"Ini adalah tren global," kata Andrea Little Limbago, Chief Social Scientist di Endgame, perusahaan keamanan siber.
"Pada 2016, pemilu di sekitar 18 negara demokrasi dikacaukan dengan cara yang berbeda-beda."
Tipe hacker yang termotivasi politik untuk melakukan serangan siber sangat beragam. Namun, Little Limbago mengatakan, tiga kelompok yang mungkin tertarik untuk ikut turun tangan dalam pemilu adalah pemerintahan sebuah negara, perusahaan swasta dan grup hacktivist atau hacker aktivis, lapor CNET.
Tiga negara yang dianggap paling agresif dalam menyerang pemilu negara lain adalah Rusia, Tiongkok, dan Iran. "Kami telah melihat interfensi Rusia di Eropa," kata Little Limbago. "Dan di Turki, Swedia, Italia dan referendum Irlandia."
Meskipun Tiongkok dikenal memiliki teknologi canggih untuk melakukan serangan siber, mereka tidak tertarik untuk ikut campur dalam pemilu negara lain.
Mereka lebih tertarik dengan negara-negara yang tidak jauh dari mereka. Misalnya, belum lama ini, Tiongkok menyerang Taiwan dengan "vandalisme siber" dan propaganda untuk menyebarkan peraturan Tiongkok.
Sementara di Kamboja, Tiongkok melakukan pencurian data dari orang-orang yang ikut pemilu dan melakukan mata-mata politik. Iran juga memiliki teknologi yang canggih. Sama seperti Tiongkok, mereka lebih fokus pada kawasan mereka sendiri daripada menyerang negara lain.
Little Limbago mengatakan, Iran tidak segan untuk melakukan serangan siber ke badan keuangan untuk mendanai operasi penyerangan mereka.
Iran telah menyerang negara-negara yang menjai teman dari Amerika Serikat. Biasanya, serangan mereka pada negara-negara Barat bertujuan untuk mematai-matai dan mengumpulkan informasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News