Dalam wawancara eksklusifdi ajang re:Invent 2025, dua pimpinan puncak Amazon Web Services (AWS) membeberkan filosofi arsitektur inti mereka yang diyakini dapat menjaga kedaulatan dan keberlangsungan data di Indonesia.
Vice President Global Datacenters Operations AWS Sergio Loureiro dan Vice President Data Center Engineering at Amazon Joern Tinnemeyer blak-blakan menyebut Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki tantangan tersebut. Namun, mereka memastikan ketahanan bukanlah fitur tambahan data center AWS.
Amazon memiliki fondasi desain yang diterapkan secara konsisten di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia.
Konsep zona ketersediaan yang terpisah secara geografis
Ketika ditanya tentang strategi menghadapi kondisi geografis Indonesia yang kompleks, Loureiro langsung merujuk pada prinsip fundamental Availability Zone (AZ) yang dianut AWS."Kami membangun pusat data bukan hanya dengan tingkat redundansi di tingkat bangunan, tapi kami juga membangun Availability Zone yang bisa terisolasi jika ada gangguan yang terjadi di suatu kawasan," terang Loureiro.
Dia menganlogikan AWS bukan membantun bangunan dengan 2 lantai jika membutuhkan server dua lantai. Namun, mereka membangun Availability Zone di 'lantai kedua' yang benar-benar terpisah.
"Biasanya 60 mil, 100 km berjauhan," katanya.
Desain ini memastikan bahwa suatu peristiwa gangguan lokal, seperti bencana alam atau kegagalan infrastruktur, dapat diisolasi hanya pada satu AZ. Beban kerja dan data pelanggan secara otomatis dapat dilindungi dengan dialihkan ke AZ lain yang berjarak puluhan kilometer.
Filosofi ini, menurut Loureiro, diterapkan secara konsisten di Indonesia, bahkan seluruh dunia.
Jaringan bawah laut dan kontrol penuh
Lebih dari sekadar membangun gedung-gedung pusat data yang tersebar, ketahanan digital juga bertumpu pada jaringan penghubung yang andal. Di sinilah Joern Tinnemeyer menekankan nilai dari kontrol vertikal yang dimiliki AWS."Bagian dari diskusi yang kami lakukan di sini, kita memiliki kontrol yang penuh, jaringan global, jaringan router, jaringan networking, kami mendesain itu sendiri untuk memiliki kemampuan yang tepat," tegas Tinnemeyer.
Ia melanjutkan dengan contoh konkret yang sangat relevan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. "Bahkan kabel fiber optik, kami memiliki kabel fiber optik yang kalau dijumlahkan bisa 11 kali bolak-balik bumi dan bulan. Jadi kami tahu bagaimana menangani hal ini (jaringan),"
Pernyataan ini mengisyaratkan investasi AWS dalam infrastruktur kabel bawah laut yang membentuk tulang punggung konektivitas global dan regional. Kontrol penuh atas infrastruktur jaringan ini memungkinkan AWS untuk mengoptimalkan rute, latensi, dan yang terpenting, redundansi—sebuah faktor kritis untuk menjaga konektivitas antar pulau.
Pembelajaran global untuk penerapan lokal
Sebuah poin menarik yang diangkat keduanya ialah pendekatan "belajar sekali, terapkan di mana saja". Pengalaman yang diperoleh dari menghadapi regulasi ketat dan tantangan operasional di pasar lain menjadi dasar untuk membangun di Indonesia."Kita harus bekerja keras untuk memahami desain, konstruksi, dan regulasi lokal juga," kata Loureiro.
Dia mencontohkan Jepang yang memiliki guideline yang sangat tegas. Pembelajaran dari Jepang ini memungkinkan AWS belajar banyak untuk dimanfaatkan untuk data center dan jaringan di kawasan lain.
"Semua pelajaran yang kami pelajari di geografi lainnya, kami gunakan di Indonesia juga. Semua orang mendapatkan keuntungan dari pelajaran yang telah kami pelajari," tegas Tinnemeyer.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa ketahanan infrastruktur cloud untuk Indonesia tidak dirancang dalam vakum. Data center harus dibangun berdasarkan pengetahuan global yang telah teruji dalam menghadapi berbagai skenario gangguan, tantangan geografis negara kepulauan hingga force majeur seperti gempa bumi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News