Hal ini disampaikan Direktur Sekretariat Indonesian Space Agency (INASA) BRIN, Rr. Erna Sri Adiningsih, dalam sesi wawancara di sela acara yang berlangsung 17–21 November 2025 di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta.
Menurut Erna, satelit navigasi adalah “teknologi sunyi” yang jarang disadari kontribusinya, tetapi menopang hampir seluruh aktivitas berbasis lokasi dan waktu. “Ketika kita menggunakan Google Maps, mencari alamat, melihat arah atau posisi, semuanya mengandalkan data dari satelit navigasi,” ujarnya. Bahkan teknologi robotik, drone, sistem penerbangan, hingga sinkronisasi waktu global berjalan berkat layanan navigasi satelit.
Karena itu, ia menekankan bahwa gangguan pada sistem navigasi akan berimplikasi langsung pada aktivitas publik. “Jika operator satelit navigasi menghentikan operasi atau terjadi kerusakan, sebagian besar fungsi alat komunikasi kita tidak bisa berjalan. Waktu tidak bisa sinkron, lokasi tidak bisa terbaca, robotik dan drone tidak dapat dioperasikan,” jelasnya.
Erna menambahkan bahwa tidak banyak negara mengoperasikan sistem navigasi satelit, berbeda dengan satelit komunikasi atau penginderaan jauh. Amerika Serikat mengoperasikan GPS, Rusia dengan GLONASS, Tiongkok dengan Beidou, dan hanya beberapa negara lain yang memiliki kemampuan serupa.
“Karena itu, forum ini menjadi penting untuk mempertemukan operator dengan pengguna. Kami ingin memastikan kebutuhan pengguna dari berbagai negara bisa dipahami,” katanya.
Workshop GNSS 2025 menjadi ruang strategis untuk mempertemukan komunitas operator satelit navigasi global dengan pemangku kepentingan nasional seperti Kementerian Perhubungan, AirNav Indonesia, akademisi, hingga sektor industri. BRIN sendiri saat ini mengoperasikan satelit eksperimental A1, A2, dan A3, namun belum memiliki satelit navigasi.
Indonesia, kata Erna, berada pada titik penting untuk meningkatkan kapasitas. Meski telah memiliki kemampuan membangun satelit mikro untuk pemantauan bumi dan satelit komunikasi yang dioperasikan sektor swasta, teknologi satelit navigasi memerlukan penguasaan sistem yang berbeda. “Indonesia belum pernah membangun satelit navigasi. Kita masih dalam tahap memanfaatkan datanya, bukan membuat satelitnya,” ujarnya.
Pengembangan sistem augmentasi navigasi untuk penerbangan, drone, dan transportasi laut saat ini masih memakai perangkat berbasis darat yang dikelola Badan Informasi Geospasial (BIG). Biayanya tinggi dan cakupannya terbatas. “Jika menggunakan sistem satelit, satu sistem bisa dipakai untuk seluruh wilayah tanpa harus memasang perangkat-perangkat darat,” jelas Erna.
Untuk itulah Indonesia memerlukan kebijakan yang terintegrasi dan dukungan lintas kementerian/lembaga. Program keantariksaan nasional sesungguhnya telah memiliki arah yang jelas melalui Space Policy 2045, termasuk target kemandirian teknologi. “Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar. Ke depan, kita juga harus menjadi produsen layanan satelit dan memiliki industri satelit sendiri,” tegasnya.
Erna berharap hasil diskusi lima hari workshop ini tidak hanya menjadi ajang berbagi pengalaman, tetapi membuka peluang kolaborasi internasional dalam pengembangan teknologi dan sistem navigasi satelit. “Dengan meningkatnya ketergantungan manusia pada data satelit, Indonesia harus mulai membangun kemampuan agar tidak sepenuhnya bergantung pada negara lain,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id