri penerbangan.

"Berapa banyak dari kami yang akan menaiki sebuah pesawat jika seluruh keselamatannya berdasarkan komitmen secara pribadi?" tanya Strubel. Ia menegaskan bahwa regulasi yang berfungsi di sektor lain terbukti tidak mencegah inovasi. Bagi Strubel, regulasi adalah cara ampuh untuk memastikan keamanan siber didiskusikan di ruang lembaga atau level pimpinan, bukan hanya menjadi topik teknis. Ia mencontohkan langkah konkret Eropa melalui regulasi seperti NIS2 Directive dan Cyber Resilience Act.
 
Pandangan ini didukung kuat oleh Claudia Plattner dari Office of Information Security Jerman. Plattner menyoroti risiko konsentrasi pasar, di mana sebuah pasar yang hanya memiliki dua atau tiga pemain dominan tidak dapat berfungsi dengan baik. Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kepentingan perusahaan tidak selalu sejalan dengan kepentingan negara.
 
Plattner mengambil contoh media sosial, yang model bisnisnya dirancang untuk menghasilkan uang dari penyebaran informasi buruk atau konten sensasional, sesuatu yang jelas bertentangan dengan kepentingan negara untuk memastikan warganya mendapat akses ke informasi yang benar.
 
Menanggapi desakan regulasi ketat ini, Royal Hansen, Vice President of Engineering Google, menawarkan pendekatan yang berbeda: regulasi pintar berbasis kolaborasi. Hansen menekankan bahwa Google telah dan ingin terus bekerja sama dengan banyak negara, bukan dalam posisi berkonfrontasi.
 
Ia mencontohkan pengembangan Sovereign Cloud di Jerman dan Prancis, yang memungkinkan negara-negara tersebut mendapatkan teknologi terbaik sambil tetap mengatur manajemen risiko mereka sendiri. Contoh sukses lainnya adalah kerja sama dengan Singapura untuk memberantas scam menggunakan AI, sebuah teknologi yang kemudian manfaatnya diluncurkan secara global.
 
Hansen juga mengingatkan bahwa fokus utama teknologi seharusnya adalah memberi manfaat nyata bagi penduduk, seperti kemajuan dalam penelitian kanker atau energi, bukan sekadar chatbots.
 
Menemukan titik tengah antara regulasi yang mengikat dan inovasi yang gesit akan menjadi tantangan utama tata kelola teknologi global di masa depan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan